POV SusiNamaku Susi Sulistiawati, aku memiliki teman bernama Mira. Sejak kecil kami sering bermain bersama, bahkan sekolah pun di sekolah yang sama.Bahkan kami pun selalu memakai pakaian yang sama, kami sudah seperti seorang anak kembar saja. Namun ada hal yang membedakan kami berdua.Mira tumbuh di keluarga yang penyayang, sehingga membuat dia dilimpahi dengan kasih sayang dari orang tuanya. Apalagi Mira merupakan anak satu-satunya, jadi kasih sayang orang tuanya terfokus kepadanya.Berbeda denganku, yang dari keluarga broken home. Sebelum orang tuaku berpisah, hampir setiap hari aku melihat pertengkaran Bapak dan Ibuku.Bukan hanya pertengkaran mulut, tetapi terkadang mereka juga saling baku hantam dihadapanku. Bahkan pernah aku menjadi korban kekerasan mereka hingga aku terluka, serta harus dilarikan ke rumah sakit.Semenjak saat itu, aku sering tinggal di rumah Mira. Bukan hanya Mira yang selalu mengajakku tinggal di rumahnya, melainkan orang tua Mira juga, yaitu Bu Fatimah dan
"Sudah-sudah, kalian jangan berdebat lagi! Lebih baik kalian semua segera pergi dari rumah mertuaku," perintah Mas Arsya.Sepertinya Mas Arsya sudah dapat memprediksi, jika Susi masih terus berada di rumah Ibu dan ia masih berkata yang tidak-tidak. Maka sudah dipastikan perang dunia ketiga, tidak akan bisa dihindari lagi. Karena walaupun aku baru pulang dari rumah sakit, tapi keberanianku tetap full. Aku juga bahkan sudah siap, jika harus melawan Susi saat ini juga."Susi, sudahlah, ayo kita pergi saja!" ajak teman-temannya Susi, yang aku pun tidak mengetahui nama mereka. Karena aku juga baru bertemu dengan mereka saat ini. Hanya saja, kalau melihat dari penampilan mereka, sepertinya mereka itu bukan perempuan baik-baik. Tapi itu pun hanya terlihat dari bungkusnya saja, tetapi kenyataannya aku juga tidak tahu."Awas ya kamu, Mira," ujar Susi, dengan telunjuknya menunjuk wajahku, lalu ia pun pergi mengikuti Mbak Nina beserta teman-temannya.Kini mereka semua pun pergi dari rumah orang
"Mira, walau Mbak dekat dengan Susi,vtapi aku nggak tau kehidupan asli dia itu seperti apa? Cuma yang aku tahu, kalau Susi itu susah sekali untuk mempunyai anak. Padahal dia itu telah lama sekali menikah, serta telah berbagai usaha juga yang dia lakukan. Tapi hasilnya selalu nihil," jawab Mbak Nina pada akhirnya.Ternyata walaupun mereka berdua dekat, tapi Mbak Nina juga tidak tahu, tentang tabiat Susi yang sesungguhnya."Oh ... jadi begitu ya, Mbak. Terus setelah Mbak tahu keadaanku yang sebenarnya, apa Mbak sekarang sudah mau mengakui aku sebagai saudara atau tidak?" tanyaku."Ya pasti mau memakui lah, Mira, masa iya tidak? Memangnya kenapa sih, kok kamu ngomongnya seperti itu?" tanya balik Mbak Nina."Nggak apa-apa kok, Mbak. Cuma aku masih merasa hambar saja, dengan rasa kekeluargaan kita ini," ujarku. Aku kini tidak lagi menanyai tentang Susi tetapi aku ingin tahu tentang sikapnya Mbak Nina kepadaku setelah mengetahui aku tidak semiskin yang ia kira. Aku ingin tahu, Mvak Nina i
"Aww ... sakit, Dek! Kamu itu kenapa sih, Dek, kok main asal tonjok perut, Mas?" tanya Mas Arsya, sambil terus meringis dan memegangi perutnya, yang kena tojokanku tadi."Eh ... apa ini kamu, Mas?" tanyaku balik, sambil menatap tajam ke arah suamiku yang sedang kesakitan.Aku benar-benar tidak mengira, jika yang kena bogem mentah tersebut tiada lain dan tiada bukan adalah suamiku sendiri. Tadinya aku mengira itu orang yang berniat jahat, makanya tanpa pikir panjang aku menyerang duluan, sebelum dia menyerangku."Ya iya, Dek, aku ini suamimu Arsya! Memangnya kamu pikir aku ini siapa, sampai kamu menonjok Mas seperti itu?" tanya Mas Arsya lagi."Iya, Mas, aku minta maaf ya! Aku tadi itu refleks karena kaget banget! Tadi itu aku kira yang berdiri dibelakangku itu orang iseng, yang ngerjain aku atau orang jahat yang mau mencelakakan aku. Eh ternyata kamu, Mas! Lagian kamu juga salah, Mas! Kenapa juga kamu nggak menegur aku dulu sih?" Aku malah menyalahkan suami, sebab menurutku dia itu c
Aku merasa kaget, saat melihat ada bangkai ditempat aku menjemur pakaian yang ada di halaman belakang. Bangkai tersebut, sepertinya memang ada yang sengaja menyimpan di sana karena terbungkus rapi."Ada apa, Dek, kok kamu memanggil Mas sampai segitunya?" tanya Mas Arsya kepadaku.Ia datang dengan tergopoh-gopoh serta dengan wajah yang panik."Itu lho, Mas, ada itu," kataku sambil menunjuk dus yang masih tergeletak di tempatnya."Apaan sih, Dek, coba kamu ngomong yang jelas, biar Mas bisa paham?" tanya Mas Arsya lagi."Itu lho, Mas, di dus! Coba deh kamu lihat sendiri, hih!" tunjukku sambil bergidik ngeri.Mas Arsya pun langsung melihat, kearah yang telah aku tunjukkan kepadanya. Aku masih merasa ngeri, saat tadi melihat apa isi di dalam dus tersebut. Aku yakin kalau semua ini ulah orang iseng, tapi siapa orang yang melakukan semua ini? Aku pun bertanya-tanya dalam hati, "apakah semua ini ada hubungannya dengan orang yang semalam memencet bel? Ataukah ada orang lain yang melakukan s
"Ada, Bu, sebentar ya saya panggilkan dulu! ayo silahkan masuk dulu, Bu!" Bi Asni mengajak aku untuk masuk ke rumahnya."Nggak usah, Bi. Biar aku menunggu diluar saja," ujarku."Ya sudah kalau begitu, aku pamit dulu ya, Bu. Aku mau memanggil Kang Ujangnya dulu," pamit Bi Asni."Iya, Bi, silakan,"Setelah berpamitan Bi Asni pun segera masuk ke dalam rumah dan memanggil suaminya. Ia berjalan tergesa, saat meninggalkan aku di luar. Aku kembali teringat akan rumah kosong, yang sepertinya ada penghuninya tersebut. Tapi aku tidak tahu itu benar, atau hanya khayalan aku saja. Tidak berapa lama, Mang Ujang dan juga istrinya keluar dari dalam rumah. Kedatangan mereka pun membuyarkan lamunanku, tentang rumah kosong tersebut. "Bu Mira, kok tumben sih, Ibu sampai bela-belain datang kerumah! Biasanya juga kalau butuh bantuan Mang, selalu lewat telepon?" tanya Mang Ujang."Iya, Mang, kebetulan aku sekalian mau membeli sesuatu di mini market depan pengkolan sana. Makanya aku sekalian saja ke rumah
"Oh ... jadi seperti itu ya, Bu, kalau begitu lebih baik Ibu bertanya langsung ke Pak Suryo ataupun istrinya! Siapa tau mereka mempunyai jawaban, atas pertanyaan Ibu itu." Mang Ujang memberi saran kepadaku."Iya, Mang, itu pasti sih. Nanti aku pasti bertanya kepada mereka.Terima kasih ya, Mang, atas sarannya," ucapku."Iya, Bu, sama-sama," sahut Mang Ujang.Setelah itu, aku, suami dan Mang ujang pun membicarakan hal lain. Kami bertiga berdiskusi untuk membicarakan tentang rencana peninggian pagar halaman belakang rumahku, supaya tidak ada oranh iseng lagi, yang menyimpan apapun seperti yang terjadi tadi pagi. Setelah mendapat kesepakatan, Mang Ujang pun pamit pulang untuk mengambil perlengkapan tukang. Mas Arsya kemudian menelepon pemilik toko bangunan, supaya ia mengirim semua perlengkapan yang kami butuhkan untuk peninggian pagar tersebut."Mas, bagaimana? Apa semuanya sudah beres?" tanyaku."Iya, Sayang, Mas sudah meminta Pak Dadang untuk mengirim semua perlengkapannya. Paling na
"Baik, Bunda," sahut mereka."Bagus. Ya sudah, kalau begitu Bunda cuci tangan dulu ya, kalian sudah kenyang kan makannya?" "Sudah kenyang, Bunda,"Setelah itu aku segera pergi meninggalkan mereka berdua, sedangkan kedua anakku kembali main dan tetap bermain di dalam ruangan bermain mereka. Tapi sebelum pergi ke dapur, aku pergi ke depan dulu untuk mengecek pintu pagar. Aku benar-benar was-was, takut ada orang tidak di kenal masuk saat kami sedang berada di belakang. Apalagi setelah mendengar penuturan kedua anakku barusan. Tapi aku lihat semuanya aman, pintu pagar masih tetap terkunci. Aku pun kemudian kembali ke dalam rumah, tetapi sebelum itu aku melihat dulu ke arah rumah kosong tersebut. Tapi saat ini, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana, makanya aku merasa aneh dengan rumah kosong tersebut.'Kok perasaan aneh banget ya sekarang, padahal sebelum aku pulang kampung, tidak pernah ada kejadian apapun terhadapku, atau hal aneh apapun yang ada di rumah kosong ini. Tetapi setelah