"Mana, Dek?" tanya Mas Arsya."Itu, Mas, tadi berjalan menuju pintu depan," kataku, sambil menunjuk ke arah ruang tamu.Tapi aku tetap menghadap ke Mas Arsya, tanpa mau melihat ke arah ruang tamu, yang tadi nampak sosok hantu perempuan tersebut. Karena aku takut, jika sosok itu masih ada."Dek, mana Kuntilanaknya? Nggak ada Kuntilanak kok, Dek! Kamu itu salah lihat kali, sebab yang ada itu Bi Asni, bukan Kuntilanak." Mas Arsya berkata, sambil membalikkan tubuhku, supaya aku menghadap ke ruang tamu, tetapi mataku tetap aku pejamkan. "Masa sih, Mas? Tapi tadi jelas-jelas aku melihat, kalau ada perempuan yang berambut panjang menuju pintu depan," terangku lagi."Iya, Dek, nggak ada kuntilanaknya," tegas Mas Arsya."Waduh ... ada Kuntilanak, Pak, Bu? Dimana, Pak? Tapi masa sih, ada Kuntilanak di rumah sebagus ini? Bapak dan Ibu kalau ngomong jangan sambil bercanda dong, jangan menakut-nakuti Bibi?" tanya seorang perempuan, yang terdengar seperti suara Bi Asni."Bukan aku, Bi, yang bila
Mang Ujang menyarankan, supaya semua ini diberitahukan kepada ketua RT komplek perumahanku. Tidak ada salahnya juga menurutku, kalau kami melaporkan semua ini. Karena memang kenyataannya, kalau kehidupan aku dan keluargaku terganggu gara-gara semua ini."Iya, Mas, apa yang disarankan Mang Ujang ada benarnya juga lho. Lebih baik kita lapor ke pihak RT, sebagai orang yang paling dekat di lingkungan kita. Siapa tau kalau kita lapor, Pak RT akan meningkatkan keamanan. Minimal diadakan lagi tuh yang namanya siskamling," timpalku merasa setuju dengan saran Mang Ujang."Tapi kalau menurut Mas sih untuk sekarang ini nggak perlu dulu deh, Dek. Tapi bukan berarti Mas tidak setuju dengan saran Mang Ujang, hanya selama kita masih bisa menanganinya sendiri, kita tidak perlu lapor dululah. Namun, jika memang sudah keterlaluan dan kita tidak dapat mengatasinya, baru kira lapor RT atau polisi sekalian." Mas Arsya menolak saran yanh diberikan oleh Mang Ujang. Ia juga sambil memberi alasan yang simpe
"Iya, Bu. Karena kemarin ada kejadian yang tidak mengenakan, makanya Mira meminta Mas Arsya, supaya menyuruh tukang untuk meninggikan pagarnya." Aku menjawab pertanyaan, yang dipertanyakan mertuaku."Lho ... menangnya ada kejadian apa, Mbak?" tanya Siska, yang merupakan adik iparku.Ia terlihat begitu heran, saat mendengar penuturanku. Aku pun segera menceritakan apa yang telah terjadi, setelah aku balik dari kampung. Aku memberitahu mereka sedetail mungkin, biar mereka tahu apa yang terjadi kepada keluargaku akhir-akhir ini."Ya ampun, kok serem sih, Kak? Tapi kalian baik-baik saja bukan?" tanya Siska lagi."Iya, Mira, cucu-cucu Mama tidak kekurangan sesuatu apa pun kan?" tanya Ibu mertua."Alhamdulillah, Bu, Siska, kami tidak apa- apa," sahutku."Alhamdulillah," ucap mereka serempak.Setelah itu kami ngobrol ngalor -ngidul, kedua anakku pun bermain dengan Nenek dan juga Tantenya. Karena kebetulan kedua anakku masih pada libur sekolah. Sekitar dua jam Ibu dan juga adik iparku berada
"Sudah-sudah, kalian nggak usah takut, Sayang! Ayo kita lihat siapa yang datang, kali aja itu saudara kita yang datang dari jauh!" ajakku kepada anak-anak, sambil menenangkan mereka.Padahal sebenarnya aku sendiri merasa takut, jika orang yang memencet bel itu adalah orang asing. Orang yang tidak kita kenal, atau bahkan orang jahat yang mau berniat jahat terhadap keluargaku. Tapi selain takut aku juga merasa penasaran, aku ingin tahu siapa yang memencet bel tersebut. "Kalau begitu Bunda aja yang lihat ya, Arka dan Azka tunggu di sini. Arka takut, soalnya," saran Arka."Kita melihatnya sama-sama aja, Kak, toh kita melihatnya juga dari CCTV, bukan harus keluar rumah langsung.""Oh iya, Arka lupa! Kan, sekarang rumah kita dipasang CCTV ya." Arka berkata sambil menepuk jidatnya."Iya dong, Nak. Ayo kita lihat," ujarku, sambil meraih handphone yang tergeletak di nakas.Setelah itu aku membuka handphone yang telah tersambung dengan monitor CCTV tersebut. Kami bertiga pun melihat siapa yan
"Bibi nggak tau, Pak. Tiba-tiba saja ada yang memukul Bibi, saat Bibi memencet bel." Bi Minah menjawab pertanyaan Pak Suryo, sambil tetap memijit kepalanya."Kira-kira siapa ya, yangAku merasa kasihan kepada asistenku ini, kenapa bisa menjadi seperti ini. Siapa sebenarnya orang yang telah memukulnya itu? Padahal baru juga sampai, tetapi sudah mendapat teror, yang membuatnya sampai pingsan. Siapapun yang melakukan semuanya ini, tetap masih menjadi misteri yang tak kunjung terkuak. Tetapi aku tetap semangat untuk membuktikan siapa pelaku sebenarnya.Nanti aku akan mengecek CCTV, siapa tahu ada bukti yang akurat, tentang siapa yang membuat Bi Minah sampai pingsan. Aku akan memutar kejadian tersebut dengan menggunakan CCTV, yang menempel di tiap sudut rumahku. Bahkan jika terus seperti ini, sepertinya aku perlu menggunakan satpam untuk menjaga keamanan lingkungan rumahku. Karena hanya aku yang mendapatkan teror ini, sedangkan penghuni komplek lainnya terlihat baik-baik saja. Aku sampai
"Iya, Bu Titi, alhamdulillah Mira sudah lapor Rt. Bahkan sudah lapor polisi juga dan katanya sekarang sedang diselidiki. Semoga saja segera tertangkap tuh penjahatnya," terangku.Aku memberitahu Bu Titi, tentang perkembangan kasus teror tersebut."Oh, sudah langsung dipolisikan ya, Bu Mira? Bagus si, biar ada kepastian siapa pelakunya." Bu Titi bertanya kembali."Iya, Bu, sudah. Biar nanti kalau ketangkap siapa pelakunya, dia akan ada efek jera buatnya. Soalnya kelakuannya sudah keterlaluan, sampai menganiaya orang segala. Biar kapok tuh penjahat," sungutku."Benar, Bu Mira, kamu memang sudah tepat melakukan semua itu," ujar Bu Titi lagi, yang dari tadi manggut-manggut mendengar penuturanku. Kami berdua ngobrol, sambil memilih sayuran dan bumbu yang dibutuhkan masing-masing. Orang-orang yang belum tau tentang kejadian yang menimpa asisten rumah tanggaku pun pada bengong, mereka memperhatikan aku dan Bu Titi yang terus asyik berbicara."Lho ... Bu Mira, Bu Titi, memangnya ada kejadian
"Eh ... Iya maaf, Bu Mira, aku keceplosan," ucapnya sambil menutup mulut.Kini baik Bu Nia, Bu Titi dan Ibu-ibu yang lainnya pun tidak berkata apapun lagi, setelah aku berbicara seperti itu. Aku kembali fokus dengan apa yang akan aku beli disana dan setelah aku rasa cukup, aku pun segera membayar barang belanjaan tersebut."Bu-Ibu, aku pulang duluan ya," pamitku, setelah membayar barang belanjaanku."Iya, Bu Mira, hati-hati di jalan," ucap mereka serempak."Makasih ya atas perhatiannya. Aku duluan, assalamualaikum," ucapku, sambil berbalik dan menenteng plastik hitam yang berisi belanjaan."Iya, Bu Mira, walaikumsalam." Mereka kembali menyahut ucapan salam dariku.Aku pun segera pergi meninggalkan tempat belanja dan kembali pulang ke rumahku. Namun, pada saat sampai di depan rumah kosong, tidak sengaja aku melirik ke arah rumah kosong tersebut dan jelas sekali terlihat, jika jendela rumah tersebut terbuka sedikit. Tapi setelah aku memperhatikan rumah tersebut, jendela tersebut kemudi
Aku berharap banyak, semoga Bu Titi memiliki nomer Pak Kusno tersebut."Oh ... Bu Mira butuh nomernya Pak Kusno ya. Sebenernya ada sih, Bu. Tapi aku hanya ada nomer istrinya, serta tidak tau masih aktif atau nggak. Soalnya sudah lama juga kami lost kontak. Maklum akhir-akhir ini aku dan suami sibuk sekali, jadi jarang berkomunikasi dengan beliau." "Aduh gimana ya?" tanyaku bingung, "maaf, Bu, apa bisa aku minta tolong?""Bisa dong, Bu Mira, memangnya Ibu mau minta tolong apa?" tanya balik Bu Titi."Itu, Bu, coba tolong hubungi istrinya Pak Kusno-nya! Apa nomernya masih aktif atau tidak? Atau kalau boleh Ibu kirim saja nomernya ke nomer Mira," pintaku."Oh ... Boleh-boleh, sebentar aku hubungi beliau," ujarnya, sambil mengutak-atik gawainya, kemudian ia pun meneleponnya.Terdengar bunyi dari telepon milik Bu Titi, yang sedang menghubungi seseorang. Aku pun terdiam dan menunggu, semoga saja teleponnya aktif."Ih ... kok, telepon whatsapp-nya nggak aktif ya, Bu. Nanti coba dulu pakai