Sagara menggeleng. “Karena gue gak tau kapan akan kembali bangkit lagi. Gue gak mau punya utang ke siapa pun.”
“Ya elah. Gitu aja elo pikirin. Kenapa, liatin ini rekening? Muka elo juga, kenapa kusut kayak gini? Lahiran si Hanna juga masih lama.”
Sagara kembali menatap Andra dan menghela napas pelan. “Tiga hari lagi Hanna ulang tahun, Ndra. Gue cuma punya uang segini, beli kue dan dekor aja udah satu jutaan. Sisa empat jutaan. Gue kasih hadiah Hanna seharga empat juta. Malu gue, Ndra. Mantan-mantan gue aja kalau ulang tahun, dikasih hadiah dengan harga dua puluh jutaan. Itu yang paling kecil. Masa iya, istri gue sendiri dikasih hadiah harganya murah banget.”
Andra memutar bola matanya dengan pelan kemudian berkacak pinggang sembari menatap Sagara dengan datar. “Yaa elo posisikan diri elo kayak gimana sekarang. Dulu, elo bisa kasih hadiah segitu mahalnya karena tinggal kedipkan mata, uang masuk ke rekening elo. Sekarang,
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Sagara dan Andra pergi ke mall untuk mencari hadiah yang bisa diberikan kepada Hanna di ulang tahun pertama setelah menjadi istri dari Caraka Sagara.“Nggak usah beli yang perhiasan dulu, Sagara. Barang aja. Tas, sepatu, dompet, jam tangan. Kalau perlu, lingerie sekalian.”Sagara melirik dengan malas kepada sahabatnya itu. “Ngapain gue beliin dia lingerie, Andra?”“Yaa buat menarik birahi elo, lah. Gimana sih! Emangnya selama hampir satu bulan ini, elo nggak pernah icip-icip punya si Hanna? Siapa tau legit, kayak kue lapis.”Sagara menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Nggak ada.”“Kenapa? Dia kan, udah jadi istri elo? Mau dijungkir balik pun udah hak elo. Kenapa nggak melakukan itu semua, Yog?”Pria itu mengendikan bahunya. “Belum saatnya. Gue lagi menguji seberapa tahannya itu anak untuk nggak gue sentuh. Hanna orangnya gampang kepancing. Cuma dicium aja udah gelayangan ke mana-mana.”Andra terkekeh mendengarnya. “Kalau nggak mudah terpancing,
“Ini lagi di jalan, Hanna. Aku ambil overtime. Baru mau pulang,” ucapnya bohong. Mana mungkin ia bicara jika habis membeli hadiah untuk istrinya itu.“Kenapa ambil overtime, Sagara?”“Bayar utang kemaren karena izin pulang jam empat, Hanna. Aku nggak mau gajiku dipotong. Udah kecil, masa iya dipotong juga.”Terdengar suara tawa pelan di seberang sana. “Sagara, Sagara. Ya udah. Cepat pulang, yaa. Aku udah siapkan makan malam soalnya. Ada menu special untuk orang special.”Sagara mengatup bibirnya kala mendengarnya. Kemudian mencubit lengan Andra karena tak tahan mendengar ucapan manis dari istrinya itu.“Syaraf, lo! Sakit, begok!” seru Andra kesal.Kemudian, pria itu menyudahi panggilan itu dan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ingin segera tiba ke rumah.“Ngomong apaan si Hanna, sampai bikin elo salah tingkah kayak gitu?” tanya Andra ketus. Sebab masih kesal pada sahabatnya itu lantaran sudah mencubitnya.“Kepo! Makanya cepat nikah. Biar merasakan keuwuan yang gue rasakan sek
Hanna mengangguk. “Iya, Andra. Sekarang aku udah tau dan aku udah percaya kalau Sagara mencintai aku. Bahkan dia tidak mau menganggap anak ini adalah anak aku dan Raffael. Ini adalah anak kami. Aku dan Sagara,” ucapnya sembari mengelus perut buncitnya itu.Andra kembali manggut-manggut. Setelahnya mengulas senyumnya. “Jangan sia-siakan orang kayak Sagara, Hanna. Satu banding seribu. Kamu akan sulit mendapatkan laki-laki seperti Sagara. Dia tulus cinta sama kamu. Nggak peduli walau kamu lagi hamil. Kamu pikir aja. Laki-laki mana, selain Sagara … yang mau menikahi ibu hamil.“Bukan dia yang menghamili kamu, tapi dia mau menikahi kamu. Walau alasan apa pun. Karena tanggung jawab menjadi suami itu berat. Dan Sagara bersedia menjadi suami kamu. Bukan alasan untuk menumpang hidup. Tapi karena memang dia mencintai kamu. Kalau tidak ada cinta, mana mungkin dia rela menikahi perempuan hamil yang bukan hasil cetak dia.”Hanna terdiam dengan
Andra kembali manggut-manggut. “Mana … nomornya Suster Indah. Besok pagi gue chat.” Pria itu kembali meminta nomornya Suster Indah.Sagara menghela napas pelan kemudian mengirim nomor telepon Suster Indah kepada ponsel Andra.“Thank you, Sagara. Eh, by the way. Yang bayar itu rumah sakit jiwa, siapa? Elo kan, udah nggak punya duit.” Andra baru ingat tentang biaya rumah sakit jiwa Mayang.“Asuransi. Udah gue cairkan dan duitnya gue kasih ke pihak rumah sakit jiwa. Biar Mama diurus dengan baik di sana. Untuk ketemu sama Suster Indah dan Dokter Azmi. Mereka mau membantu merawat Mama dengan baik.”“Oh. Kalau nanti Tante Mayang udah sembuh dan ternyata uangnya masih sisa banyak, elo bakal ambil lagi atau gimana?”Sagara menggeleng. “Nggak lah. Udah gue salurkan ngapain diminta lagi. Lagian Mama udah nggak akan sembuh. Sedangkan jiwanya udah pergi dibawa Papa. Dikasih hukuman setimpal sama Tuha
“Mbak. Pesen kue ulang tahun bentuk bulat ukuran sedang aja. Diambil dua hari lagi.”Sagara sudah berada di Top Bakery, tengah memesan kue ulang tahun untuk sang istri tercinta.“Baik. Lilinnya mau yang biasa, atau yang susah dipadamkan?”“Haah? Susah dipadamkan? Yang biasa aja. Gigi istri saya bisa kering, kalau niup lilin tapi nggak padam-padam.”“Ooh untuk istrinya. Kirain untuk teman atau saudaranya.”Sagara menatap sinis pelayan yang lumayan membuatnya emosi. Beruntung, ia pergi ke toko tersebut setelah pulang dari kantor. Walau lama, tidak jadi masalah.“Berarti pakai lilin angka saja, ya? Usianya berapa tahun?”“Dua puluh enam. Dua dan enam.”“Iya, Mas. Saya juga tau, kalau usia dua puluh enam lilinnya dua dan empat. Bukan dua, nol dan enam.”Sagara geleng-geleng kepala mendengarnya. “Jadi totalnya berapa, Mbak? Oh, iya. Sekalian pesen dekorasi yang biasa aja. Ada?”“Buat istri kok dekorasinya yang biasa aja. Nggak malu apa?”“Ngapain malu, Mbak? Lagian Mbak banyak komentar. Te
Raffael lantas menggaruk rambutnya sembari menatap Damar dengan segala kebingungannya.Dia tidak bisa berbuat apa-apa karena memang perusahaan milik mamanya yang kini dia kelola, sumber dananya berasal dari Damar.Dari Anumerta yang menyuntikkan dana kepada Griya Coorporation—perusahaan milik Amelia, mamanya Raffael.“Papa sendiri, nggak tau apa yang harus Papa lakukan? Yang jadi pertanyaan aku saat ini adalah, kenapa Papa menganggap Sagara sudah mati padahal itu anak masih sehat?” Raffael kembali bertanya tentang kematian Sagara yang sudah diumumkan oleh papanya itu.Damar menghela napas pelan. “Saat itu, setelah Mayang menjadi gila, Papa menyuruh anak buah Papa untuk membunuh Sagara dan mayatnya dibuang ke jurang. Tapi, sampai sekarang anak buah Papa belum ditemukan. Dan mungkin yang mereka bunuh bukan Sagara. Tapi orang lain.”Raffael menganga mendengar ucapan papanya itu. “Jadi, Papa sengaja mau bunuh Sagara?”“Ya. Karena Papa sudah menguasai perusahaan ini, sementara di dalam akt
“Tunggu di sini, Pak. Aku ambil tas dulu.” Hanna pun ikut pergi bersama Pak Somad ke rumah lamanya. Di mana pesta yang katanya dibuat oleh Sagara akan dilaksanakan di rumah tersebut.Hanna: [Sagara. Aku udah di jalan. Kamu kok nggak bilang, kalau mau mengadakan pesta di rumah Mama dan Papa? Jadi ini, surprice yang kamu bilang?]Hanna mengirim pesan kepada Sagara. Namun, pria itu tak membalas. Yang dikira oleh Hanna jika pria itu tengah sibuk mendekor pesta untuknya. Senyumnya terus merekah hingga membuat Pak Somad ikut tersenyum karena melihat majikannya tersenyum bahagia.“Bahagia sekali kayaknya, Non,” celetuk Pak Somad kemudian.Hanna menerbitkan senyumnya kepada pria itu. “Iya dong, Pak. Nggak ada istri yang nggak bahagia dikasih kejutan tak terduga kayak gini. Nggak nyangka aja, kalau Sagara se-gentle ini mau merayakan pesta ulang tahunku di rumah Mama.”“Namanya juga pesta, Non. Apa pun pasti akan suami Non Hanna lakukan. Asalkan istrinya bahagia.”“Iya, Pak.” Hanna menghela na
“Kamu … nangis?” tanya Sagara dengan pelan.“Jemput aku sekarang juga, ya. Aku tunggu di depan.” Hanna menutup panggilan tersebut kemudian menyimpan ponselnya kembali ke dalam tasnya.“Sudah cukup ya, Pa. Jangan ikut campur urusan rumah tangga aku lagi. Aku udah bahagia dengan caraku dan Sagara. Aku juga akan bilang ke Sagara untuk berhenti jadi OB di kantor Papa. Sudah cukup, kesakitan yang Papa buat ke Sagara. Sudah cukup air mata yang terus berlinang di pipi Sagara karena cacian Papa.”Hanna bergegas pergi meninggalkan rumah megah itu dengan linangan air mata yang terus mengalir di pipinya. Menunggu Sagara datang menjemputnya sembari duduk di trotoar depan rumah orang tuanya itu.“Hanna?” Sinta menghampiri sang anak kemudian memeluknya.Air mata Hanna kembali berlinang. “Maafkan aku, Ma. Sagara nggak salah kok, Ma. Aku yang salah. Biar aku yang mendapat hukuman seperti ini,” lirih Hanna da