Pria itu lantas mengadahkan wajahnya dengan pelan kepada Hanna. Dengan mulut menganga, pria itu terlihat sangat terkejut kala mendengar ucapan istrinya itu.“Ya—yang bener, Hanna? Kok bisa?” tanya Sagara kemudian.Hanna mengendikan bahunya. “Aku juga baru tau dari Mama, Sagara. Dia bilang, kalau aku bukan anak kandung dia. Mama nggak bisa hamil setelah keguguran. Karena rahimnya ikut diangkat. Ibuku meninggal setelah melahirkanku. Entah, ada di mana keluarga kandungku sekarang. Bahkan, aku nggak tau soal papa kandungku. Apakah dia masih hidup atau sudah meninggal juga.“Mungkin sudah menikah lagi. Tapi, kenapa dia memberikan aku pada Mama. Kenapa dia nggak mau urus aku? Itu yang selama ini jadi pertanyaan aku setelah tau jika aku bukan anak kandung Mama dan Papa. Banyak hal yang kita lewati saat berpisah kemarin, Sagara.”Pria itu mengulas senyum tipis kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur.“Kita akan cari tau di mana papa kandungmu setelah semua urusanku selesai,
“Itulah, Tante. Aku juga nggak nyangka akan menikah dengan Sagara. Teman masa kecil walau hanya bertemu satu kali. Cukup ajaib kalau dijelaskan. Tapi, mungkin sudah takdirnya dipertemukan lagi. Walau harus mengecewakan Sagara karena kondisiku lagi hamil.”Rima mengusapi lengan perempuan itu. “Sagara tidak pernah kecewa. Itu kesalahan kamu, dan Sagara tidak berhak ikut campur. Tugasnya cukup bertanggung jawab karena sudah mau menikahi kamu. Hanya itu saja. Tidak ada lagi selain itu.”Ucapan Rima benar-benar membuat Hanna tertegun. Namun, penyesalan tingggalah penyesalan. Nasi sudah menjadi bubur. Hanya tinggal nikmati saja, hasil yang sudah dia dapatkan.Meski begitu, ia tidak boleh terus menerus hanyut dalam penyesalan yang sudah dia lakukan. Bahkan, Sagara saja tidak pernah memabahas hal itu karena memang tidak penting menurutnya.Tangan itu terulur di perut buncit Hanna hingga membuat perempuan itu terkejut.“Sagara! Kaget tau, nggak!” Hanna memukul tangan Sagara yang melingkar di p
Sagara tersenyum malu. "Kayaknya, wajar aja sih, ketagihan sama istri sendiri. Ya udah. Aku berangkat sekarang, yaa. Kamu mau nitip apa? Biar nanti pulang, aku belikan.""Eum ... belum kepikiran pengen apa, Sagara. Nanti aja. Nanti aku chat kamu, kalau pengen sesuatu.""Ya udah kalau begitu. Aku berangkat sekarang." Kemudian, pria itu mengecup kening sang istri dan mengusap perut buncit perempuan itu. "Papa berangkat dulu ya, Sayang. Jangan nakal. Jangan bikin Mama sakit lagi. Nanti Papa cubit hidungnya, kalau udah lahir," ucap Sagara seolah tengah berbicara kepada anak yang ada di dalam perut Hanna.Sementara Hanna hanya mengulas senyumnya. Tidak banyak berkomentar kemudian melambaikan tangannya kepada Sagara setelah pria itu keluar dari kamarnya.Andra dan Sagara sudah berada di garasi. Ia pun memilih mobil milik orang tuanya untuk dibawa keluar."Buat jaga-jaga. Khawatirnya, si Raffael atau Krisna, hafal sama jenis mobil gue," kata Andra sembari memasuki mobil orang tuanya."Iya. T
Clara menghela napas kasar. “Citra. Udah nggak bisa menoleransi lagi setelah tau Raffael ingin merebut perusahaan Papa. Dia ingin menggantikan posisi Papa dan membiarkan Papa pensiun dini.”“Lalu, apa hubungannya dengan Hanna? Mau ambil perusahaan Krisna juga? Citra sama papa kamu, pasti nggak ngasih perusahaan itu ke Raffael, kan?” tebak Sagara kemudian.Clara menggeleng pelan. “Lebih tepatnya, Raffael ingin menghancurkan perusahaan Om Krisna. Dia mengira, kesuksesan Lestari Group karena ada kamu di dalamnya. Kamu, yang sudah membuat desain untuk Lestari.”Sagara mengerutkan keningnya. Semakin tak paham dengan ucapan Clara. “Maksudnya apa, Clara? Apa hubungannya dengan perusahaan Krisna dan Raffael? Bahkan, aku nggak pernah dianggap menantunya. Kamu tau sendiri, aku kerja sebagai OB di sana.” Sagara menyangkal ucapan Clara tadi.Perempuan itu mengangguk. “Ya. Aku tau itu, Sagara. Makanya aku mencari tau dan akhirnya ketemu. Raffael melakukan itu atas dasar perintah dari Om Damar.”An
“Ke rumah sakit jiwa dulu. Kondisi Mama belum stabil kata Suster Indah. Kayaknya, nanti malam kencannya dibatalkan. Mama gue sakit, Ndra.”Andra menghela napas pelan. “Ya udahlah. Gak masalah. Bisa kapan-kapan.”Sagara menepuk bahu Andra. “Lulus kuliah, langsung tancap gas. Nikahin.”“Kalau mau. Kalau nggak?”“Masalahnya apa dulu, kenapa dia nggak mau nikah sama elo? Yang penting elo nggak larang dia buat jadi perawat. Bebasin aja. Asal, saat elo pengen naik, dia siap.”“Sialan, lo!”Sagara tersenyum miring kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Gue terlalu banyak mikir dan terlalu gugup untuk menikmati hal begituan ternyata bikin gue nyesel sendiri.”Andra menolehkan wajahnya pada Sagara. “Nyesel gimana? Nyesel, karena nggak dari dulu?”Sagara mengendikan bahunya. “Bisa jadi. Selalu terbayang-bayang, bahkan waktu gue dan dia nggak ketemu waktu itu. Seolah gue nggak akan bisa merasakan hal itu lagi sama Hanna.”Andra tersenyum tipis. “Elo dan Hanna emang pasangan yang klop. Yang sa
Sagara mengendikan bahunya. “Cukup masuk akal sih. Orang, bisa gila karena melihat hantu tiap hari. Tapi, kata Mama tadi … Papa udah lama nggak datang.”Sagara kembali masuk ke dalam kamar sang mama. Perempuan itu sedang menangis.“Ma. Jangan pergi dulu. Jangan menyusul Papa. Aku mohon, Ma. Biar Papa aja yang udah pergi. Mama harus sembuh dan kita ambil sama-sama perusahaan Papa. Oke?”Sagara menggenggam tangan Mayang kembali dan memohon kepada sang mama agar berhenti berucap yang cukup membuatnya sedih. Mayang ingin mengakhiri hidupnya dan kembali pada Satya. Ia tahu, Mayang pun menyesali tindakannya. Namun, semuanya sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.“Sus! Tolong jaga mama saya. Jangan sampai melakukan hal yang aneh-aneh. Jangan sampai Mama bunuh diri. Jangan lengah, Sus. Kasih obat yang rutin. Makan juga. Kalau uang perawatan sudah habis, tolong beri tahu saya.”Sagara memohon kepada Suster Indah agar memperhatikan kondisi Mayang dengan menggenggam tangan perempuan itu dengan
Andra menggaruk rambutnya dengan pelan. “Perut Tante Mayang, waktu itu kayaknya sedikit buncit deh. Lagi hamil, atau emang lagi kembung, yaa? Soalnya, sekarang udah rata lagi. Khawatirnya, nyokap elo jadi stress bin gila karena habis aborsi juga. Entah anaknya siapa, kita nggak tau. Damar … atau Om Satya.”Sagara menganga. Mana mungkin mamanya sedang mengandung, sementara ia tak pernah melihat kondisi Mayang yang terlihat seperti sedang mengandung. Seperti mual dan muntah, atau tidak menyukai aroma yang aneh-aneh.“Nggak mungkin kayaknya, Ndra. Kembung, kali. Mama udah tua juga. Mana boleh, hamil lagi.” Sagara menyangkal ucapan Andra. Bahwa Mayang tidak sedang mengandung kemudian mengaborsi.“Sangat berbahaya kalau Mama mengaborsi kandungannya. Sedangkan usia dia udah dilarang hamil. Pun dengan aborsi. Mana mungkin, kondisi Mama akan baik-baik aj—““Baik, kata elo? Tante Mayang sakit tiba-tiba. Efek aborsi tuh.” Andra kembali berasumsi.Sagara menghela napas kasar. Kemudian keluar dar
Acara makan siang sudah selesai. Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Sagara dan Andra tengah duduk di kursi panjang di halaman depan rumah tersebut.“Masih aktif merokok, lo?” tanya Sagara ketika melihat Andra mengisap rokoknya.Andra mengangguk. “Emangnya elo.”Sagara memutar bola mata pelan. “Sayang jantung dan paru-paru. Bentar lagi punya anak. Harus panjang umur dan bahagia sama anak dan istri gue.”Andra tersenyum miris. “Terlalu dramatis. Hidup elo terlalu dibawa serius, Sagara. Nikmati hidup, bukan hanya dengan keluarga aja. Tapi, dengan diri sendiri pun bisa bahagia.”“Dan elo nggak butuh anak dan istri? Mau jadi kayak gini aja, selamanya? Kalau gitu, kenapa elo suka sama Suster Indah? Mau jadi cowok brengsek, lo? Kasih harapan palsu ke dia?”Andra menggeleng dengan santai. “Gue pengen, punya anak, punya istri. Tapi, entah kenapa … kayak ada yang disembunyikan oleh Suster Indah. Dan gue nggak tau, itu apa.”“Udah nikah, kali.” Sagara berucap dengan asal.Waktu sudah menunjuk
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu