Aku merasa kaget, saat melihat ada bangkai ditempat aku menjemur pakaian yang ada di halaman belakang. Bangkai tersebut, sepertinya memang ada yang sengaja menyimpan di sana karena terbungkus rapi."Ada apa, Dek, kok kamu memanggil Mas sampai segitunya?" tanya Mas Arsya kepadaku.Ia datang dengan tergopoh-gopoh serta dengan wajah yang panik."Itu lho, Mas, ada itu," kataku sambil menunjuk dus yang masih tergeletak di tempatnya."Apaan sih, Dek, coba kamu ngomong yang jelas, biar Mas bisa paham?" tanya Mas Arsya lagi."Itu lho, Mas, di dus! Coba deh kamu lihat sendiri, hih!" tunjukku sambil bergidik ngeri.Mas Arsya pun langsung melihat, kearah yang telah aku tunjukkan kepadanya. Aku masih merasa ngeri, saat tadi melihat apa isi di dalam dus tersebut. Aku yakin kalau semua ini ulah orang iseng, tapi siapa orang yang melakukan semua ini? Aku pun bertanya-tanya dalam hati, "apakah semua ini ada hubungannya dengan orang yang semalam memencet bel? Ataukah ada orang lain yang melakukan s
"Ada, Bu, sebentar ya saya panggilkan dulu! ayo silahkan masuk dulu, Bu!" Bi Asni mengajak aku untuk masuk ke rumahnya."Nggak usah, Bi. Biar aku menunggu diluar saja," ujarku."Ya sudah kalau begitu, aku pamit dulu ya, Bu. Aku mau memanggil Kang Ujangnya dulu," pamit Bi Asni."Iya, Bi, silakan,"Setelah berpamitan Bi Asni pun segera masuk ke dalam rumah dan memanggil suaminya. Ia berjalan tergesa, saat meninggalkan aku di luar. Aku kembali teringat akan rumah kosong, yang sepertinya ada penghuninya tersebut. Tapi aku tidak tahu itu benar, atau hanya khayalan aku saja. Tidak berapa lama, Mang Ujang dan juga istrinya keluar dari dalam rumah. Kedatangan mereka pun membuyarkan lamunanku, tentang rumah kosong tersebut. "Bu Mira, kok tumben sih, Ibu sampai bela-belain datang kerumah! Biasanya juga kalau butuh bantuan Mang, selalu lewat telepon?" tanya Mang Ujang."Iya, Mang, kebetulan aku sekalian mau membeli sesuatu di mini market depan pengkolan sana. Makanya aku sekalian saja ke rumah
"Oh ... jadi seperti itu ya, Bu, kalau begitu lebih baik Ibu bertanya langsung ke Pak Suryo ataupun istrinya! Siapa tau mereka mempunyai jawaban, atas pertanyaan Ibu itu." Mang Ujang memberi saran kepadaku."Iya, Mang, itu pasti sih. Nanti aku pasti bertanya kepada mereka.Terima kasih ya, Mang, atas sarannya," ucapku."Iya, Bu, sama-sama," sahut Mang Ujang.Setelah itu, aku, suami dan Mang ujang pun membicarakan hal lain. Kami bertiga berdiskusi untuk membicarakan tentang rencana peninggian pagar halaman belakang rumahku, supaya tidak ada oranh iseng lagi, yang menyimpan apapun seperti yang terjadi tadi pagi. Setelah mendapat kesepakatan, Mang Ujang pun pamit pulang untuk mengambil perlengkapan tukang. Mas Arsya kemudian menelepon pemilik toko bangunan, supaya ia mengirim semua perlengkapan yang kami butuhkan untuk peninggian pagar tersebut."Mas, bagaimana? Apa semuanya sudah beres?" tanyaku."Iya, Sayang, Mas sudah meminta Pak Dadang untuk mengirim semua perlengkapannya. Paling na
"Baik, Bunda," sahut mereka."Bagus. Ya sudah, kalau begitu Bunda cuci tangan dulu ya, kalian sudah kenyang kan makannya?" "Sudah kenyang, Bunda,"Setelah itu aku segera pergi meninggalkan mereka berdua, sedangkan kedua anakku kembali main dan tetap bermain di dalam ruangan bermain mereka. Tapi sebelum pergi ke dapur, aku pergi ke depan dulu untuk mengecek pintu pagar. Aku benar-benar was-was, takut ada orang tidak di kenal masuk saat kami sedang berada di belakang. Apalagi setelah mendengar penuturan kedua anakku barusan. Tapi aku lihat semuanya aman, pintu pagar masih tetap terkunci. Aku pun kemudian kembali ke dalam rumah, tetapi sebelum itu aku melihat dulu ke arah rumah kosong tersebut. Tapi saat ini, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana, makanya aku merasa aneh dengan rumah kosong tersebut.'Kok perasaan aneh banget ya sekarang, padahal sebelum aku pulang kampung, tidak pernah ada kejadian apapun terhadapku, atau hal aneh apapun yang ada di rumah kosong ini. Tetapi setelah
"Mana, Dek?" tanya Mas Arsya."Itu, Mas, tadi berjalan menuju pintu depan," kataku, sambil menunjuk ke arah ruang tamu.Tapi aku tetap menghadap ke Mas Arsya, tanpa mau melihat ke arah ruang tamu, yang tadi nampak sosok hantu perempuan tersebut. Karena aku takut, jika sosok itu masih ada."Dek, mana Kuntilanaknya? Nggak ada Kuntilanak kok, Dek! Kamu itu salah lihat kali, sebab yang ada itu Bi Asni, bukan Kuntilanak." Mas Arsya berkata, sambil membalikkan tubuhku, supaya aku menghadap ke ruang tamu, tetapi mataku tetap aku pejamkan. "Masa sih, Mas? Tapi tadi jelas-jelas aku melihat, kalau ada perempuan yang berambut panjang menuju pintu depan," terangku lagi."Iya, Dek, nggak ada kuntilanaknya," tegas Mas Arsya."Waduh ... ada Kuntilanak, Pak, Bu? Dimana, Pak? Tapi masa sih, ada Kuntilanak di rumah sebagus ini? Bapak dan Ibu kalau ngomong jangan sambil bercanda dong, jangan menakut-nakuti Bibi?" tanya seorang perempuan, yang terdengar seperti suara Bi Asni."Bukan aku, Bi, yang bila
Mang Ujang menyarankan, supaya semua ini diberitahukan kepada ketua RT komplek perumahanku. Tidak ada salahnya juga menurutku, kalau kami melaporkan semua ini. Karena memang kenyataannya, kalau kehidupan aku dan keluargaku terganggu gara-gara semua ini."Iya, Mas, apa yang disarankan Mang Ujang ada benarnya juga lho. Lebih baik kita lapor ke pihak RT, sebagai orang yang paling dekat di lingkungan kita. Siapa tau kalau kita lapor, Pak RT akan meningkatkan keamanan. Minimal diadakan lagi tuh yang namanya siskamling," timpalku merasa setuju dengan saran Mang Ujang."Tapi kalau menurut Mas sih untuk sekarang ini nggak perlu dulu deh, Dek. Tapi bukan berarti Mas tidak setuju dengan saran Mang Ujang, hanya selama kita masih bisa menanganinya sendiri, kita tidak perlu lapor dululah. Namun, jika memang sudah keterlaluan dan kita tidak dapat mengatasinya, baru kira lapor RT atau polisi sekalian." Mas Arsya menolak saran yanh diberikan oleh Mang Ujang. Ia juga sambil memberi alasan yang simpe
"Iya, Bu. Karena kemarin ada kejadian yang tidak mengenakan, makanya Mira meminta Mas Arsya, supaya menyuruh tukang untuk meninggikan pagarnya." Aku menjawab pertanyaan, yang dipertanyakan mertuaku."Lho ... menangnya ada kejadian apa, Mbak?" tanya Siska, yang merupakan adik iparku.Ia terlihat begitu heran, saat mendengar penuturanku. Aku pun segera menceritakan apa yang telah terjadi, setelah aku balik dari kampung. Aku memberitahu mereka sedetail mungkin, biar mereka tahu apa yang terjadi kepada keluargaku akhir-akhir ini."Ya ampun, kok serem sih, Kak? Tapi kalian baik-baik saja bukan?" tanya Siska lagi."Iya, Mira, cucu-cucu Mama tidak kekurangan sesuatu apa pun kan?" tanya Ibu mertua."Alhamdulillah, Bu, Siska, kami tidak apa- apa," sahutku."Alhamdulillah," ucap mereka serempak.Setelah itu kami ngobrol ngalor -ngidul, kedua anakku pun bermain dengan Nenek dan juga Tantenya. Karena kebetulan kedua anakku masih pada libur sekolah. Sekitar dua jam Ibu dan juga adik iparku berada
"Sudah-sudah, kalian nggak usah takut, Sayang! Ayo kita lihat siapa yang datang, kali aja itu saudara kita yang datang dari jauh!" ajakku kepada anak-anak, sambil menenangkan mereka.Padahal sebenarnya aku sendiri merasa takut, jika orang yang memencet bel itu adalah orang asing. Orang yang tidak kita kenal, atau bahkan orang jahat yang mau berniat jahat terhadap keluargaku. Tapi selain takut aku juga merasa penasaran, aku ingin tahu siapa yang memencet bel tersebut. "Kalau begitu Bunda aja yang lihat ya, Arka dan Azka tunggu di sini. Arka takut, soalnya," saran Arka."Kita melihatnya sama-sama aja, Kak, toh kita melihatnya juga dari CCTV, bukan harus keluar rumah langsung.""Oh iya, Arka lupa! Kan, sekarang rumah kita dipasang CCTV ya." Arka berkata sambil menepuk jidatnya."Iya dong, Nak. Ayo kita lihat," ujarku, sambil meraih handphone yang tergeletak di nakas.Setelah itu aku membuka handphone yang telah tersambung dengan monitor CCTV tersebut. Kami bertiga pun melihat siapa yan
"Iya, Dek, jeruknya dari Bu Marni. Emangnya ada yang salah ya, kok kamu sepertinya kaget banget sih?" tanya Mas Arsya, sambil mengerutkan keningnya.Aku benar-benar merasa tidak percaya dengan penuturan suamiku, yang saat ini telah mendapat rezeki buah jeruk dari Bu Marni, orang yang merupakan otak dari semua teror yang dilakukan Susi, yang bahkan keberadaannya saat ini sedang dicari polisi."Nak, kenapa kamu terlihat kaget, saat suamimu mengucap nama Bu Marni? Memangnya kamu ada masalah ya sama dia" tanya Ibu, sambil menatap kearahku. Beliau juga terlihat heran, mendengar kekagetanku tadi."Betul, Nak, coba deh cerita sama Bapak. Ada masalah apa kamu sama Bu Marni, mungkin Bapak bisa bantu," timpal Bapak.Bapak, Ibu dan suamiku sampai mengerutkan keningnya. Mereka keheranan, kenapa aku bisa sehisteris itu berkata saat mendengar nama Bu Marni.Hingga kini membuat keluargaku melongo dengan sikapku itu. Mereka semua tidak mengerti, mengapa tadi aku bertanya dengan nada yang begitu kag
"Asyik ada Nenek dan juga Kakek, kapan Nenek dan Kakek sampai rumah Azka?" tanya Azka, sambil menghambur kepelukan Ibu dan juga Bapak.Azka juga menanyakan hal yang sama, kepada Ibu dan Bapak. Ia begitu senang, saat melihat Ibu dan Bapak sudah berada dirumahku."Barusan, Nak. Bagaimana kalian sehat?" tanya Ibu balik."Alhamdulillah, Bu, kami dalam keadaan sehat. Bu, kenapa Ibu tidak mengabari dulu, kalau Ibu mau datang? Kan bisa aku jemput, kalau Ibu mengabari dulu?" tanyaku lagi.Aku merasa kaget, saat Ibu dan Bapakku sudah berada di rumah saat ini. Padahal mereka sama sekali belum memberi kabar kepadaku, kalau mereka mau datang saat ini. "Nak, semenjak kalian balik dari kampung. Ibu merasa tidak tenang, Ibu bahkan selalu bermimpi buruk tentang kalian. Makanya Ibu dan Bapak sekarang menyusul kesini," terang Ibu."Iya, Nak, apa yang dibilang oleh ibumu itu benar. Ibumu tidak bisa tidur tenang semenjak kalian balik ke kota," timpal Bapak.Benar-benar begitu kuat, ikatan batin antara
"Boleh kok, Bu. Supaya Ibu juga waspada, serta dapat memberitahu kami, jika melihat dia dimanapun." Pak Junaedi memperbolehkan aku mengetahui siapa orang tersebut."Terus siapa orangnya ya, Pak?" tanyaku lagi.Aku terus saja mendesak, tentang siapa pelaku lain yang meneror keluargaku. Karena aku benar-benar merasa penasaran dengan semuanya ini. Aku juga tidak mau kecolongan lagi, biar aku terus waspada menghadapi kemungkinan apapun. Aku akan tetap siaga menghadapi semuanya, walaupun itu adalah kemungkinan terburuk didalam kehidupanku."Bu Mira ... orang yang bersekutu dengan Bu Susi itu adalah Bu Marni. Ia juga seorang pemilik rumah makan, sama seperti Bu Mira. Menurut Susi, Bu Marni adalah orang yang mendukung dan mem-fasilitas-i dirinya, selama melakukan peneroran terhadap Ibu dan juga keluarga. Bahkan Bu Marni juga, yang membayar sewa rumah Pak Suryo untuk tempat tinggal Bu Susi." Pak Junaedi membeberkan semua yang didengarnya, dari pengakuan Susi tersebut."Astagfirullah ... jadi
Namun apa yang dilakukan Susi tidaklah ada artinya, para polisi tetap membawa Susi pergi dari hadapan kami dengan menggunakan mobil pribadi. Mereka melakukan semua itu, supaya tidak terlalu mencolok saat pengintaian tadi.Setelah para polisi pergi, sambil membawa Susi untuk diadili. Warga yang menonton pun ikut membubarkan diri, mereka pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga aku dan Mas Arsya, aku dan suamiku pun segera masuk ke dalam rumah karena waktu telah larut.Saat ini telah menunjukan waktu setengah dua belas malam. Aku pun tidak lupa mengunci pintu gerbang dan juga pintu rumah, kemudian kami segera masuk kamar dan tidur. Aku dan Mas Arsya tidak lagi membahas Susi atau siapapun, tetapi kami langsung tertidur pulas saking ngantuknya.***"Bu Mira, semalam itu siapa yang ditangkap?" tanya Bu Titi, dia sengaja datang ke rumahku saking penasarannya."Itu, Bu, teman masa kecil aku sewaktu di Kampung," jawabku."Kok dia bisa mempunyai rasa dendam yang begitu besar sih sama, Bu Mir
Aku pun merasa kaget, saat mendengar curhatan Susi. Rupanya dari masa lalunya yang buruk itulah, hingga membuat hati Susi memiliki sifat iri dengki kepadaku. Karena ia merasa tidak seberuntung aku, makanya ia merasa iri terhadap kehidupanku yang menurutnya sempurna.Tetapi apa yang dilakukannya ini sudah sangat keterlaluan. Ia begitu tega membuat aku dan keluargaku merasa khawatir dan juga was-was. Bahkan hampir membuat asisten rumah tanggaku celaka. Lebih parah lagi, ia hampir saja membuat aku kehilangan nyawa, kalau saja Allah tidak menyelamatkan aku waktu itu.Hanya saja waktu itu tidak ada saksi, sehingga aku tidak bisa menuntutnya kejalur hukum. Tetapi saat ini, aku tidak akan pernah lagi membiarkannya lepas begitu saja. Aku tidak mau ia sampai terlepas dari jeratan hukum, yang memang sepantasnya ia terima."Susi, kok kamu tega betul sih? Padahal aku kan selalu berbuat baik kepadamu? Tapi mengapa ini balasan yang kamu berikan kepadaku?" tanyaku merasa tidak percaya dengan apa yan
"Iya, Pak, siap. Aku dan juga keluarga akan mengikuti arahan dari bapak. Kami akan melaksanakan apapun, sesuai dengan apa yang sudah direncanakan tadi siang." Aku menyetujui permintaan Pak Junaedi tersebut."Bagus, Bu. Kami juga sedang mengintai rumah Ibu kok," ujar Pak Junaedi.Aku pun merasa tenang, setelah Pak Junaedi berkata seperti itu. Sebab aku tidak takut lagi, jika ada yang akan berbuat onar kepada keluargaku."Terima kasih, Pak," ucapku.Setelah itu panggilan telepon pun terputus, aku dan Mas Arsya bersiap-siap. Sedangkan kedua anakku telah tertidur pulas. Pada jam sepuluh malam, seperti biasanya bel dirumahku berbunyi. Sepertinya si peneror sedang melancarkan aksinya. Aku dan Mas Arsya pun melihat semua kegiatan yang ada di luar sana, dari handphone yang sudah tersambung dengan CCTV. Didepan rumahku sudah terdapat seseorang, yang memakai pakaian serba hitam dengan penutup kepala serba hitam juga.Tidak berapa lama, dari arah belakang orang tersebut, sudah terdapat para pol
"Oh ... iya, Bi. Terima kasih ya, Bi," ucapku."Sama-sama," sahut Bi Minah.Aku dan Mas Arsya pun menemui komandan polisi, yang sedang menangani kasus peneroran ini. Sedangkan Bi Minah menyiapkan minum untuk tamuku tersebut."Selamat sore, Bu Mira dan juga Pak Arsya," sapa Komandan, yang berpenampilan seperti warga biasa, tanpa seragam kebesarannya."Sore juga, Komandan," sahut Mas Arsya."Bagaimana, Komandan? Apa sudah ada perkembangan?" tanyaku to the point.Aku langsung bertanya kepada tamuku, tentang kasus yang sedang diselidikinya. Aku merasa penasaran, dengan semua yang terjadi."Haa ... Haa ... Ha, Ibu rupanya sudah tak sabar ingin segera tau perkembangannya ya?" tanya balik sang Komandan tersebut."Hee ... I-iya,Komandan. Maaf ya, Komandan," sahutku salah tingkah karena malu."Jadi begini, Bu, Pak. Memang kebetulan, saya datang kesini juga karena ingin membahas tentang penyelidikan yang sedang saya tangani, tentang kasus peneroran keluarga Ibu dan Bapak." Komandan pun memberi
"Hallo, assalamualaikum," ucapku, setelah panggilan terhubung."Waalaikumsalam, maaf ini dengan siapa ya, soalnya nomernya baru dan belum ada di kontak saya." Suara seorang pria bertanya, pada saat aku selesai mengucap salam."Ini, Pak, aku Mira istrinya Mas Arsya, yang rumahnya berada di samping Pak Suryo. Di kompleks Puri Indah," sahutku."Oh iya, Bu Mira, maaf ya! Saya pikir nomernya siapa?""Iya, Pak, tidak apa. Aku juga minta maaf, sebab sudah mengganggu waktunya," ucapku lagi.Kemudian aku pun segera memberitahu maksud dan tujuanku."Jadi rumah yang berhadapan dengan Pak Suryo itu sudah ada yang mengontrak ya?" tanyaku."Iya, Bu," sahut Pak Kusno menegaskan." Tapi kok seperti tidak ada penghuninya ya, Pak. Soalnya setiap hari sepi dan selalu tertutup, seperti tidak ada kehidupan di sana," ungkapku."Ah masa sih, Bu? Mungkin ia seorang pekerja, Bu, yang berangkat pagi pulang malam," ujar Pak Kusno lagi menerka-nerka.Ternyata benar dugaaanku, jika rumah tersebut tidaklah kosong
Aku berharap banyak, semoga Bu Titi memiliki nomer Pak Kusno tersebut."Oh ... Bu Mira butuh nomernya Pak Kusno ya. Sebenernya ada sih, Bu. Tapi aku hanya ada nomer istrinya, serta tidak tau masih aktif atau nggak. Soalnya sudah lama juga kami lost kontak. Maklum akhir-akhir ini aku dan suami sibuk sekali, jadi jarang berkomunikasi dengan beliau." "Aduh gimana ya?" tanyaku bingung, "maaf, Bu, apa bisa aku minta tolong?""Bisa dong, Bu Mira, memangnya Ibu mau minta tolong apa?" tanya balik Bu Titi."Itu, Bu, coba tolong hubungi istrinya Pak Kusno-nya! Apa nomernya masih aktif atau tidak? Atau kalau boleh Ibu kirim saja nomernya ke nomer Mira," pintaku."Oh ... Boleh-boleh, sebentar aku hubungi beliau," ujarnya, sambil mengutak-atik gawainya, kemudian ia pun meneleponnya.Terdengar bunyi dari telepon milik Bu Titi, yang sedang menghubungi seseorang. Aku pun terdiam dan menunggu, semoga saja teleponnya aktif."Ih ... kok, telepon whatsapp-nya nggak aktif ya, Bu. Nanti coba dulu pakai