Deggh!Jantung Adelia rasanya seperti berhenti sesaat mendengar pertanyaan itu. Sesegera mungkin dirinya mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia mengalami siklus yang biasa dialami oleh banyak wanita tersebut dan semakin kesulitan membasahi tenggorokannya saat tak ada bayangan satu pun tanggal yang diingatnya."Nyonya Adelia? Apa Anda masih mengingatnya?""Saya ... saya tidak begitu yakin, Dokter. Mungkin ... beberapa Minggu yang lalu?" Adelia menjawab dengan suara yang bergetar. Rasa gugup yang semakin membumbung tinggi membuat kedua netranya mulai terlihat berkaca-kaca."Anda yakin, Nyonya Adelia?""Saya ... Saya lupa, Dok. Maafkan saya!"Adelia menunduk seraya meremas ujung selimutnya. Lidahnya semakin terasa kelu berikut dengan bulir keringat yang semakin membasahi dahinya. Dadanya bergemuruh, tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi di dalam kehidupannya ke depan nanti."Baiklah, Nyonya Adelia. Gejala yang Anda alami seperti pusing, mual, dan kelelahan, bisa jadi ind
Suara pintu yang terbuka membuat Bisma menoleh. Dengan segera ia mematikan panggilan teleponnya lebih dulu, dan melangkah menghampiri sosok yang baru saja keluar dengan tatapan penuh tanda tanya."Bagaimana kondisi Adelia, Dok?" ucapnya langsung tanpa basa-basi."Untuk saat ini saya belum bisa mengambil kesimpulan dengan pasti, Tuan Bisma. Bisa saja Adelia seperti ini karena kelelahan dan terlalu banyak pikiran, tetapi bisa juga karena disebabkan hal yang lain.""Hal yang lain?"Dokter itu mengangguk membuat kedua alis tebal Bisma semakin menekuk dalam. "Untuk lebih jelasnya, lebih baik Anda segera membawa Nyonya Adelia ke rumah sakit saja. Peralatan yang saya bawa kebetulan tidak memadai, sehingga saya tidak bisa mengatakannya."Bisma terdiam mendengar penjelasan dokter. Entah kenapa ia jadi merasakan suatu firasat yang tak cukup baik. Namun baru saja ia ingin bertanya lebih lanjut, ponselnya lagi-lagi terdengar berdering hingga membuatnya mengembuskan napas tipis."Baiklah, Dok. Kal
"Nyonya Adelia? Tuan Bisma?"Suara ketukan pintu dari luar membuat Adelia terbangun dari tidurnya. Dengan membalikkan tubuhnya perlahan, ia mengusap wajahnya sesaat. Secercah cahaya yang masuk dari celah jendela membuat pandangannya sedikit memburam, sebelum akhirnya kedua netranya menyipit kala baru menyadari kehadiran Bisma yang ternyata masih setia duduk di samping tempat tidur dengan tangan yang terulur ke arahnya."Jadi dia sampai tertidur di sini semalam hanya karena ingin menjagaku?" Adelia bergumam pelan dengan netranya beralih ke arah jam dinding dan pintu.Sudah hampir jam enam pagi, tetapi pria itu masih berada di sini untuk menjaganya. Jujur, Adelia merasa terenyuh. Namun Adelia tak ingin Bisma terlambat ke kantor, hingga dirinya langsung mengizinkan pembantu yang sedari tadi memanggilnya dari luar untuk masuk dan menaruh telunjuknya di depan bibir agar pembantu itu juga ikut memelankan suaranya."Sepertinya dia tertidur karena terus mengawasi kesehatanku dari semalam, Bi.
Kedua netra cokelat Adelia sedikit membulat terkejut mendengar perkataan Bisma. Mulutnya terbuka hendak membalas, tetapi sayang entah kenapa lidahnya mendadak terasa kelu.Jujur, Adelia juga mengharapkan hal yang sama. Adelia ingin sekali merasakan pagi yang hangat seperti ini setiap hari setelah menikah dengan Bisma. Namun semua harapannya itu dengan cepat tumbang, saat dirinya mengingat kondisinya saat ini.Walaupun nanti perceraiannya dengan Ardi akan berjalan cepat dan lancar, bukankah hal tersebut sama sekali tidak berarti apa-apa jika Adelia benar-benar terbukti mengandung? Lagi-lagi hal itu membuat Adelia merasa sedih. Kedua netranya mulai berkaca-kaca, hingga membuat Bisma semakin mendekat dan mengusap kedua pipinya dengan lembut."Jangan bersedih, Sayang. Sekarang, sudah saatnya kau bahagia bersamaku!"Tak tahan, akhirnya Adelia menumpahkan tangisnya. Tubuhnya terisak. Semua kata-kata Bisma membuatnya merasa semakin bersalah pada pria itu, apalagi setelahnya Bisma memagut bib
"Baik! Terima kasih, Pak Bisma! Mudah-mudahan saja kerja sama ini bisa berlangsung dengan lancar tanpa hambatan ke depannya!""Saya juga berharap seperti itu, Pak. Terima kasih atas kepercayaan perusahaan Anda pada perusahaan kami!""Ya, sama-sama. Saya semakin yakin pada proyek ini karena melihat perubahan yang cukup baik semenjak Anda hadir di NinatyLux!"Bisma lantas menjabat tangan pria di hadapannya dengan erat. Jabat tangan ini tentu bukanlah jabat tangan biasa, ada banyak banyak perubahan yang cukup besar yang bisa terjadi ke depannya nanti. Apalagi saat ini dirinya tengah mempertaruhkan nama baik perusahaan NinatyLux yang sedang berusaha bangkit. Ada Adelia yang menjadi list nomor satu di dalam pikirannya. Bisma tentu melakukan semua ini demi wanita yang sangat dicintainya, hingga kini pandangannya sedikit teralihkan dengan kehadiran Citra yang nampak mencoba mencuri lirik dari luar ruangan setelah rekan bisnisnya melangkah pergi.Ah, sebenarnya apa yang ingin dilakukan oleh
"Semua berkasnya sudah saya rapikan di atas meja, Pak. Kalau Bapak membutuhkan bantuan, jangan segan untuk panggil saya kembali."Citra menyusun sebuah map terakhir di atas meja atasannya. Meski sedari tadi semua ucapannya sama sekali tak ditanggapi sepatah kata apapun oleh lawan bicaranya, tetapi ia tetap tak menyerah. Citra yakin meski terus diam dan memasang wajah dingin, Bisma tetap mendengarkan dan memikirkan semua yang telah dikatakannya."Maaf kalau semua ucapan saya tadi terkesan menjelekkan Adelia, Pak. Tapi semua itu tentu yang terjadi sebenarnya. Tidak hanya nama baik saya saja yang dibuatnya hancur, tetapi hidup saya juga. Bahkan saya terpaksa menanggung semua biaya hidup dan rumah sakit ibunya Mas Ardi yang terkena serangan jantung akibat semua ini." Citra lanjut berbicara membuat Bisma meliriknya sesaat.Dengan salah satu tangan yang sebenarnya sudah terkepal erat sejak lama. CEO NinatyLux itu tengah berusaha menarik napasnya dalam untuk menahan emosi. Rahangnya sudah se
"Apa?! Pingsan?!"Kedua netra cokelat terang Bisma seketika membulat seiiring dengan jantungnya yang terasa seperti berhenti berdetak sesaat. Genggaman eratnya di ponsel bahkan hampir saja terlepas, andai ia tak langsung kembali memfokuskan diri untuk mendengar keterangan pembantunya yang sedang menjaga Adelia.["Iya, Tuan. Saya tidak tahu apa penyebabnya hingga Nyonya Adelia bisa pingsan seperti ini karena kebetulan sebelumnya Nyonya Adelia sempat bilang ingin beristirahat sebentar."]Bisma langsung mengusap wajahnya gusar saat mendengarkan semua penjelasan pembantunya. Dengan segera ia berusaha menenangkan diri seraya melihat ke arah jam tangan sesaat untuk memastikan waktu yang bisa dikejarnya atau tidak."Baiklah, Bi. Tolong bawa Adelia ke rumah sakit dan terus kabari saya! Sebenarnya saya ingin langsung pulang untuk mengantarkannya langsung, tetapi sepertinya tidak bisa. Bibi saja yang mengantarkannya lebih dulu karena biar bagaimanapun Adelia harus cepat ditangani!"["Baik, Tuan
"Maaf, Pak. Sebaiknya Anda bersabar saja lebih dulu. Untuk saat ini, saya belum bisa mengumpulkan beberapa bukti yang dapat meringankan hukuman Anda."Seseorang berucap membuat kedua tangan Ardi semakin terkepal erat di pagi hari ini. Dirinya sudah tak betah lagi menginap di balik jeruji besi. Ardi ingin segera keluar demi melanjutkan semua rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari, tetapi sayangnya sampai saat ini ia masih belum menemukan tanda-tanda kebebasannya."Apa kau tidak bisa mengusahakannya lagi? Ingat, aku sudah membayar jasamu mahal! Masa untuk sekedar memberikan jaminan agar aku keluar saja tidak bisa?!""Maaf, Pak Ardi. Mantan istri Anda beserta mantan atasan Anda sudah memberikan banyak bukti yang sangat memberatkan hukuman Anda. Bukti-bukti yang mereka kumpulkan sangat banyak dan sangat akurat, sehingga cukup sulit untuk mengelak ataupun mematahkannya.""Sial!"Bughh!Permukaan meja yang tak bersalah kini menjadi sasaran amarah Ardi. Dengan baju tahanan dan kedua ta
"Harapannya kecil, Ayah. Kata dokter, untuk saat ini kita hanya bisa berharap dan berdoa untuk kebaikan Adelia dan anaknya."Sosok wanita bertubuh tinggi di belakang Oma Nora yang akhirnya menjawab pertanyaan Tuan Brata alias mertuanya sendiri. Setelahnya hening, tak ada lagi percakapan yang terdengar hingga tiba-tiba Oma Nora tak sadarkan diri di atas kursi roda yang ditempatinya."Biar aku yang membawanya ke ruang perawatan, Bella. Kamu dan yang lainnya di sini saja untuk memantau keadaan Adelia," tutur Bunda Alice berusaha tenang di tengah kegentingan suasana ini."Terima kasih, Kak. Tolong kabari aku jika ada sesuatu yang penting."Mengangguk, ibu kandungnya Bisma tersebut segera berjalan ke ruangan lain. Keadaan sekarang benar-benar terasa mendebarkan. Tak ada satu orang pun yang bisa bernapas lega, terlebih saat ini Adelia sedang berada di tengah ambang hidup dan mati.Seperti yang dikatakan oleh Bella tadi, sekarang semuanya hanya bisa terus berdoa dan berharap tentang keselama
"Bagaimana keadaannya, Dok?"Di sisi lain, ada seorang pria yang sedang sangat cemas menunggu kabar baik dari wanita yang kini tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Napasnya masih tak beraturan setelah tadi sempat berlari sekencang mungkin ke tempat ini, begitu pula dengan tangannya yang masih terasa dingin karena rasa panik yang sempat menyerangnya.Bagaimana bisa Agler tak merasakan semua sensasi menegangkan ini? Adelia yang tiba-tiba tak sadarkan diri dengan sesuatu yang mengalir deras di kedua kakinya membuatnya tak bisa banyak berpikir. Tujuannya saat itu hanya satu, yaitu membawa wanita tersebut ke rumah sakit agar bisa segera ditangani oleh dokter."Maaf, Pak. Apa Anda suaminya?" Sang dokter malah balik bertanya hingga membuat cucunya Tuan Brata itu sedikit mengembuskan napasnya dengan berat."Saya ... Kebetulan saya hanya temannya saja, Dok. Dia dan suaminya sudah lama berpisah," ucapnya sedikit terbata-bata mengingat dirinya yang sebenarnya tak tahu apa-apa tent
"Sial! Kenapa jadi semakin rumit seperti ini?!"Tak bisa melakukan apa pun, Bella hanya bisa sesekali berteriak memaki dari dalam kamarnya. Salah satu tangannya kini mencengkram kuat ponselnya. Beberapa saat lalu jari-jemari yang ada di tangan itu sudah mengetikkan cukup banyak kata untuk mencoba menghubungi pria yang baru saja menjadi suaminya selama beberapa Minggu ini, tetapi sayang semua upayanya tersebut sama sekali tak membuahkan hasil."Ken ... Jika kali ini kau benar-benar bermain dengan Adelia, aku tentu tidak akan membiarkanmu pergi ke ujung dunia sekalipun!"Sekali lagi Bella mendengkus seraya menatap sekilas isi kamarnya. Ia mencoba mencari petunjuk yang mungkin saja ditinggalkan oleh suaminya, hingga kedua netranya memicing saat tak sengaja menemukan sesuatu yang memantulkan cahaya dari atas meja riasnya."Flashdisk? Hmm, baiklah. Mari kita lihat apa yang sudah kau simpan di dalam benda kecil ini, Ken. Kau sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan sudah melanggar ke
Kedua netra Agler membulat saat menyadari tubuh Adelia yang sudah jatuh tersungkur di atas tanah. Dengan segera ia berusaha menjuhkan Citra dari wanita yang sebenarnya tadi sudah berada di sampingnya itu dan tak ragu lagi untuk mendorongnya dengan kencang, sampai beberapa saat kemudian kedua netranya membulat saat menyadari sesuatu yang kini tengah mengarah kepadanya."Ck! Wanita ini benar-benar gila!" gumamnya mendengkus kesal sebelum akhirnya kembali membantu Adelia untuk berdiri tegak di sampingnya."Dia tidak akan pernah berhenti selagi masih melihatku sadar, Agler. Aku mohon, tolong aku! Aku sebenarnya tak peduli dia menghabisiku saat ini, tetapi aku ingin anak ini selamat!" Adelia berucap dengan terengah dan tubuh yang kembali bergetar saat lagi-lagi Citra menggunakan sebuah benda yang sangat ditakuti olehnya."Kau mau berjalan sendiri ke arahku atau aku yang akan menarikmu, Adelia? Cepatlah pilih karena aku tidak mau membuang-buang waktu lagi!"Citra nampak tak main-main dengan
Suara teriakan dari kejauhan lantas membuat seorang pria yang baru saja mengeluh tersebut mempertajam indra pendengarannya. Dengan perlahan langkahnya kembali maju menelusuri jalan setapak yang entah akan membawa dirinya ke mana. Hingga beberapa menit kemudian, kedua netra kembali membulat saat melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di lahan kosong dengan bayangan dua orang perempuan yang sedikit terlihat di sampingnya."Tidak mungkin! Apa salah satu dari wanita di sana adalah Citra? Kalau memang benar Citra, itu berarti wanita yang sedang disiksa olehnya adalah ....""Sial! Tidak mungkin! Apa iya dia berani segila itu pada Adelia?!"Pria itu mengusap wajahnya dengan gusar sambil perlahan kembali bergerak mendekat. Rencananya yang ingin menemui Citra secara langsung akhirnya ia urungkan, karena kini dirinya berpikir akan jauh lebih aman jika wanita itu tak mengetahui keberadaannya lebih dulu.Keputusannya ini sebenarnya bukan untuk mengamankan dirinya. Pria yang sudah semakin jauh
"Bisma! Bisma! Tunggu! Ke mana saja kau ini! Aku sampai pusing mencarimu karena ibuku terus bertanya tentang keberadaanmu dan Adelia!"Tanpa diduga-duga Tante Bella kini berjalan mendekat ke arah Bisma yang baru saja keluar dari area belakang villa. Wajahnya seketika menegang melihat tantenya Adelia tersebut, apalagi wanita itu memasang ekspresi tak ramah yang mana juga terlihat dengan jelas aura kemarahan di sana."Maaf, Tante. Tadi aku—""Tadi aku sudah mencarimu di kamar Adelia! Ternyata sampai lelah tanganku mengetuk pintu, tidak ada satu orang pun yang menyahut dari dalam sana. Katamu tadi Adelia ingin beristirahat di kamarnya bukan? Kenapa sekarang dia tidak ada di sana?" Tante Bella yang belum selesai dengan emosinya kembali berbicara mencecar, hingga tak sadar memotong pembicaraan pria di hadapannya.Dengan berpikir keras, Bisma berusaha mencari cara yang tepat untuk membicarakan keadaan Adelia saat ini. Ia tahu walau sikap sehari-hari Tante Bella pada Adelia terkesan cuek, wa
"Kenapa? Kenapa harus berpura-pura terkejut? Bukankah kau sudah mengetahui kenyataan itu sebelumnya, Mas?"Masih dalam suasana menegangkan, kini Citra dan Ardi saling menatap dalam diam. Sementara Adelia, wanita itu tak bisa berkutik lagi setelah Citra mengucapkan sesuatu yang selama ini sudah dicobanya untuk ditutupi. Napasnya semakin terasa tercekat seiiring dengan kuatnya cengkraman Citra di lehernya, apalagi sesekali wanita itu mengguncangkan tubuhnya saat berbicara dengan emosinya yang kembali meledak.Ya, semuanya akhirnya terbongkar sudah. Adelia sama sekali tak menyangka kalau selama ini Citra sudah diam-diam memata-matainya, hingga akhirnya mengetahui siapa ayah dari anak yang ada di dalam kandungannya ini yang sebenarnya.Sungguh, sebenarnya Adelia tak bisa menerka apa saja yang ada di dalam pikiran wanita itu. Menurutnya, bukankah seharusnya Citra lebih baik menutupi semua ini Ardi? Bagaimana kalau setelah ini pria itu malah menjalankan rencana lain yang sama sekali tak did
"Apa yang kau lakukan, Citra?! Turunkan benda itu!"Suara yang cukup menggelegar terdengar menghentak setelahnya. Bagi Adelia, situasi saat ini benar-benar terasa sangat mencekam. Kedua lututnya rasanya sangat lemas sampai saat ini, seolah ia tak akan mampu lagi berdiri dengan tegap lagi dalam beberapa detik ke depan nanti."Hmm, kau tidak salah mengarahkan itu ke arahku? Bukankah seharusnya kamu menargetkan mantan istrimu tersayang ini?" Citra menyeringai saat menyadari situasi todong menodong yang tengah dirasakannya."Apa yang telah kau katakan, Citra? Jangan berbuat gila! Sekali saja kau menggunakan itu orang lain akan tahu keberadaan kita di sini!" Ardi berbicara menyentak untuk memperingati."Oh, ya? Bukankah itu akan menjadi tontonan yang menarik?"Ardi mendengkus setelah mendengar tanggapan dari kekasihnya. Ia berkali-kali melirik ke arah Adelia yang wajahnya semakin terlihat pucat dan lemas, serta berganti tatapan ke arah Citra yang tengah berusaha memainkan kendali dengan uc
Kedua netra Citra saat ini sudah semakin terlihat menyalang ke arah Adelia. Andai saja di belakang kepalanya bisa mengeluarkan asap, mungkin sekarang asap tersebut sudah membumbung tinggi ke atas membuat udara di sekitar semakin panas seiiring dengan terbakarnya amarah yang ada di dalam dada.Kedua tangannya semakin terkepal erat di masing-masing sisi tubuhnya, seiiring dengan derap langkah yang semakin terdengar. Citra kembali maju henda menyerang Adelia dengan menarik rambut panjangnya lebih dulu. Namun sebelum itu semua terjadi, Adelia tentu tak hanya diam saja. Dengan secepat mungkin wanita yang tengah berbadan dua tersebut membenturkan ujung kepalanya tepat di wajah Citra, hingga tak sampai beberapa detik kemudian wanita itu terdengar mengaduh kesakitan sembari memegangi hidungnya yang sedikit mengeluarkan noda merah."Aku tidak tahu hal apa yang membuatmu sampai nekat melakukan penculikan ini padaku, Citra. Seharusnya kalau kau sudah tahu siapa diriku sebenarnya, kau harus lebih