"Mira, walau Mbak dekat dengan Susi,vtapi aku nggak tau kehidupan asli dia itu seperti apa? Cuma yang aku tahu, kalau Susi itu susah sekali untuk mempunyai anak. Padahal dia itu telah lama sekali menikah, serta telah berbagai usaha juga yang dia lakukan. Tapi hasilnya selalu nihil," jawab Mbak Nina pada akhirnya.Ternyata walaupun mereka berdua dekat, tapi Mbak Nina juga tidak tahu, tentang tabiat Susi yang sesungguhnya."Oh ... jadi begitu ya, Mbak. Terus setelah Mbak tahu keadaanku yang sebenarnya, apa Mbak sekarang sudah mau mengakui aku sebagai saudara atau tidak?" tanyaku."Ya pasti mau memakui lah, Mira, masa iya tidak? Memangnya kenapa sih, kok kamu ngomongnya seperti itu?" tanya balik Mbak Nina."Nggak apa-apa kok, Mbak. Cuma aku masih merasa hambar saja, dengan rasa kekeluargaan kita ini," ujarku. Aku kini tidak lagi menanyai tentang Susi tetapi aku ingin tahu tentang sikapnya Mbak Nina kepadaku setelah mengetahui aku tidak semiskin yang ia kira. Aku ingin tahu, Mvak Nina i
"Aww ... sakit, Dek! Kamu itu kenapa sih, Dek, kok main asal tonjok perut, Mas?" tanya Mas Arsya, sambil terus meringis dan memegangi perutnya, yang kena tojokanku tadi."Eh ... apa ini kamu, Mas?" tanyaku balik, sambil menatap tajam ke arah suamiku yang sedang kesakitan.Aku benar-benar tidak mengira, jika yang kena bogem mentah tersebut tiada lain dan tiada bukan adalah suamiku sendiri. Tadinya aku mengira itu orang yang berniat jahat, makanya tanpa pikir panjang aku menyerang duluan, sebelum dia menyerangku."Ya iya, Dek, aku ini suamimu Arsya! Memangnya kamu pikir aku ini siapa, sampai kamu menonjok Mas seperti itu?" tanya Mas Arsya lagi."Iya, Mas, aku minta maaf ya! Aku tadi itu refleks karena kaget banget! Tadi itu aku kira yang berdiri dibelakangku itu orang iseng, yang ngerjain aku atau orang jahat yang mau mencelakakan aku. Eh ternyata kamu, Mas! Lagian kamu juga salah, Mas! Kenapa juga kamu nggak menegur aku dulu sih?" Aku malah menyalahkan suami, sebab menurutku dia itu c
Aku merasa kaget, saat melihat ada bangkai ditempat aku menjemur pakaian yang ada di halaman belakang. Bangkai tersebut, sepertinya memang ada yang sengaja menyimpan di sana karena terbungkus rapi."Ada apa, Dek, kok kamu memanggil Mas sampai segitunya?" tanya Mas Arsya kepadaku.Ia datang dengan tergopoh-gopoh serta dengan wajah yang panik."Itu lho, Mas, ada itu," kataku sambil menunjuk dus yang masih tergeletak di tempatnya."Apaan sih, Dek, coba kamu ngomong yang jelas, biar Mas bisa paham?" tanya Mas Arsya lagi."Itu lho, Mas, di dus! Coba deh kamu lihat sendiri, hih!" tunjukku sambil bergidik ngeri.Mas Arsya pun langsung melihat, kearah yang telah aku tunjukkan kepadanya. Aku masih merasa ngeri, saat tadi melihat apa isi di dalam dus tersebut. Aku yakin kalau semua ini ulah orang iseng, tapi siapa orang yang melakukan semua ini? Aku pun bertanya-tanya dalam hati, "apakah semua ini ada hubungannya dengan orang yang semalam memencet bel? Ataukah ada orang lain yang melakukan s
"Ada, Bu, sebentar ya saya panggilkan dulu! ayo silahkan masuk dulu, Bu!" Bi Asni mengajak aku untuk masuk ke rumahnya."Nggak usah, Bi. Biar aku menunggu diluar saja," ujarku."Ya sudah kalau begitu, aku pamit dulu ya, Bu. Aku mau memanggil Kang Ujangnya dulu," pamit Bi Asni."Iya, Bi, silakan,"Setelah berpamitan Bi Asni pun segera masuk ke dalam rumah dan memanggil suaminya. Ia berjalan tergesa, saat meninggalkan aku di luar. Aku kembali teringat akan rumah kosong, yang sepertinya ada penghuninya tersebut. Tapi aku tidak tahu itu benar, atau hanya khayalan aku saja. Tidak berapa lama, Mang Ujang dan juga istrinya keluar dari dalam rumah. Kedatangan mereka pun membuyarkan lamunanku, tentang rumah kosong tersebut. "Bu Mira, kok tumben sih, Ibu sampai bela-belain datang kerumah! Biasanya juga kalau butuh bantuan Mang, selalu lewat telepon?" tanya Mang Ujang."Iya, Mang, kebetulan aku sekalian mau membeli sesuatu di mini market depan pengkolan sana. Makanya aku sekalian saja ke rumah
"Oh ... jadi seperti itu ya, Bu, kalau begitu lebih baik Ibu bertanya langsung ke Pak Suryo ataupun istrinya! Siapa tau mereka mempunyai jawaban, atas pertanyaan Ibu itu." Mang Ujang memberi saran kepadaku."Iya, Mang, itu pasti sih. Nanti aku pasti bertanya kepada mereka.Terima kasih ya, Mang, atas sarannya," ucapku."Iya, Bu, sama-sama," sahut Mang Ujang.Setelah itu, aku, suami dan Mang ujang pun membicarakan hal lain. Kami bertiga berdiskusi untuk membicarakan tentang rencana peninggian pagar halaman belakang rumahku, supaya tidak ada oranh iseng lagi, yang menyimpan apapun seperti yang terjadi tadi pagi. Setelah mendapat kesepakatan, Mang Ujang pun pamit pulang untuk mengambil perlengkapan tukang. Mas Arsya kemudian menelepon pemilik toko bangunan, supaya ia mengirim semua perlengkapan yang kami butuhkan untuk peninggian pagar tersebut."Mas, bagaimana? Apa semuanya sudah beres?" tanyaku."Iya, Sayang, Mas sudah meminta Pak Dadang untuk mengirim semua perlengkapannya. Paling na
"Baik, Bunda," sahut mereka."Bagus. Ya sudah, kalau begitu Bunda cuci tangan dulu ya, kalian sudah kenyang kan makannya?" "Sudah kenyang, Bunda,"Setelah itu aku segera pergi meninggalkan mereka berdua, sedangkan kedua anakku kembali main dan tetap bermain di dalam ruangan bermain mereka. Tapi sebelum pergi ke dapur, aku pergi ke depan dulu untuk mengecek pintu pagar. Aku benar-benar was-was, takut ada orang tidak di kenal masuk saat kami sedang berada di belakang. Apalagi setelah mendengar penuturan kedua anakku barusan. Tapi aku lihat semuanya aman, pintu pagar masih tetap terkunci. Aku pun kemudian kembali ke dalam rumah, tetapi sebelum itu aku melihat dulu ke arah rumah kosong tersebut. Tapi saat ini, tidak ada tanda-tanda kehidupan disana, makanya aku merasa aneh dengan rumah kosong tersebut.'Kok perasaan aneh banget ya sekarang, padahal sebelum aku pulang kampung, tidak pernah ada kejadian apapun terhadapku, atau hal aneh apapun yang ada di rumah kosong ini. Tetapi setelah
"Mana, Dek?" tanya Mas Arsya."Itu, Mas, tadi berjalan menuju pintu depan," kataku, sambil menunjuk ke arah ruang tamu.Tapi aku tetap menghadap ke Mas Arsya, tanpa mau melihat ke arah ruang tamu, yang tadi nampak sosok hantu perempuan tersebut. Karena aku takut, jika sosok itu masih ada."Dek, mana Kuntilanaknya? Nggak ada Kuntilanak kok, Dek! Kamu itu salah lihat kali, sebab yang ada itu Bi Asni, bukan Kuntilanak." Mas Arsya berkata, sambil membalikkan tubuhku, supaya aku menghadap ke ruang tamu, tetapi mataku tetap aku pejamkan. "Masa sih, Mas? Tapi tadi jelas-jelas aku melihat, kalau ada perempuan yang berambut panjang menuju pintu depan," terangku lagi."Iya, Dek, nggak ada kuntilanaknya," tegas Mas Arsya."Waduh ... ada Kuntilanak, Pak, Bu? Dimana, Pak? Tapi masa sih, ada Kuntilanak di rumah sebagus ini? Bapak dan Ibu kalau ngomong jangan sambil bercanda dong, jangan menakut-nakuti Bibi?" tanya seorang perempuan, yang terdengar seperti suara Bi Asni."Bukan aku, Bi, yang bila
Mang Ujang menyarankan, supaya semua ini diberitahukan kepada ketua RT komplek perumahanku. Tidak ada salahnya juga menurutku, kalau kami melaporkan semua ini. Karena memang kenyataannya, kalau kehidupan aku dan keluargaku terganggu gara-gara semua ini."Iya, Mas, apa yang disarankan Mang Ujang ada benarnya juga lho. Lebih baik kita lapor ke pihak RT, sebagai orang yang paling dekat di lingkungan kita. Siapa tau kalau kita lapor, Pak RT akan meningkatkan keamanan. Minimal diadakan lagi tuh yang namanya siskamling," timpalku merasa setuju dengan saran Mang Ujang."Tapi kalau menurut Mas sih untuk sekarang ini nggak perlu dulu deh, Dek. Tapi bukan berarti Mas tidak setuju dengan saran Mang Ujang, hanya selama kita masih bisa menanganinya sendiri, kita tidak perlu lapor dululah. Namun, jika memang sudah keterlaluan dan kita tidak dapat mengatasinya, baru kira lapor RT atau polisi sekalian." Mas Arsya menolak saran yanh diberikan oleh Mang Ujang. Ia juga sambil memberi alasan yang simpe