"Apa maksudmu?" Pertanyaan terlontar dari Rionald dan Arya di waktu bersamaan tapi di tempat berbeda, pada asisten masing-masing. "Rapat dewan direksi akan digelar minggu depan." Asisten Rionald menjawab. "Siapa yang minta? Aku tidak mengajukan hal itu, Mita juga tidak. Apa mungkin Arya?" Pertanyaan mengemuka dari sisi Rionald. Curiga jika itu ulah adik iparnya. Dua pria itu memang terlibat perang dingin sejak lama. Nampak harmonis di luar tapi penuh gejolak di dalam. Begitulah yang sesungguhnya terjadi. "Apa tujuannya?" Arya kali ini yang bertanya. Rionald dan Arya kebetulan sedang berkunjung ke kantor Rafael, keduanya berada di ruangan yang berbeda saat berita itu sampai ke telinga mereka. Asisten Arya menggeleng pelan, saat itulah pintu menjeblak terbuka. Rionald masuk dengan wajah kesal, menuju ke arah Arya seraya bertanya, "Apa maksudmu dengan mengajukan rapat dewan direksi. Ayahku masih hidup, dia belum meninggal!" Todong Rionald. Arya gegas berdiri, menyambut kakak ipar
Pemeriksaan menyeluruh lekas dibuat Reva saat Nadine memberitahu kalau sang kakek bereaksi saat dia menyebut rapat dewan direksi. "Ini bagus. Tapi ....""Maaf, aku tidak seharusnya menambah beban pikiran kakek soal pekerjaan. Aku cuma cerita," potong Reva cepat."Bukan begitu. Apapun akan kita lakukan untuk membuatnya bangun. Bahkan kalau perlu, kita jejali saja rungu kakek dengan keluhan soal pekerjaan. Sekarang kita tahu hal apa yang paling dicemaskan kakek. Meski sebel sih, dia sama sekali tidak memikirkan aku, cucunya yang tidak pernah pulang. Sedihnya aku."Lah, Reva malah sok drama. Tapi memang betul sih, Atma ini agak lain dalam menunjukkan kasih sayangnya pada cucunya. Maklum saja, pria itu juga lelaki yang minim kosa kata. Datar, lempeng macam Rafael di awal perjumpaannya dengan Nadine.Rafael sekarang sudah lebih banyak bicara, ditambah mulai ketularan absurd-nya keluarga sang mertua."Ya, sudah kita jadikan saja kakek tempat curhat soal kerjaan. Kayaknya dia tidak rela peru
Hari yang dinanti tiba, Rafael sudah siap dengan pakaian formal yang Sandy sediakan. Pria itu menatap tampilan diri di cermin, sudah lama dia tidak mengenakan busana kebanggaan para pengusaha. Kemeja, dengan vest, serta dasi terlilit rapi di kerah leher Rafael. Dilengkapi jas, dipadukan dengan celana senada. Sepatu hitam berkilat juga sudah Rafael kenakan."Siap?" Suami Nadine menoleh ketika Sandy melongok dari balik pintu.Lelaki itu mengangguk lantas berjalan keluar kamar yang ada di ruangan kerja mereka. Pakaian Rafael senada dengan yang dikenakan Nadine. Perempuan itu mengenakan blus putih yang dipadankan dengan blazer juga rok longgar sepanjang lutut. Tak terlalu ketat membentuk tubuh Nadine. Tentu saja, semua pakaian Nadine sudah lulus sensor dari badan per-fashionan lokal alias Rafael sendiri sebagai petugas sensornya."Aku harap semua berjalan lancar hari ini." Kata Sandy yang entah kenapa hatinya cemas."Tidak akan semudah itu. Stempel kakek, aku lupa membawanya.""Sita masih
Di waktu yang sama, tapi tempat berbeda. Reva sedang melakukan pemeriksaan rutin pagi hari pada sang kakek. Perempuan itu sendiri yang merawat sampai membersihkan tubuh kakeknya. Semua berjalan normal, sampai alarm berbunyi. Reva segera berlari ke monitor yang terhubung ke jaringan CCTV.Wajah Reva berubah panik, dua mobil muncul dari ujung jalan, di mana seharusnya ada tim yang berjaga di sana. Namun satu orang pun tidak terlihat keberadaannya. "Halo, apa yang terjadi?"Reva menghubungi kepala bodyguard. "Maaf, Nona. Kita diserang." Suara sang bodyguard hilang berganti dengan bunyi tembakan beruntun. Reva mengumpat, dengan gesit dia mengambil dua pistol yang dia selipkan di pinggang satu. Satu lagi dia genggam, seraya mendorong brankar sang kakek."Kek, kita main petak umpet sebentar."Istri Rion menekan kunci kombinasi digital pada panel yang tersembunyi di balik tirai. Dinding sebelah kiri Reva menggeser, memperlihatkan sebuah lift yang muat untuk brankar Atma."Halo, halo ...." Re
Reva meringis ketika Rion menggendongnya. Gadis itu saking takutnya saat pintu lift didobrak dari luar, hingga terpeleset dengan bokong menghantam lantai kotak besi itu. Alhasil dia keseleo dengan bokong membiru. Untung tidak retak.Yang mendobrak pintu lift ternyata Rion, pria itu berhasil datang tepat waktu. Sekaligus melumpuhkan semua penyerang. Kalau tidak, Reva tidak tahu bagaimana nasibnya dan Atma. Dia rela terluka bahkan mati, tapi Atma tidak boleh sampai terluka lagi."Kita pindah ke rumah Rafael." Rion membuat keputusan, dia dan Reva sendiri yang mengawal brankar Atma di dalam ambulance.Reva menolak pergi ke rumah sakit. Dia pilih minta didatangkan dokter ke rumah. Dia yakin cuma keseleo tidak sampai retak apalagi patah tulang.Semua penyerang berhasil dilibas, menyisakan satu orang yang dibiarkan hidup untuk dimintai kesaksian. Kediaman Rafael yang dulu diklaim lelaki itu milik atasannya, saat dia membawa Nadine bersembunyi kala itu."Aduuhh," Reva mengaduh begitu dia meny
Nadine menyerahkan benda di tangannya pada Sandy. Perempuan itu masih penasaran dengan sosok Rafael, suaminya sendiri yang berbeda tampilan. Dan itu berhasil mengecoh Nadine. Putri Hermawan sama sekali tidak mengenali Rafael."Keluarkan dia dari sini. Meeting kita selesai!" Titah Rafael kembali. Suaranya dingin penuh penekanan. Nadine serta merta berpendapat kalau cucu kakek Atma seorang yang menyebalkan. Sebagai pemimpin pasti nanti akan bersikap seenaknya sendiri. Belum tentu juga kompeten dalam menghandle masalah pekerjaan.Nadine tidak tahu saja jika selama ini Rafael lah PIC aka person in charge alias orang yang bertanggung jawab dalam menjalankan perusahaan."Dia bisa tetap berada di sini," ujar Pram. "Bukan kau yang memberi keputusan, tapi aku!""Bawa dia keluar!" Perintah Rafael lagi. Kali ini Sandy mendorong pintu yang anehnya sudah bisa dibuka lagi. Padahal tadi terkunci."Aku perlu penjelasan." Nadine menahan tangan Sandy begitu mereka keluar dari tempat meeting."Tidak s
Sandy mengulum senyum diam-diam, mendengar yang dikatakan Rahadian Hendarto. Serius? Atma De Angelo menjanjikan besanan dengan pria yang anaknya hobi buka paha pada siapa saja yang bersedia memuaskan hasratnya.Sandy mengangkat wajah, pandangannya bersua dengan David. Dua pria terlibat kontak mata penuh makna. Tahulah artinya apa.Rafael memang ingin semua anggota keluarga ada saat menemui Rahadian. Dia tidak mau menyembunyikan soal hal ini, apalagi dia tahu apa tujuan pria itu langsung mengejarnya. Dasar serakah."Eva bekerja di sini juga. Dia kuliah, lulus dengan nilai bagus. Dia juga perempuan baik-baik."Rafael, David dan Sandy hampir tersedak bersamaan. Perempuan baik-baik katanya. Rasanya tiga pria itu ingin terbahak tapi masih takut dosa. Astaga pak Rahadian, mainmu kurang jauh.Paramita langsung menoleh ke arah sang putra begitu bahu Rafael bergetar. Perempuan itu memasang tampang memperingatkan, agar Rafael menjaga sikap."Dia pasti bisa dan pantas berdampingan dengan Anda."
Suasana haru sekaligus bahagia menyelimuti kediaman Rafael. Rumah bercat biru langit itu tampak menunjukkan kehidupan setelah sekian lama seperti mati tanpa penghuni."Jangan tinggi-tinggi," Atma berucap meski masih terbata-bata juga lirih.Iya, pria renta itu akhirnya sadar dari koma setelah hampir sebulan. Satu keajaiban yang membuat semua orang menangis penuh keharuan. Ada Reva yang tak henti menitikkan air mata. Tidak pernah menyangka jika kakeknya bisa sadar secepat ini."Sini," Atma memberi kode pada Nadine untuk mendekat. Perempuan itu yang menemukan Atma sudah membuka mata saat dia bermaksud mengecek infus Atma seperti permintaan Reva. "Iya, Kek. Mau apa?" Nadine bertanya lirih."Siomay."Nadine melongo mendengar ucapan Atma. Sampai dia teringat janjinya. "Nadine belikan sekarang ya?"Pria itu menggeleng. "Suruh mereka beli, kita makan sama-sama. Kakek mau keluar, bosan di sini." Meski masih terbata dan lirih, tapi Nadine paham yang diinginkan Atma. "Beli di mana?" Rion ber