Clara menghela napas kasar. “Citra. Udah nggak bisa menoleransi lagi setelah tau Raffael ingin merebut perusahaan Papa. Dia ingin menggantikan posisi Papa dan membiarkan Papa pensiun dini.”“Lalu, apa hubungannya dengan Hanna? Mau ambil perusahaan Krisna juga? Citra sama papa kamu, pasti nggak ngasih perusahaan itu ke Raffael, kan?” tebak Sagara kemudian.Clara menggeleng pelan. “Lebih tepatnya, Raffael ingin menghancurkan perusahaan Om Krisna. Dia mengira, kesuksesan Lestari Group karena ada kamu di dalamnya. Kamu, yang sudah membuat desain untuk Lestari.”Sagara mengerutkan keningnya. Semakin tak paham dengan ucapan Clara. “Maksudnya apa, Clara? Apa hubungannya dengan perusahaan Krisna dan Raffael? Bahkan, aku nggak pernah dianggap menantunya. Kamu tau sendiri, aku kerja sebagai OB di sana.” Sagara menyangkal ucapan Clara tadi.Perempuan itu mengangguk. “Ya. Aku tau itu, Sagara. Makanya aku mencari tau dan akhirnya ketemu. Raffael melakukan itu atas dasar perintah dari Om Damar.”An
“Ke rumah sakit jiwa dulu. Kondisi Mama belum stabil kata Suster Indah. Kayaknya, nanti malam kencannya dibatalkan. Mama gue sakit, Ndra.”Andra menghela napas pelan. “Ya udahlah. Gak masalah. Bisa kapan-kapan.”Sagara menepuk bahu Andra. “Lulus kuliah, langsung tancap gas. Nikahin.”“Kalau mau. Kalau nggak?”“Masalahnya apa dulu, kenapa dia nggak mau nikah sama elo? Yang penting elo nggak larang dia buat jadi perawat. Bebasin aja. Asal, saat elo pengen naik, dia siap.”“Sialan, lo!”Sagara tersenyum miring kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Gue terlalu banyak mikir dan terlalu gugup untuk menikmati hal begituan ternyata bikin gue nyesel sendiri.”Andra menolehkan wajahnya pada Sagara. “Nyesel gimana? Nyesel, karena nggak dari dulu?”Sagara mengendikan bahunya. “Bisa jadi. Selalu terbayang-bayang, bahkan waktu gue dan dia nggak ketemu waktu itu. Seolah gue nggak akan bisa merasakan hal itu lagi sama Hanna.”Andra tersenyum tipis. “Elo dan Hanna emang pasangan yang klop. Yang sa
Sagara mengendikan bahunya. “Cukup masuk akal sih. Orang, bisa gila karena melihat hantu tiap hari. Tapi, kata Mama tadi … Papa udah lama nggak datang.”Sagara kembali masuk ke dalam kamar sang mama. Perempuan itu sedang menangis.“Ma. Jangan pergi dulu. Jangan menyusul Papa. Aku mohon, Ma. Biar Papa aja yang udah pergi. Mama harus sembuh dan kita ambil sama-sama perusahaan Papa. Oke?”Sagara menggenggam tangan Mayang kembali dan memohon kepada sang mama agar berhenti berucap yang cukup membuatnya sedih. Mayang ingin mengakhiri hidupnya dan kembali pada Satya. Ia tahu, Mayang pun menyesali tindakannya. Namun, semuanya sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.“Sus! Tolong jaga mama saya. Jangan sampai melakukan hal yang aneh-aneh. Jangan sampai Mama bunuh diri. Jangan lengah, Sus. Kasih obat yang rutin. Makan juga. Kalau uang perawatan sudah habis, tolong beri tahu saya.”Sagara memohon kepada Suster Indah agar memperhatikan kondisi Mayang dengan menggenggam tangan perempuan itu dengan
Andra menggaruk rambutnya dengan pelan. “Perut Tante Mayang, waktu itu kayaknya sedikit buncit deh. Lagi hamil, atau emang lagi kembung, yaa? Soalnya, sekarang udah rata lagi. Khawatirnya, nyokap elo jadi stress bin gila karena habis aborsi juga. Entah anaknya siapa, kita nggak tau. Damar … atau Om Satya.”Sagara menganga. Mana mungkin mamanya sedang mengandung, sementara ia tak pernah melihat kondisi Mayang yang terlihat seperti sedang mengandung. Seperti mual dan muntah, atau tidak menyukai aroma yang aneh-aneh.“Nggak mungkin kayaknya, Ndra. Kembung, kali. Mama udah tua juga. Mana boleh, hamil lagi.” Sagara menyangkal ucapan Andra. Bahwa Mayang tidak sedang mengandung kemudian mengaborsi.“Sangat berbahaya kalau Mama mengaborsi kandungannya. Sedangkan usia dia udah dilarang hamil. Pun dengan aborsi. Mana mungkin, kondisi Mama akan baik-baik aj—““Baik, kata elo? Tante Mayang sakit tiba-tiba. Efek aborsi tuh.” Andra kembali berasumsi.Sagara menghela napas kasar. Kemudian keluar dar
Acara makan siang sudah selesai. Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Sagara dan Andra tengah duduk di kursi panjang di halaman depan rumah tersebut.“Masih aktif merokok, lo?” tanya Sagara ketika melihat Andra mengisap rokoknya.Andra mengangguk. “Emangnya elo.”Sagara memutar bola mata pelan. “Sayang jantung dan paru-paru. Bentar lagi punya anak. Harus panjang umur dan bahagia sama anak dan istri gue.”Andra tersenyum miris. “Terlalu dramatis. Hidup elo terlalu dibawa serius, Sagara. Nikmati hidup, bukan hanya dengan keluarga aja. Tapi, dengan diri sendiri pun bisa bahagia.”“Dan elo nggak butuh anak dan istri? Mau jadi kayak gini aja, selamanya? Kalau gitu, kenapa elo suka sama Suster Indah? Mau jadi cowok brengsek, lo? Kasih harapan palsu ke dia?”Andra menggeleng dengan santai. “Gue pengen, punya anak, punya istri. Tapi, entah kenapa … kayak ada yang disembunyikan oleh Suster Indah. Dan gue nggak tau, itu apa.”“Udah nikah, kali.” Sagara berucap dengan asal.Waktu sudah menunjuk
Sagara menaikkan matanya seraya memikirkan pertanyaan Hanna tadi. “Kayaknya dua aja cukup.”Hanna manggut-manggut. “Baiklah kalau begitu. Bulan depan, udah bisa lihat jenis kelamin, Sagara.”“Kalau menurut aku sih, laki-laki. Tapi, baik laki-laki maupun perempuan, asalkan keduanya selamat dan sehat saat melahirkan nanti.” Sagara mengusapi perut Hanna yang hanya dibalut dengan selimut.“Tidur, yuk! Udah malam. Kamu nggak boleh begadang. Besok, aku harus cepet-cepet cari tanah untuk bikin resto. Sambil nunggu si Citra pulang, habis itu selesai. Nggak perlu lagi sembunyi-sembunyi dari papa kamu.”Hanna mengangguk. “Good night, Sagara.”Sagara kembali mengecup kening sang istri kemudian memeluknya. Menutup matanya. Tidur dengan lelap menyambut esok hari dengan semangat. Sudah tidak ada lagi kegelisahan yang mereka pikirkan. Karena baik Krisna maupun Raffael, tidak akan bisa menemukan mereka dan menganggap jika mereka sudah pergi dari kota tersebut.Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.P
Andra mengendikan bahunya. “Nggak pernah ngobrol panjang lebar sama Suster Indah, jadi nggak tau apa yang dia sembunyikan dari aku.” Andra menghela napas pelan. “Harganya enam ratus juga, luasnya setengah hektar. Lumayan lah, Sagara. Bisa bikin taman bermain juga di sana. Sepuluh juta permeter.”Sagara manggut-manggut. “Lumayan. Dengan harga segitu, masih bisa dinego lagi, kan?”“Bisa. Kalau oke, bisa langsung temui dia di kantor pemasarannya. Kebetulan, yang punyanya pemilik rumah BTN di dekat tanah itu.”“Kok bisa, dia jual murah? Tanah sengketa bukan, Andra?” Sagara malah curiga jika tanah tersebut bermasalah.“Bukan, anjir! Kalau nggak percaya, kita bisa ke sana untuk membuktikannya.”Sagara menghela napasnya dengan pelan kemudian menghabiskan sisa roti yang sudah dia makan. “Kamu udah sarapan? Udah minum susu sama obat?” tanyanya kepada Hanna.Perempuan itu mengangguk. “Udah kok. Aku udah sarapan bareng Tante Rima tadi. Udah minum susu dan obat juga.”“Good. Jaga kesehatan dan ka
Sagara mengendikan bahunya. “Banyak memang, sesuatu yang tidak kamu ketahui tentang rencana, strategi dan semuanya. Aku akan memberi tahu kamu jika semuanya sudah selesai. Aku nggak bisa kasih tau sekarang karena aku nggak mau kasih harapan palsu ke kamu, Hanna.“Banyak yang aku pertimbangkan dan sesuai dengan ekspetasiku. Kamu bisa melihat bagaimana aku bisa mencapai puncak yang seharusnya sulit digapai. Semuanya akan mudah setelah apa yang aku miliki dulu, bisa kembali padaku. Termasuk, mencari dokumen asli. Di mana dia berada, aku yakin pasti ada di tempat tersebut.“Ada dua tempat yang bisa aku kunjungi. Tapi, karena aku nggak mau menghabiskan waktu dengan sia-sia, juga nggak bisa meninggalkan kamu sendirian di sini. Diajak ke sana pun nggak mungkin. Aku gak bisa fokus pada kamu. Sudah pasti akan difokuskan pada pencarian itu. Aku mengulur waktu, Hanna.“Mengulur waktu sampai perusahaan papa kamu hancur. Aku ingin Krisna minta bantuan ke aku. Ke kita. Karena aku tau, apa yang haru