"Sudah-sudah, kalian nggak usah takut, Sayang! Ayo kita lihat siapa yang datang, kali aja itu saudara kita yang datang dari jauh!" ajakku kepada anak-anak, sambil menenangkan mereka.Padahal sebenarnya aku sendiri merasa takut, jika orang yang memencet bel itu adalah orang asing. Orang yang tidak kita kenal, atau bahkan orang jahat yang mau berniat jahat terhadap keluargaku. Tapi selain takut aku juga merasa penasaran, aku ingin tahu siapa yang memencet bel tersebut. "Kalau begitu Bunda aja yang lihat ya, Arka dan Azka tunggu di sini. Arka takut, soalnya," saran Arka."Kita melihatnya sama-sama aja, Kak, toh kita melihatnya juga dari CCTV, bukan harus keluar rumah langsung.""Oh iya, Arka lupa! Kan, sekarang rumah kita dipasang CCTV ya." Arka berkata sambil menepuk jidatnya."Iya dong, Nak. Ayo kita lihat," ujarku, sambil meraih handphone yang tergeletak di nakas.Setelah itu aku membuka handphone yang telah tersambung dengan monitor CCTV tersebut. Kami bertiga pun melihat siapa yan
"Bibi nggak tau, Pak. Tiba-tiba saja ada yang memukul Bibi, saat Bibi memencet bel." Bi Minah menjawab pertanyaan Pak Suryo, sambil tetap memijit kepalanya."Kira-kira siapa ya, yangAku merasa kasihan kepada asistenku ini, kenapa bisa menjadi seperti ini. Siapa sebenarnya orang yang telah memukulnya itu? Padahal baru juga sampai, tetapi sudah mendapat teror, yang membuatnya sampai pingsan. Siapapun yang melakukan semuanya ini, tetap masih menjadi misteri yang tak kunjung terkuak. Tetapi aku tetap semangat untuk membuktikan siapa pelaku sebenarnya.Nanti aku akan mengecek CCTV, siapa tahu ada bukti yang akurat, tentang siapa yang membuat Bi Minah sampai pingsan. Aku akan memutar kejadian tersebut dengan menggunakan CCTV, yang menempel di tiap sudut rumahku. Bahkan jika terus seperti ini, sepertinya aku perlu menggunakan satpam untuk menjaga keamanan lingkungan rumahku. Karena hanya aku yang mendapatkan teror ini, sedangkan penghuni komplek lainnya terlihat baik-baik saja. Aku sampai
"Iya, Bu Titi, alhamdulillah Mira sudah lapor Rt. Bahkan sudah lapor polisi juga dan katanya sekarang sedang diselidiki. Semoga saja segera tertangkap tuh penjahatnya," terangku.Aku memberitahu Bu Titi, tentang perkembangan kasus teror tersebut."Oh, sudah langsung dipolisikan ya, Bu Mira? Bagus si, biar ada kepastian siapa pelakunya." Bu Titi bertanya kembali."Iya, Bu, sudah. Biar nanti kalau ketangkap siapa pelakunya, dia akan ada efek jera buatnya. Soalnya kelakuannya sudah keterlaluan, sampai menganiaya orang segala. Biar kapok tuh penjahat," sungutku."Benar, Bu Mira, kamu memang sudah tepat melakukan semua itu," ujar Bu Titi lagi, yang dari tadi manggut-manggut mendengar penuturanku. Kami berdua ngobrol, sambil memilih sayuran dan bumbu yang dibutuhkan masing-masing. Orang-orang yang belum tau tentang kejadian yang menimpa asisten rumah tanggaku pun pada bengong, mereka memperhatikan aku dan Bu Titi yang terus asyik berbicara."Lho ... Bu Mira, Bu Titi, memangnya ada kejadian
"Eh ... Iya maaf, Bu Mira, aku keceplosan," ucapnya sambil menutup mulut.Kini baik Bu Nia, Bu Titi dan Ibu-ibu yang lainnya pun tidak berkata apapun lagi, setelah aku berbicara seperti itu. Aku kembali fokus dengan apa yang akan aku beli disana dan setelah aku rasa cukup, aku pun segera membayar barang belanjaan tersebut."Bu-Ibu, aku pulang duluan ya," pamitku, setelah membayar barang belanjaanku."Iya, Bu Mira, hati-hati di jalan," ucap mereka serempak."Makasih ya atas perhatiannya. Aku duluan, assalamualaikum," ucapku, sambil berbalik dan menenteng plastik hitam yang berisi belanjaan."Iya, Bu Mira, walaikumsalam." Mereka kembali menyahut ucapan salam dariku.Aku pun segera pergi meninggalkan tempat belanja dan kembali pulang ke rumahku. Namun, pada saat sampai di depan rumah kosong, tidak sengaja aku melirik ke arah rumah kosong tersebut dan jelas sekali terlihat, jika jendela rumah tersebut terbuka sedikit. Tapi setelah aku memperhatikan rumah tersebut, jendela tersebut kemudi
Aku berharap banyak, semoga Bu Titi memiliki nomer Pak Kusno tersebut."Oh ... Bu Mira butuh nomernya Pak Kusno ya. Sebenernya ada sih, Bu. Tapi aku hanya ada nomer istrinya, serta tidak tau masih aktif atau nggak. Soalnya sudah lama juga kami lost kontak. Maklum akhir-akhir ini aku dan suami sibuk sekali, jadi jarang berkomunikasi dengan beliau." "Aduh gimana ya?" tanyaku bingung, "maaf, Bu, apa bisa aku minta tolong?""Bisa dong, Bu Mira, memangnya Ibu mau minta tolong apa?" tanya balik Bu Titi."Itu, Bu, coba tolong hubungi istrinya Pak Kusno-nya! Apa nomernya masih aktif atau tidak? Atau kalau boleh Ibu kirim saja nomernya ke nomer Mira," pintaku."Oh ... Boleh-boleh, sebentar aku hubungi beliau," ujarnya, sambil mengutak-atik gawainya, kemudian ia pun meneleponnya.Terdengar bunyi dari telepon milik Bu Titi, yang sedang menghubungi seseorang. Aku pun terdiam dan menunggu, semoga saja teleponnya aktif."Ih ... kok, telepon whatsapp-nya nggak aktif ya, Bu. Nanti coba dulu pakai
"Hallo, assalamualaikum," ucapku, setelah panggilan terhubung."Waalaikumsalam, maaf ini dengan siapa ya, soalnya nomernya baru dan belum ada di kontak saya." Suara seorang pria bertanya, pada saat aku selesai mengucap salam."Ini, Pak, aku Mira istrinya Mas Arsya, yang rumahnya berada di samping Pak Suryo. Di kompleks Puri Indah," sahutku."Oh iya, Bu Mira, maaf ya! Saya pikir nomernya siapa?""Iya, Pak, tidak apa. Aku juga minta maaf, sebab sudah mengganggu waktunya," ucapku lagi.Kemudian aku pun segera memberitahu maksud dan tujuanku."Jadi rumah yang berhadapan dengan Pak Suryo itu sudah ada yang mengontrak ya?" tanyaku."Iya, Bu," sahut Pak Kusno menegaskan." Tapi kok seperti tidak ada penghuninya ya, Pak. Soalnya setiap hari sepi dan selalu tertutup, seperti tidak ada kehidupan di sana," ungkapku."Ah masa sih, Bu? Mungkin ia seorang pekerja, Bu, yang berangkat pagi pulang malam," ujar Pak Kusno lagi menerka-nerka.Ternyata benar dugaaanku, jika rumah tersebut tidaklah kosong
"Oh ... iya, Bi. Terima kasih ya, Bi," ucapku."Sama-sama," sahut Bi Minah.Aku dan Mas Arsya pun menemui komandan polisi, yang sedang menangani kasus peneroran ini. Sedangkan Bi Minah menyiapkan minum untuk tamuku tersebut."Selamat sore, Bu Mira dan juga Pak Arsya," sapa Komandan, yang berpenampilan seperti warga biasa, tanpa seragam kebesarannya."Sore juga, Komandan," sahut Mas Arsya."Bagaimana, Komandan? Apa sudah ada perkembangan?" tanyaku to the point.Aku langsung bertanya kepada tamuku, tentang kasus yang sedang diselidikinya. Aku merasa penasaran, dengan semua yang terjadi."Haa ... Haa ... Ha, Ibu rupanya sudah tak sabar ingin segera tau perkembangannya ya?" tanya balik sang Komandan tersebut."Hee ... I-iya,Komandan. Maaf ya, Komandan," sahutku salah tingkah karena malu."Jadi begini, Bu, Pak. Memang kebetulan, saya datang kesini juga karena ingin membahas tentang penyelidikan yang sedang saya tangani, tentang kasus peneroran keluarga Ibu dan Bapak." Komandan pun memberi
"Iya, Pak, siap. Aku dan juga keluarga akan mengikuti arahan dari bapak. Kami akan melaksanakan apapun, sesuai dengan apa yang sudah direncanakan tadi siang." Aku menyetujui permintaan Pak Junaedi tersebut."Bagus, Bu. Kami juga sedang mengintai rumah Ibu kok," ujar Pak Junaedi.Aku pun merasa tenang, setelah Pak Junaedi berkata seperti itu. Sebab aku tidak takut lagi, jika ada yang akan berbuat onar kepada keluargaku."Terima kasih, Pak," ucapku.Setelah itu panggilan telepon pun terputus, aku dan Mas Arsya bersiap-siap. Sedangkan kedua anakku telah tertidur pulas. Pada jam sepuluh malam, seperti biasanya bel dirumahku berbunyi. Sepertinya si peneror sedang melancarkan aksinya. Aku dan Mas Arsya pun melihat semua kegiatan yang ada di luar sana, dari handphone yang sudah tersambung dengan CCTV. Didepan rumahku sudah terdapat seseorang, yang memakai pakaian serba hitam dengan penutup kepala serba hitam juga.Tidak berapa lama, dari arah belakang orang tersebut, sudah terdapat para pol