Perempuan itu sedikit terkejut kemudian segera mengambil ponsel yang berada di atas nakas itu.
“Halo, Jonas.”
“Hanna. Are you okay? Keadaan suami kamu, gimana? Udah ada perubahan? Aku mengikuti beritanya tapi kabar terbaru Sagara belum ada. Makanya aku hubungi kamu,” kata Jonas di seberang sana.
Hanna menghela napasnya dengan pelan kemudian bangun dari duduknya. Berdiri di depan jendela kamar itu, memandang pemandangan dari lantai lima.
“Sagara masih belum sadarkan diri. Kondisinya masih kritis. Operasinya berjalan dengan lancar sih. Tapi, karena saat proses operasi dua hari yang lalu, Sagara sempat mengalami pendarahan dan akhirnya mengakibatkan kekurangan darah. Mungkin Sagara masih lemas walau hanya untuk membuka matanya.”
Hanna bersuara sambil menahan tangisnya. Bibirnya bergetar hingga akhirnya air mata itu kembali turun.
“Kamu harus kuat melewati ini semua, Hanna. Sagara need you. Semoga nggak
Mata itu menatap dengan lekat hanya pada satu orang saja. Karena memang di sana hanya ada Hanna. Ia fokus menatap sang istri agar janjinya untuk merubah hidupnya jadi lebih baik, bisa dipercaya oleh perempuan itu.Hanna menggenggam tangan Sagara. Ia menatap mata itu dengan lekat. "Aku percaya, Sagara. Kamu selalu memegang janji kamu. Jangan ulangi kesalahan yang udah bikin aku melupakan semua kebaikan yang udah kamu berikan ke aku."Ingin rasanya Sagara memeluk sang istri. Namun, kondisinya yang baru siuman, masih lemas, dan tangannya yang dikenakan ortopedi membuatnya tidak bisa banyak gerak. Hanya bisa menatap istrinya dengan sangat dekat."Jangan tinggalkan aku lagi, ya. Aku hanya punya kamu. Orang yang paling berharga dalam hidup aku setelah Mama."Hanna langsung teringat kondisi Mayang kala mendengar ucapan Sagara saat menyebut sang mama."Sagara. Ada kabar menggembirakan untuk kamu. Mama, Sagara. Kejiwaan Mama sudah kembali pulih. Walau belum
“Karena Ibu sudah tau, kalau Damar ingin mengambil perusahaan itu? Makanya Ibu meminta Pak Satya untuk menyimpan dokumen itu di Jepang?” kata Suster Indah bertanya dengan pelan.Mayang mengangguk. “Jika dokumen asli itu masih ada di rumah atau di kantor, Damar pasti akan mengubah semuanya. Setelah dokumen asli itu sudah disimpan oleh Satya di sana, saya sangat merasa lega. Karena asset penting itu tidak berada di tangan Damar.”Mayang mulai bercerita tentang semua yang dia tahu saat masih waras. Ia kembali menitikan air matanya lantaran setelah Satya menyimpan dokumen itu di Jepang, satu minggu setelahnya, Satya meninggal dunia.“Maafkan aku, Satya. Maafkan aku. Aku menyayangi anak kita. Dan kita harus berkorban untuk dia. Aku sudah menanggung semuanya karena tiba-tiba kewarasanku diambil begitu saja. Tidak ingat apa pun, hanya dihantui oleh rasa bersalah karena sudah menghilangkan nyawa kamu,” lirih Mayang kemudian mengusap a
Sagara menyunggingkan senyum. “Dari informan. Aku nggak akan membiarkan kamu dekat sama dia. Tapi, aku harus professional. Tidak bisa memecatnya hanya karena dia mantan pacar kamu. Pekerjaan yaa pekerjaan, masalah pribadi yaa masalah pribadi. Tapi, sekali aku melihat kamu ngobrol apalagi sampai ketawa ketiwi sampai lupa tempat, aku akan menyelesaikannya setelah jam kerja di resto selesai!”Sesuai permintaan sang suami, Hanna tidur di samping Sagara—dalam satu tempat tidur. Beruntung, ruangan yang disewa Sagara adalah ruangan VIP dengan tipe tempat tidur luxury bed. Tempat tidur yang cukup luas dan juga kokoh tentunya.Hanna menggeliat kemudian membuka matanya. Perempuan itu seketika terkejut kala melihat Sagara yang tengah menatapnya sembari menerbitkan senyumnya.“Sagara! Kaget tau, nggak!” Hanna mengusapi dadanya kemudian mengatur napasnya.Sementara Sagara malah terkekeh melihat istrinya terkejut karena ulahnya. “Mor
“Kalau kita di luar terus, si Sagara bisa perkosa Hanna, Pak,” bisik Andra kepada Ardi.Lantas Ardi terkekeh mendengar ucapan Andra. “Bisa saja kamu, Andra. Mereka kan, sudah menikah. Wajar saja jika ingin melakukannya di mana pun dan kapan pun.”Andra mendehem dengan pelan. “Sama aja. Ngomong sama tukang jajan di luar, mana nyambung.” Andra lantas menghampiri Hanna dan memberikan buburnya kepada perempuan itu.“Pak! Apa kabar?” sapa Sagara kepada Ardi.Pria itu menepuk bahu Sagara. “Baik, Sagara. Senang, akhirnya bisa bertemu dengan kamu lagi. Kita ngobrol setelah kamu selesai sarapan. Jangan dulu sibuk dengan istrinya, yaa. Banyak hal yang harus kita bahas soalnya.”Uhuk! Uhuk!Hanna terbatuk setelah mendengar ucapan Ardi. Ia melirik pria itu yang tengah terkekeh karena sudah membuat Hanna salah tingkah. Sementara Sagara terlihat seperti biasa saja, bahkan ekpresinya pun tidak men
Ardi menganggukkan kepalanya sembari menepuk-nepuk bahu Sagara. “Saya paham. Saya sendiri yang akan mengambil dokumen asli itu ke Jepang. Damar masih diberi pasal karena sudah menembak kamu dan juga mengambil pistol milik aparat kepolisian. Dia bisa terkena pasal berlapis lagi karena sudah memalsukan dokumen Anumerta.”Sagara menghela napas pelan. “Beri hukuman setimpal pada Damar, Pak. Hukum harus ditegakkan. Karena dia, nyawa Papa menghilang, Mama jadi gila dan saya jadi sengsara. Beri hukuman yang sudah sepantasnya dia dapatkan.”“Kamu tenang saja. Kami akan melakukan apa pun untuk membalas semua kesakitan yang kamu rasakan selama empat bulan ini.”Sagara menerbitkan senyumnya kepada Ardi. Ia beruntung, bisa berteman baik dengan para pengusaha kelas kakap.“Pak. Punya uang tiga setengah milyar, nggak?” kata Sagara kemudian.Ardi mengerutkan keningnya. “Ada. Untuk apa, Sagara?”&l
Hanna mengadahkan wajahnya. Kemudian menyingkap selimut dan terlihat dengan jelas, sinyal mentereng di bawah sana. Hanna kembali menatap Sagara dengan cepat.“Mana bisa, Sagara. Ini rumah sak—“Sagara beranjak dari tempat tidurnya kemudian mengunci pintu. Lantas membuat Hanna melotot kala melihatnya. Sagara menarik tangan Hanna. Membawanya duduk di atas sofa kemudian membuka celananya.“Kamu bisa melakukan hal yang pernah kita lakukan waktu itu, Hanna,” kata Sagara dengan suara paraunya.“Ta—tapi, Sagara.”Sagara menatap Hanna dengan raut wajah memohon. Sampai akhirnya Hanna pun mengalah. Ia membuka celana dalamnya dan duduk di atas paha Sagara.Ia yang tengah diburu gairah pun menikmati setiap gerakan yang dia lakukan di atas tubuh Sagara. Mengeluarkan desahan yang nyaring di telinga. Membuat Sagara menyunggingkan senyum kala melihat Hanna yang begitu semangat melayani suaminya.Sampai
Baru saja Suster Indah hendak menjawab pertanyaan Andra, pemilik showroom datang dan memberikan surat-surat mobil milik Sagara.“Terima kasih ya, Bu. Sudah mau jagain mobilnya Sagara. Nggak bisa ditambahin nih. Uangnya ngepas,” kata Andra sembari menerbitkan senyumnya.“Iya, nggak apa-apa.”Andra dan Suster Indah pun pamit dan masuk ke dalam mobil Sagara. Membawa mobil itu menuju rumah sakit, sesuai permintaan sang pemilik mobil.“Bagaimana kabarnya Tante Mayang?” tanya Andra setelah hampir lima menit lamanya tidak ada suara dari dua orang ini.Suster Indah menoleh. “Baik, Mas. Kondisinya sudah semakin membaik. Harusnya lusa sudah bisa pulang, tapi karena nunggu Mas Sagara sembuh dulu, Bu Mayang baru bisa pulang.”Andra manggut-manggut. “Syukurlah. Yang penting kondisinya sudah kembali sehat. Soal pulang, bisa kapan aja. Sambil nunggu Sagara sembuh dulu.”Suster Indah mengang
"Maafkan saya karena sering menguping obrolan Suster Indah di telepon. Sejak kejiwaan saya kembali, saya merasa ada yang janggal pada anak saya. Yang seharusnya dia sudah ke sini untuk melihat kondisi saya. Tapi, hingga kini, sudah empat hari setelah saya sembuh, Sagara tidak kunjung menemui saya."Suster Indah menelan salivanya dengan pelan. "Lalu?"Mayang menghela napasnya. "Saya tau, apa yang sedang terjadi pada anak saya. Dia ... sedang dirawat di rumah sakit, kan? Suster Indah bilang, bagaimana kondisi Sagara. Alasan Suster tidak mau memberi tahu saya tentang kondisi anak saya, apa?"Yang pada akhirnya Mayang pun tahu tentang kondisi Sagara saat ini. Tidak pernah menemuinya di sana padahal sudah tahu, jika Mayang sudah sembuh. Perempuan itu menghela napas dnegan pelan."Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menyembunyikan soal Mas Sagara, Bu. Saya mengkhawatirkan kondisi Ibu, jika tau apa yang terjadi dengan Mas Sagara," kata Suster Indah berusaha
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu