Sinta manggut-manggut. “Hebat banget suami kamu itu. Baguslah. Biar Krisna sadar, kalau dia bodoh dan tidak berhati-hati. Biar saja. Toh … perusahaan itu sudah atas nama Krisna. Mama akan pulang ke keluarga Mama lagi jika Krisna mengusir Mama.”
Hanna menghela napas lega. “Aku pikir, Mama akan marah. Ternyata Mama mendukungnya.”Sinta mengulas senyumnya. “Mama sangat paham perasaan Sagara seperti apa, Sayang. Dia berhak melakukan apa yang ingin dia lakukan. Melakukan tindakan seperti itu hanya orang-orang yang memiliki otak cerdas. Bahkan, Sagara masih mengingat desain yang sudah dia buat untuk pengusaha di Eropa. Itu prestasi yang patut diacungi jempol, Hanna.“Suami kamu akan menjadi pria yang cekatan, rajin dan tentunya bertanggung jawab. Mama juga kalau ada di posisi Sagara, apa pun akan Mama lakukan asalkan bisa mencapai apa yang Mama inginkan. Terlebih, perusahaan itu adalah miliknya. Juga Krisna yang sudah semena-mena kSementara di kediaman Krisna. Hanna tengah duduk di balkon kamarnya. Tersenyum bahagia, tak sabar malam hari segera tiba.“Semuanya sudah disiapkan dengan baik. Mama sudah memberi tahu penjaga rumah, dan aku bisa keluar dengan sangat hati-hati nanti malam.”Hanna menghela napasnya dengan pelan. “Sagara. Sebentar lagi kita akan bertemu.”“Hanna?”Perempuan itu terperanjat kaget setelah setelah mendengar sang mama memanggilnya. “Mama! Kaget, tauu.”Sinta tersenyum kemudian menepuk lengan Hanna. “Ada Raffael di bawah. Lagi ngobrol sama papa kamu. Lagi bahas pernikahan kalian.”Hanna tersenyum campah mendengarnya. “Pernikahan? Bahkan, dia bisa digorok habis-habisan oleh Citra kalau ketahuan. Ke mana sebenarnya Citra? Kenapa dia menghilang saat kondisi seperti ini.”“Karena, kalau Citra ada di sini, mana mungkin Raffael bisa melakukan hal gila itu, Hanna. Bisa jadi mereka suda
Hingga tiba di depan gerbang. Mobil Hanna yang dipakai oleh Andra sudah berada di depan. Pria itu lantas keluar dari mobil setelah melihat Hanna dan Sinta keluar.“Jangan lepas jaketnya ya, Nak. Mama akan menghapus riwayat panggilan dan—“Hanna memeluk sang mama. “Mama jangan khawatir aku akan ketahuan. Aku dan Sagara akan pergi sejauh mungkin dari sini. Kita akan bertemu kembali setelah situasinya mendukung. Jaga kesehatan Mama. Kalau sudah tidak perlu ada yang dipertahankan, cerai aja.”Sinta melepaskan pelukan itu kemudian mengecup kening Hanna. “Iya, Sayang. Kamu juga. Jaga kesehatan, jaga diri dan jangan lupa kabarin Mama kalau sudah melahirkan.”“Pasti. Aku pasti akan mengabari Mama.”“Udahan yaa, cipika cipiki-nya. Kita harus segera pulang. Katanya Hanna alergi dingin. Kalau pingsan di sini, berabe. Besok pagi, Sagara udah bisa pulang. Nanti aku jemput Sagara di rumah sakit.”
“HANNAAA!!”Sebuah teriakan dari mulut Krisna keluar dengan lantang setelah melihat kondisi kamar anaknya itu kosong.“Ada apa sih, teriak-teriak?” Sinta menghampiri Krisna sembari membawa sutil lantaran perempuan itu sedang memasak.“Hanna, Sinta. Hanna tidak ada di kamarnya. Ke mana dia?” tanya Krisna sembari berteriak.Sinta mengerutkan keningnya. Kemudian masuk ke dalam kamar anaknya itu, memanggil sang anak seolah ia tak tahu jika Hanna sudah pergi.“Hanna!” Kemudian masuk ke dalam kamar mandi.“Sudah aku cari di sana dan tidak ada, Sinta! Hanna kabur. Melarikan diri!” pekik Krisna lagi sembari berkacak pinggang.“APA!! Kabur? Kabur ke mana? Kapan? Kenapa bisa kabur?”Akting yang cukup bagus untuk mengelabui Krisna jika bukan ia pelakunya yang sudah membawa Hanna kabur dari rumah itu. Berpura-pura terkejut sambil melepaskan sutil yang ia pegang.Krisna memijat keningnya. Memikirkan di mana keberadaan Hanna saat ini. Sementara Sinta duduk dengan lemas di tepi tempat tidurnya semba
Hanna bangun dari duduknya kemudian menghampiri Sagara. Memeluk suaminya dengan erat. Kepalanya ia tumpukkan di bahu suaminya itu kemudian menghidu aroma tubuh suaminya yang masih sama seperti dulu.“I miss you, Sagara. Aku … aku masih nggak nyangka bakal ketemu lagi sama kamu,” lirih Hanna dengan tangan masih memeluk Sagara erat.Sagara menyesap sisian wajah Hanna kemudian mengangguk dengan pelan. “Me too. Aku jauh lebih kangen sama kamu, Hanna.”Iman mengusapi punggung Sagara sembari mengulas senyumnya. “Selamat bertemu kembali. Kalian memang luar biasa. Saling menguatkan dan mau berjuang. Akhirnya, kalian bisa dipersatukan lagi.”Sagara melepaskan pelukan itu dengan pelan. Mengusap air mata di pipi perempuan itu kemudian mengulas senyumnya.“Are you okay? Kondisi kamu, udah baik? Kandungan kamu juga. Baik-baik aja, kan?” Banyak pertanyaan yang diberikan oleh Sagara kepada Hanna.Perempuan itu mengangguk pelan. “Aku dan anakku baik-baik aja, Sagara. Udah semakin baik karena akhirnya
Rima mengangguk paham. “Iya, Nak. Tante bisa pergi bersama Bibi jika ingin belanja. Kamu, cukup di sini saja dan berdiam diri. Menikmati waktu sampai tiba saatnya kalian bisa keluar dengan bebas lagi. Untuk saat ini, harap bersabar dulu.”Hanna mengulas senyumnya kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya, Tante. Sekali lagi terima kasih karena sudah mau menampung aku dan Sagara di sini.”“Jangan bilang kayak gitu.” Rima mengusapi rambut Hanna. “Rumah ini menjadi ramai karena ada kamu dan Sagara, Hanna. Apalagi, kalau nanti sudah melahirkan. Aahh! Sepertinya kamu sudah berada di rumah baru kalian.”“Kalau misinya berhasil dan perusahaannya udah dipegang Sagara, Ma,” kata Andra menyela obrolan Hanna.“Iya juga sih. Tapi, kita doakan yang terbaik saja. Andai kata masih ada jalan untuk mengambil perusahaan itu lagi, semoga tidak ada yang harus dikorbankan apalagi sampai meregang nyawa lagi. Hati-hati ya, Sagara.”Rima memberi nasihat kepada Sagara yang akan menjalankan misi untuk mengambil p
“Gue akan pulang, dan melihat semua kebenaran yang elo ucapkan, Sagara. Kalau elo berani bohongi gue, jangan harap hidup elo akan baik-baik saja.” Citra mengancam Sagara.Pria itu lantas tersenyum miring. “Gue nggak pernah berani ngomong, kalau nggak ada bukti. Silakan lihat sendiri dan gue akan membuktikan jika semua ucapan gue benar,”Citra menutup panggilan itu. Seperti tak ingin mendengar penuturan Sagara lagi, perempuan itu memutus panggilan secara sepihak.“Mencurigakan! Passport si Citra hilang dan dia baru sadar kalau passport-nya hilang. Udah berapa lama, si Citra ada di Belanda?” Andra bertanya kepada Sagara.Pria itu mengendikan bahunya. “Nggak tau. Yang penting, kita udah tau di mana Citra sekarang. Dan akan pulang di minggu depan. Masih ada waktu dan sidang pun belum dimulai. Semoga nggak lewat dari satu minggu.”Sagara mengatup keningnya dengan kedua tangannya. Menundukkan wajahnya ke bawah sembari memejamkan matanya.Lalu, Hanna mengusapi bahu suaminya itu. “Walaupun Ci
Pria itu lantas mengadahkan wajahnya dengan pelan kepada Hanna. Dengan mulut menganga, pria itu terlihat sangat terkejut kala mendengar ucapan istrinya itu.“Ya—yang bener, Hanna? Kok bisa?” tanya Sagara kemudian.Hanna mengendikan bahunya. “Aku juga baru tau dari Mama, Sagara. Dia bilang, kalau aku bukan anak kandung dia. Mama nggak bisa hamil setelah keguguran. Karena rahimnya ikut diangkat. Ibuku meninggal setelah melahirkanku. Entah, ada di mana keluarga kandungku sekarang. Bahkan, aku nggak tau soal papa kandungku. Apakah dia masih hidup atau sudah meninggal juga.“Mungkin sudah menikah lagi. Tapi, kenapa dia memberikan aku pada Mama. Kenapa dia nggak mau urus aku? Itu yang selama ini jadi pertanyaan aku setelah tau jika aku bukan anak kandung Mama dan Papa. Banyak hal yang kita lewati saat berpisah kemarin, Sagara.”Pria itu mengulas senyum tipis kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur.“Kita akan cari tau di mana papa kandungmu setelah semua urusanku selesai,
“Itulah, Tante. Aku juga nggak nyangka akan menikah dengan Sagara. Teman masa kecil walau hanya bertemu satu kali. Cukup ajaib kalau dijelaskan. Tapi, mungkin sudah takdirnya dipertemukan lagi. Walau harus mengecewakan Sagara karena kondisiku lagi hamil.”Rima mengusapi lengan perempuan itu. “Sagara tidak pernah kecewa. Itu kesalahan kamu, dan Sagara tidak berhak ikut campur. Tugasnya cukup bertanggung jawab karena sudah mau menikahi kamu. Hanya itu saja. Tidak ada lagi selain itu.”Ucapan Rima benar-benar membuat Hanna tertegun. Namun, penyesalan tingggalah penyesalan. Nasi sudah menjadi bubur. Hanya tinggal nikmati saja, hasil yang sudah dia dapatkan.Meski begitu, ia tidak boleh terus menerus hanyut dalam penyesalan yang sudah dia lakukan. Bahkan, Sagara saja tidak pernah memabahas hal itu karena memang tidak penting menurutnya.Tangan itu terulur di perut buncit Hanna hingga membuat perempuan itu terkejut.“Sagara! Kaget tau, nggak!” Hanna memukul tangan Sagara yang melingkar di p
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu