"Alhamdulillah, Mas, ternyata semua itu hanya mimpi," terangku, sambil memeluknya erat."Kamu mimpi apa? Kok nangisnya sampai begitu?" tanya Mas Arsya heran."Tadi aku bermimpi, Mas. Aku berada di tempat yang tidak aku kenal sama sekali, aku menangis karena takut tidak bertemu lagi dengan kalian. Aku kira itu beneran, eh ternyata itu hanya mimpi," terangku.Aku pun menuturkan panjang lebar, tentang semua yang aku alami barusan. Mas Arsya pun mendengarkan ceritaku, dengan sungguh-sungguh."Oh, jadi seperti itu ya, Sayang. Pantesan kamu nangis kejer tadi," sahut Mas Arsya."Iya, Mas, habisnya aku sedih banget," ujarku."Ya pasti sedih dong, Sayang. Mas juga pasti merasa sedih, jika dalam keadaam seperti itu," timpal Mas Arsya."Mas, kemana Bapak?" tanyaku kemudian, setelah tidak melihat keberadaan Bapak.Mas Arsya pun memberitahuku kemana Bapak, rupanya cinta pertamaku itu sedang shalat ashar. Karena ternyata saat ini telah menunjukan pukul empat lewat tiga puluh menit."Mas, aku juga
Jawaban Susi malah seolah menantangku, hingga membuat aku gemas. Kalau saja aku tidak sedang sakit, akan aku datangi dirinya. Aku tidak menjawab chat dari Susi lagi, sebab aku merasa dongkol sendiri menghadapi si Susi itu. Apakah sebenarnya Susi memiliki kelainan jiwa atau bagaimana? Itu yang terus menjadi pertanyaanku. Aku berpikir seperti itu karena perlakuannya selalu diluar batas manusia, yang selalu berpikiran normal.Mungkin aku harus tanyakan ini kepada Mas Hamdan, yang notabene adalah mantan suaminya Susi. Aku kembali ke beranda, melihat postingan teman temanku yang lain. Niatku untuk meredam emosi yang membara akibat ulah Susi, tapi ternyata emosiku malah tambah meluap-luap, saat postingan Susi yang lain mampir diberandaku.Statusnya adalah ia berterima kasih sama seseorang yang telah menolongnya, serta ia telah memberi hadiah kepadanya berupa ciuman. Itu artinya yang dia maksud adalah suamiku. Aku merasa sangat yakin, kalau yang dimaksud Susi adalah Mas Arsya. Susi rupanya b
"Nggak sih, cuma kira-kira habis berapa tuh uang untuk rental mobil? Kalau nggak bisa bayar, bukannya dapat merugikan orang lain ya? Mana yang disewa ini mobil mewah lagi, kan kasihan sama yang punya rentalannya! Bener nggak sih, Ibu-ibu?" tanya Bu Mega, sambil melirik ke arah Ibu-ibu yang ia tanya tersebut.Ia bicara sambil mencebikkan bibirnya, seolah sedang mengejek kepadaku. Ibu-ibu yang ditanya pun mengiyakan, kemudian mereka langsung tertawa, seakan menertawakan apa yang diucapkan Bu Mega. Padahal menurutku ucapan Bu Mega barusan tidak ada lucunya sama sekali. Tapi kok mereka malah tertawa seperti itu."Kenapa Bu Mega, kok Ibu kepo banget sih dengan kehidupanku? Mau berapa hari, minggu, bulan, ataupun tahun sekalipun aku berada di kampung ini itu bukan urusan Ibu. Lagian biarpun aku memberitahu nominal angka buat merental mobil ini, aku juga sangat yakin Ibu Mega tidak akan mau membantu aku untuk membayarnya bukan? Maka dari itu, Bu, lebih baik Ibu diam saja! Ibu nggak usah meng
"Ya iya dong, Mira. Coba kalau kamu berpenampilan seperti orang kaya, nggak mungkin aku memandangku dengan sebelah mata. Jadi kamu jangan salahkan aku bersikap seperti kemarin-kemarin, sebab semuanya juga karena salah kamu." Mbak Nina malah menyalahkanku, dengan semua perlakuannya kepadaku kemarin-kemarin."Ada apa ini? Siapa yang kaya?" tanya Uak Risma kepo, saat ia baru nongol ke warung anaknya tersebut.Entah telah pergi darimana dia, sehingga ia ketinggalan banyak informasi."Ini, Mah, ternyata Mira itu orang kaya lho! Mobil ini juga ternyata miliknya, serta dia juga sudah memiliki dua cabang rumah makan yang megah di Jakarta." Mbak Nina memberitahu ibunya, kalau aku ini seorang yang kaya."Ah masa sih, kok Mama nggak percaya ya," ujar Uak Risma.Uakku ini tidak percaya, dengan apa yang diucapkan oleh anaknya terseabut. Mungkin menurutnya mustahil, kalau aku bisa menjadi orang yang kaya raya. Padahal perjuanganku untuk menjadi saat ini tidaklah mudah.Karena aku berjuang selama s
"Nggak apa-apa, Bu Fatimah, kebetulan aku sedang puasa kemisan," jawab Bu Ustadzah.Ternyata Bu Ustadzah sedang puasa sunah, makanya ia tidak makan dan minum dari tadi, beda dengan Ibu-ibu yang lainnya."Oh ... maaf, Bu. Aku lupa hari," ucap Ibu sambil terkekeh."Iya nggak apa-apa, Bu Fatimah. Ya sudah permisi dulu ya semuanya, assalamualaikum." Bu Ustadzah pamit untuk yang kedua kalinya."Waalaikumsalam," sahut kami.Banyak yang pamit pulang, berbarengan dengan Bu Ustadzah, termasuk Mbak Saidah. Kini tamu yang masih tertinggal di rumah Ibu, hanya rombongan si mulut pedas saja. Mereka semua dari tadi tidak berhenti makan, seperti yang tidak pernah makan apa yang dihidangkan oleh ibuku.Entah untuk hal apa, mereka masih berada di rumah ini? Karena dari tadi mereka tidak berkata apapun, hanya asyik makan saja. Mereka seolah tidak punya rasa malu atau rasa segan kepadaku dan keluargaku. Karena mereka semua selama ini selalu membuat masalah denganku."Maaf, Bu-ibu, apa masih ada yang mau
"Mira, kok kamu marah sih?" tanya Susi seolah tidak terima dengan sikapku ini."Ya bagaimana aku tidak emosi, jika kalian itu berisik banget mulutnya? Karena keributan yang kalian timbulkan, sehingga membuat aku dan suamiku yang sedang beristirahat terganggu. Jika kalian memang mau bebas melakukan apapun sesuka kalian, ya sudah pergi saja dari sini! Kalian tinggal berisiknya di rumah kalian saja, jangan ribut di rumah orang seperti ini," tegurku.Aku sengaja berkata agak kasar, supaya mereka bisa mengerti, kalau aku dan keluargaku terganggu."Kamu kok marah-marah terus sih, Mira. Ibu kamu yang mempunyai rumah ini saja santai kok, nggak kaya kamu," jawab Susi."Ibuku memang orang baik, jadi dia masih menghargai kalian sebagai tamunya. Tapi tidak denganku, aku tidak bisa sebaik beliau. Jadi aku minta sama kalian, kalian segera pergi sekarang juga! Tinggalkan rumah ibuku, jangan lupa bersihkan dulu kulit kacang, yang kalian buang sembarangan! Lalu kalian bawa pulang sana, jangan pernah
POV SusiNamaku Susi Sulistiawati, aku memiliki teman bernama Mira. Sejak kecil kami sering bermain bersama, bahkan sekolah pun di sekolah yang sama.Bahkan kami pun selalu memakai pakaian yang sama, kami sudah seperti seorang anak kembar saja. Namun ada hal yang membedakan kami berdua.Mira tumbuh di keluarga yang penyayang, sehingga membuat dia dilimpahi dengan kasih sayang dari orang tuanya. Apalagi Mira merupakan anak satu-satunya, jadi kasih sayang orang tuanya terfokus kepadanya.Berbeda denganku, yang dari keluarga broken home. Sebelum orang tuaku berpisah, hampir setiap hari aku melihat pertengkaran Bapak dan Ibuku.Bukan hanya pertengkaran mulut, tetapi terkadang mereka juga saling baku hantam dihadapanku. Bahkan pernah aku menjadi korban kekerasan mereka hingga aku terluka, serta harus dilarikan ke rumah sakit.Semenjak saat itu, aku sering tinggal di rumah Mira. Bukan hanya Mira yang selalu mengajakku tinggal di rumahnya, melainkan orang tua Mira juga, yaitu Bu Fatimah dan
"Sudah-sudah, kalian jangan berdebat lagi! Lebih baik kalian semua segera pergi dari rumah mertuaku," perintah Mas Arsya.Sepertinya Mas Arsya sudah dapat memprediksi, jika Susi masih terus berada di rumah Ibu dan ia masih berkata yang tidak-tidak. Maka sudah dipastikan perang dunia ketiga, tidak akan bisa dihindari lagi. Karena walaupun aku baru pulang dari rumah sakit, tapi keberanianku tetap full. Aku juga bahkan sudah siap, jika harus melawan Susi saat ini juga."Susi, sudahlah, ayo kita pergi saja!" ajak teman-temannya Susi, yang aku pun tidak mengetahui nama mereka. Karena aku juga baru bertemu dengan mereka saat ini. Hanya saja, kalau melihat dari penampilan mereka, sepertinya mereka itu bukan perempuan baik-baik. Tapi itu pun hanya terlihat dari bungkusnya saja, tetapi kenyataannya aku juga tidak tahu."Awas ya kamu, Mira," ujar Susi, dengan telunjuknya menunjuk wajahku, lalu ia pun pergi mengikuti Mbak Nina beserta teman-temannya.Kini mereka semua pun pergi dari rumah orang
"Iya, Dek, jeruknya dari Bu Marni. Emangnya ada yang salah ya, kok kamu sepertinya kaget banget sih?" tanya Mas Arsya, sambil mengerutkan keningnya.Aku benar-benar merasa tidak percaya dengan penuturan suamiku, yang saat ini telah mendapat rezeki buah jeruk dari Bu Marni, orang yang merupakan otak dari semua teror yang dilakukan Susi, yang bahkan keberadaannya saat ini sedang dicari polisi."Nak, kenapa kamu terlihat kaget, saat suamimu mengucap nama Bu Marni? Memangnya kamu ada masalah ya sama dia" tanya Ibu, sambil menatap kearahku. Beliau juga terlihat heran, mendengar kekagetanku tadi."Betul, Nak, coba deh cerita sama Bapak. Ada masalah apa kamu sama Bu Marni, mungkin Bapak bisa bantu," timpal Bapak.Bapak, Ibu dan suamiku sampai mengerutkan keningnya. Mereka keheranan, kenapa aku bisa sehisteris itu berkata saat mendengar nama Bu Marni.Hingga kini membuat keluargaku melongo dengan sikapku itu. Mereka semua tidak mengerti, mengapa tadi aku bertanya dengan nada yang begitu kag
"Asyik ada Nenek dan juga Kakek, kapan Nenek dan Kakek sampai rumah Azka?" tanya Azka, sambil menghambur kepelukan Ibu dan juga Bapak.Azka juga menanyakan hal yang sama, kepada Ibu dan Bapak. Ia begitu senang, saat melihat Ibu dan Bapak sudah berada dirumahku."Barusan, Nak. Bagaimana kalian sehat?" tanya Ibu balik."Alhamdulillah, Bu, kami dalam keadaan sehat. Bu, kenapa Ibu tidak mengabari dulu, kalau Ibu mau datang? Kan bisa aku jemput, kalau Ibu mengabari dulu?" tanyaku lagi.Aku merasa kaget, saat Ibu dan Bapakku sudah berada di rumah saat ini. Padahal mereka sama sekali belum memberi kabar kepadaku, kalau mereka mau datang saat ini. "Nak, semenjak kalian balik dari kampung. Ibu merasa tidak tenang, Ibu bahkan selalu bermimpi buruk tentang kalian. Makanya Ibu dan Bapak sekarang menyusul kesini," terang Ibu."Iya, Nak, apa yang dibilang oleh ibumu itu benar. Ibumu tidak bisa tidur tenang semenjak kalian balik ke kota," timpal Bapak.Benar-benar begitu kuat, ikatan batin antara
"Boleh kok, Bu. Supaya Ibu juga waspada, serta dapat memberitahu kami, jika melihat dia dimanapun." Pak Junaedi memperbolehkan aku mengetahui siapa orang tersebut."Terus siapa orangnya ya, Pak?" tanyaku lagi.Aku terus saja mendesak, tentang siapa pelaku lain yang meneror keluargaku. Karena aku benar-benar merasa penasaran dengan semuanya ini. Aku juga tidak mau kecolongan lagi, biar aku terus waspada menghadapi kemungkinan apapun. Aku akan tetap siaga menghadapi semuanya, walaupun itu adalah kemungkinan terburuk didalam kehidupanku."Bu Mira ... orang yang bersekutu dengan Bu Susi itu adalah Bu Marni. Ia juga seorang pemilik rumah makan, sama seperti Bu Mira. Menurut Susi, Bu Marni adalah orang yang mendukung dan mem-fasilitas-i dirinya, selama melakukan peneroran terhadap Ibu dan juga keluarga. Bahkan Bu Marni juga, yang membayar sewa rumah Pak Suryo untuk tempat tinggal Bu Susi." Pak Junaedi membeberkan semua yang didengarnya, dari pengakuan Susi tersebut."Astagfirullah ... jadi
Namun apa yang dilakukan Susi tidaklah ada artinya, para polisi tetap membawa Susi pergi dari hadapan kami dengan menggunakan mobil pribadi. Mereka melakukan semua itu, supaya tidak terlalu mencolok saat pengintaian tadi.Setelah para polisi pergi, sambil membawa Susi untuk diadili. Warga yang menonton pun ikut membubarkan diri, mereka pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga aku dan Mas Arsya, aku dan suamiku pun segera masuk ke dalam rumah karena waktu telah larut.Saat ini telah menunjukan waktu setengah dua belas malam. Aku pun tidak lupa mengunci pintu gerbang dan juga pintu rumah, kemudian kami segera masuk kamar dan tidur. Aku dan Mas Arsya tidak lagi membahas Susi atau siapapun, tetapi kami langsung tertidur pulas saking ngantuknya.***"Bu Mira, semalam itu siapa yang ditangkap?" tanya Bu Titi, dia sengaja datang ke rumahku saking penasarannya."Itu, Bu, teman masa kecil aku sewaktu di Kampung," jawabku."Kok dia bisa mempunyai rasa dendam yang begitu besar sih sama, Bu Mir
Aku pun merasa kaget, saat mendengar curhatan Susi. Rupanya dari masa lalunya yang buruk itulah, hingga membuat hati Susi memiliki sifat iri dengki kepadaku. Karena ia merasa tidak seberuntung aku, makanya ia merasa iri terhadap kehidupanku yang menurutnya sempurna.Tetapi apa yang dilakukannya ini sudah sangat keterlaluan. Ia begitu tega membuat aku dan keluargaku merasa khawatir dan juga was-was. Bahkan hampir membuat asisten rumah tanggaku celaka. Lebih parah lagi, ia hampir saja membuat aku kehilangan nyawa, kalau saja Allah tidak menyelamatkan aku waktu itu.Hanya saja waktu itu tidak ada saksi, sehingga aku tidak bisa menuntutnya kejalur hukum. Tetapi saat ini, aku tidak akan pernah lagi membiarkannya lepas begitu saja. Aku tidak mau ia sampai terlepas dari jeratan hukum, yang memang sepantasnya ia terima."Susi, kok kamu tega betul sih? Padahal aku kan selalu berbuat baik kepadamu? Tapi mengapa ini balasan yang kamu berikan kepadaku?" tanyaku merasa tidak percaya dengan apa yan
"Iya, Pak, siap. Aku dan juga keluarga akan mengikuti arahan dari bapak. Kami akan melaksanakan apapun, sesuai dengan apa yang sudah direncanakan tadi siang." Aku menyetujui permintaan Pak Junaedi tersebut."Bagus, Bu. Kami juga sedang mengintai rumah Ibu kok," ujar Pak Junaedi.Aku pun merasa tenang, setelah Pak Junaedi berkata seperti itu. Sebab aku tidak takut lagi, jika ada yang akan berbuat onar kepada keluargaku."Terima kasih, Pak," ucapku.Setelah itu panggilan telepon pun terputus, aku dan Mas Arsya bersiap-siap. Sedangkan kedua anakku telah tertidur pulas. Pada jam sepuluh malam, seperti biasanya bel dirumahku berbunyi. Sepertinya si peneror sedang melancarkan aksinya. Aku dan Mas Arsya pun melihat semua kegiatan yang ada di luar sana, dari handphone yang sudah tersambung dengan CCTV. Didepan rumahku sudah terdapat seseorang, yang memakai pakaian serba hitam dengan penutup kepala serba hitam juga.Tidak berapa lama, dari arah belakang orang tersebut, sudah terdapat para pol
"Oh ... iya, Bi. Terima kasih ya, Bi," ucapku."Sama-sama," sahut Bi Minah.Aku dan Mas Arsya pun menemui komandan polisi, yang sedang menangani kasus peneroran ini. Sedangkan Bi Minah menyiapkan minum untuk tamuku tersebut."Selamat sore, Bu Mira dan juga Pak Arsya," sapa Komandan, yang berpenampilan seperti warga biasa, tanpa seragam kebesarannya."Sore juga, Komandan," sahut Mas Arsya."Bagaimana, Komandan? Apa sudah ada perkembangan?" tanyaku to the point.Aku langsung bertanya kepada tamuku, tentang kasus yang sedang diselidikinya. Aku merasa penasaran, dengan semua yang terjadi."Haa ... Haa ... Ha, Ibu rupanya sudah tak sabar ingin segera tau perkembangannya ya?" tanya balik sang Komandan tersebut."Hee ... I-iya,Komandan. Maaf ya, Komandan," sahutku salah tingkah karena malu."Jadi begini, Bu, Pak. Memang kebetulan, saya datang kesini juga karena ingin membahas tentang penyelidikan yang sedang saya tangani, tentang kasus peneroran keluarga Ibu dan Bapak." Komandan pun memberi
"Hallo, assalamualaikum," ucapku, setelah panggilan terhubung."Waalaikumsalam, maaf ini dengan siapa ya, soalnya nomernya baru dan belum ada di kontak saya." Suara seorang pria bertanya, pada saat aku selesai mengucap salam."Ini, Pak, aku Mira istrinya Mas Arsya, yang rumahnya berada di samping Pak Suryo. Di kompleks Puri Indah," sahutku."Oh iya, Bu Mira, maaf ya! Saya pikir nomernya siapa?""Iya, Pak, tidak apa. Aku juga minta maaf, sebab sudah mengganggu waktunya," ucapku lagi.Kemudian aku pun segera memberitahu maksud dan tujuanku."Jadi rumah yang berhadapan dengan Pak Suryo itu sudah ada yang mengontrak ya?" tanyaku."Iya, Bu," sahut Pak Kusno menegaskan." Tapi kok seperti tidak ada penghuninya ya, Pak. Soalnya setiap hari sepi dan selalu tertutup, seperti tidak ada kehidupan di sana," ungkapku."Ah masa sih, Bu? Mungkin ia seorang pekerja, Bu, yang berangkat pagi pulang malam," ujar Pak Kusno lagi menerka-nerka.Ternyata benar dugaaanku, jika rumah tersebut tidaklah kosong
Aku berharap banyak, semoga Bu Titi memiliki nomer Pak Kusno tersebut."Oh ... Bu Mira butuh nomernya Pak Kusno ya. Sebenernya ada sih, Bu. Tapi aku hanya ada nomer istrinya, serta tidak tau masih aktif atau nggak. Soalnya sudah lama juga kami lost kontak. Maklum akhir-akhir ini aku dan suami sibuk sekali, jadi jarang berkomunikasi dengan beliau." "Aduh gimana ya?" tanyaku bingung, "maaf, Bu, apa bisa aku minta tolong?""Bisa dong, Bu Mira, memangnya Ibu mau minta tolong apa?" tanya balik Bu Titi."Itu, Bu, coba tolong hubungi istrinya Pak Kusno-nya! Apa nomernya masih aktif atau tidak? Atau kalau boleh Ibu kirim saja nomernya ke nomer Mira," pintaku."Oh ... Boleh-boleh, sebentar aku hubungi beliau," ujarnya, sambil mengutak-atik gawainya, kemudian ia pun meneleponnya.Terdengar bunyi dari telepon milik Bu Titi, yang sedang menghubungi seseorang. Aku pun terdiam dan menunggu, semoga saja teleponnya aktif."Ih ... kok, telepon whatsapp-nya nggak aktif ya, Bu. Nanti coba dulu pakai