Sagara menganggukkan kepalanya kemudian menatap Andra dengan mata penuh air mata yang megendap di sudut matanya.
“Antar gue ke rumah, Ndra.”“Mau ngapain?” tanya Andra ingin tahu.Sagara menghela napasnya dengan pelan. “Bawa semua barang-barang gue di sana. Termasuk mobil gue.”"Haaah? Tapi, kenapa dibawa semua? Lo udah nyerah? Lo nggak kasihan sama Hanna? Raffael nggak bisa ambil Hanna gitu aja dari elo, Gar. Lo nggak inget sama lima belas tahun elo?" Andra menyadarkan Sagara agar mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah Hanna.Sagara menghela napasnya dengan pelan. "Gue mau pergi dari rumah itu, Ndra. Nggak mau tinggal di sana lagi. Dan ... gue mau jual mobil gue."“Lo yakin, Sagara? Katanya sayang.” Andra terus bertanya padahal mereka sudah berada di jalan menuju rumah Hanna.Sagara menganggukkan kepalanya dengan pelan sembari menghela napasnya. “Yakin, Ndra. Hanna jauh lebih berharga dariSagara menggelengkan kepalanya. “Mau dijual aja. Tapi, kasih waktu kurang lebih satu tahun. Jangan dijual ke orang lain. Nanti saya ambil lagi. Tapi, kalau dalam kurun satu tahun saya nggak balik lagi, silakan dijual. Gimana? Mau kan, bantu saya?”Lyra sedikit bingung dengan ucapan Sagara. Tapi, karena mobil mahal itu jarang ada yang mau beli, lantas perempuan itu menganggukkan kepalanya. Menyetujui permintaan Sagara.“Baiklah. Harga pasaran mobil kamu lagi naik. Walau bekas, tetap masih di harga tinggi.”“Empat milyar ya, Bu?” tawar Sagara kemudian.“Eumm! Empat milyar tidak masuk, Mas. Tiga koma lima. Bagaimana? Saya kasih parkir gratis sampai satu tahun ke depan. Dan hanya akan dipajang untuk memikat para pelanggan agar mau membeli mobil seperti yang kamu punya.”Sagara menghela napas pelan. “Ya udahlah. Mau gimana lagi. Daripada nggak dapat sama sekali. Uangnya sekarang, bisa?”
“Temen saya kenapa, Dok?” tanya Andra setelah melihat Dokter Azmi selesai memeriksa kondisi Sagara.Pria itu dibawa ke rumah sakit di mana Hanna juga dirawat di sana. Sengaja. Agar bisa memberi tahu Hanna jika ada kesempatan untuk memberi tahu.“Pasien mengalami asam lambung, Mas Andra. Asam lambungnya naik dan menyebabkan kondisinya lemah kemudian jatuh pingsan. Harus diinfus agar tenaganya kembali pulih. Setelah siuman, beri makan agar lambungnya tidak kosong.”Andra menghela napas dengan pelan. “Asam lambung rupanya.”“Betul, Mas Andra. Kurang lebih setengah sampai satu jam akan siuman.”“Baik, Dok. Terima kasih.”Dokter Azmi lantas pamit keluar setelah memeriksa kondisi Sagara yang ternyata mengalami asam lambung lantaran tidak makan dalam satu hari ini. Terlalu memikirkan kondisi Hanna, sampai lupa pada kesehatannya.“Dok!”“Ada apa, Mas? Ada yang bisa saya bantu?”Andra menggigit bibir bawahnya kemudian menatap Dokter Azmi. “Dokter kenal nggak, sama Dokter Aris? Yang praktik di d
“Dokter. Segera beri tahu suami saya agar kondisinya kembali pulih. Saya yakin, dia sakit karena saya. Apa yang saya ucapkan tadi, saya akan sembuh setelah bertemu dengan Sagara. Pun dengan Sagara. Pasti akan segera sembuh setelah mendengar kabar ini.” Hanna meminta kepada Dokter Aris agar memberi tahu Sagara dengan segera. “Baik, Bu Hanna. Kalau begitu, saya permisi ke ruang IGD di lantai satu dulu.” Hanna menganggukkan kepalanya dengan cepat. “Terima kasih, Dokter!” Dokter Aris mengulas senyumnya kemudian keluar dari ruangan tersebut. Pergi ke ruang IGD untuk menemui Sagara. Berharap pria itu sudah siuman dan akan memberi tahu semua rencana brilian Sinta. Setibanya di ruang rawat Sagara. Pria itu sudah membuka matanya dan tengah berbincang dengan Andra. “Dokter Aris? Istri saya masih dirawat di sini? Bagaimana kondisinya?” tanya Sagara dengan suara pelan. “Istri Anda baik-baik saja. Saya punya kabar baik untuk Anda, Pak Sagara.” “Kabar baik? Kabar apa itu, Dok? Istri saya sud
Melihat sahabatnya tersiksa seperti itu cukup membuat Andra sedih. Ia sangat tahu bagaimana perjuangan Sagara demi kembali pada Hanna. Baru dua hari dipisahkan saja sudah membuat Sagara tersiksa seperti ini. Bagaimana nasibnya jika mereka benar-benar berpisah.“Radang di kerongkongan Mas Sagara-lah yang menyebabkan muntah darah. Kondisi asam lambung Anda sudah parah, Mas Sagara. Saya akan memberikan obat pereda nyeri. Setelah rasa nyeri itu sudah agak hilang, isi perut Anda dengan nasi. Walau hanya sedikit, yang penting terisi dulu. Guna mencegah kondisi Anda agar tidak semakin parah.”Dokter Azmi memberi tahu kondisi Sagara setelah selesai memeriksa pria itu.Sagara memejamkan matanya kemudian menghela napas dengan pelan. Tak bisa berkata-kata. Hanya bisa pasrah dan menuruti perintah dari dokter yang menanganinya. Agar segera sembuh dan bertemu dengan Hanna.Satu jam berlalu.Hanna sudah diperbolehkan pulang. Bersama sang mama dan dua ajudan yang akan mengantar mereka ke rumah. Sinta
Sagara tersenyum lirih. “Ada sedikit masalah dengan lambung gue, Andra. Gue punya asam lambung akut. Bisa kambuh kalau nggak makan dalam empat puluh delapan jam.”Andra memijat keningnya kala mendengar penuturan Sagara. "Dan gue baru tau kalau anak punya penyakit asam lambung akut. Itu namanya elo mengantarkan nyawa, Sagara! Sengaja nggak makan padahal tau bakal begini akhirnya." Andra geleng-geleng kepala."Gak nafsu makan, Andra. Dan ternyata bikin gue drop. Kasihan Hanna. Pasti khawatir banget pas liat gue muntah darah tadi.""Masih aja mikirin kondisi Hanna. Kondisi elo jauh lebih ngenes, Sagara."Pria itu menolehkan kepalanya dengan pelan pada Andra. "Elo nggak liat, muka Hanna masih pucat? Hanya karena ingin ketemu sama gue, dia rela pulang dan menunggu gue jemput dia. Sedangkan kondisi gue masih sangat lemah. Besok, kalau kondisi gue masih kayak gini, elo yang jemput, yaa. Bawa ke rumah elo. Jangan dibawa ke sini."Andra mengangguk pelan. "Gampang. Bisa diatur. Asalkan elo semb
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Hanna tengah duduk di kamarnya. Di rumah lama bersama orang tuanya. Duduk di depan jendela, memandang bintang di langit yang di malam itu cukup banyak bertaburan di atas langit.“Kamu udah sembuh belum, Sagara? Nggak sabar, pengen cepet besok. Pengen cepet ketemu sama kamu,” gumamnya sambil mengusapi perut buncitnya yang sudah berusia lima bulan.“Kamu juga pasti kangen ya, sama Papa? Kangen dielus-elus kalau Mama lagi manja. Sebelum tidur, Papa pasti elus perut Mama dulu. Kamu pasti merindukan Papa.” Bahu Hanna bergetar. Menangisi kerinduan yang melanda dalam dirinya.Mengkhawatirkan kondisi sang suami yang kini sedang dirawat di rumah sakit. Yang seharusnya ia berada di sisinya, mengharuskan mereka berpisah dan tidak bisa menemani di saat Sagara membutuhkannya.Tok tok tok!Hanna mengusap air matanya. Khawatir sang papa yang sudah mengetuk pintu kamarnya. Setelahnya, Hanna membuka pintu kamar tersebut.“Mama!” ucapnya dengan pelan.“Boleh …
Sinta manggut-manggut. “Hebat banget suami kamu itu. Baguslah. Biar Krisna sadar, kalau dia bodoh dan tidak berhati-hati. Biar saja. Toh … perusahaan itu sudah atas nama Krisna. Mama akan pulang ke keluarga Mama lagi jika Krisna mengusir Mama.”Hanna menghela napas lega. “Aku pikir, Mama akan marah. Ternyata Mama mendukungnya.”Sinta mengulas senyumnya. “Mama sangat paham perasaan Sagara seperti apa, Sayang. Dia berhak melakukan apa yang ingin dia lakukan. Melakukan tindakan seperti itu hanya orang-orang yang memiliki otak cerdas. Bahkan, Sagara masih mengingat desain yang sudah dia buat untuk pengusaha di Eropa. Itu prestasi yang patut diacungi jempol, Hanna.“Suami kamu akan menjadi pria yang cekatan, rajin dan tentunya bertanggung jawab. Mama juga kalau ada di posisi Sagara, apa pun akan Mama lakukan asalkan bisa mencapai apa yang Mama inginkan. Terlebih, perusahaan itu adalah miliknya. Juga Krisna yang sudah semena-mena k
Sementara di kediaman Krisna. Hanna tengah duduk di balkon kamarnya. Tersenyum bahagia, tak sabar malam hari segera tiba.“Semuanya sudah disiapkan dengan baik. Mama sudah memberi tahu penjaga rumah, dan aku bisa keluar dengan sangat hati-hati nanti malam.”Hanna menghela napasnya dengan pelan. “Sagara. Sebentar lagi kita akan bertemu.”“Hanna?”Perempuan itu terperanjat kaget setelah setelah mendengar sang mama memanggilnya. “Mama! Kaget, tauu.”Sinta tersenyum kemudian menepuk lengan Hanna. “Ada Raffael di bawah. Lagi ngobrol sama papa kamu. Lagi bahas pernikahan kalian.”Hanna tersenyum campah mendengarnya. “Pernikahan? Bahkan, dia bisa digorok habis-habisan oleh Citra kalau ketahuan. Ke mana sebenarnya Citra? Kenapa dia menghilang saat kondisi seperti ini.”“Karena, kalau Citra ada di sini, mana mungkin Raffael bisa melakukan hal gila itu, Hanna. Bisa jadi mereka suda
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu