“Kalau hobi kita sama. Sama-sama tukang lukis. Hanya beda bidang aja. Aku di pakaian, kamu di furniture. Tapi, keduanya memiliki arti yang sama. Sama-sama tukang lukis.”Sagara kembali mengulas senyum dengan tipis. “Aku sudah punya bakat melukis dari kecil, Hanna. Saat kita bertemu di hari itu, besoknya aku pergi ke Belanda untuk ikut lomba desain.”“Woaah! Hebat banget, Sagara. Pantas saja sertifikat dan medali kamu banyak banget. Ternyata sudah dari kecil kamu berbakat dalam hal mendesain.”Sagara menganggukkan kepalanya. “Iya, Hanna. Sehebat itulah aku. Keturunan Papa juga. Ada darah seni yang mengalir di tubuh aku. Dari Papa.”Hanna manggut-manggut. “Begitu rupanya.”Sagara kembali melukis di atas kertas gaun milik Hanna. Tidak akan mengecewakan istrinya itu, Sagara membuat desain dengan motif yang cukup unik dan berharap tidak ada yang bisa mengenali tema yang dibuat oleh pria itu.“Sudah selesai. Nih! Kalau pelanggan kamu senang, pokoknya aku minta sesuatu dan harus kamu kasih.”
Satu minggu telah berlalu. Sagara masih menganggur karena tempat yang cocok untuk Sagara di kantor Prass—kakak kandung Andra belum juga ada. Sampai akhirnya Sagara terpaksa ikut dengan Hanna membuat desain di boutique guna menghilangkan jenuh jika berada di rumah terus menerus.Namun, hal itu tetap saja membuat Sagara merasa tidak enak hati. Ia adalah seorang laki-laki, seorang suami yang seharusnya menafkahi anak dan istrinya. Bukan malah bekerja di tempat usaha sang istri.“Sayang?” panggil Sagara kemudian.“Ya, Sagara? Ada apa?” ucapnya sembari menata gaun yang sudah selesai dibuat. Gaun yang diberikan motif oleh Sagara.Pria itu lantas memeluk Hanna dari belakang. Kepalanya ia tumpukan di bahu sang istri dengan mata menatap gaun yang ditata dengan rapi dipajang dengan manekin.“Bagus banget. Aku yakin, pelanggan kamu suka. Bisa jadi dia akan berlangganan terus dan mempercayakan kamu sebagai perancang busana untuk dia,” kata Sagara mengagumi keindahan dan kecantikan gaun yang suda
“Mbak Gina. Terima kasih karen sudah mengkhawatirkan nasib saya karena menikah dengan Sagara. Insya Allah, Sagara akan bertanggung jawab dan pernikahan kami akan langgeng. Ya. Sagara memang tidak pernah tidur dengan perempuan mana pun. Hanya dengan saya!”Demi melindungi nama baik dirinya dan Sagara, perempuan itu mengakui jika anak yang dia kandung adalah anak Sagara.“Kami tidur juga karena tidak sengaja. Saat itu ada yang menjebak Sagara dengan memasukkan obat perangsang ke minuman Sagara. Dan … Mbak Gina pasti tau apa yang terjadi selanjutnya.”Selesai melakukan pembayaran, Gina langsung pulang dari boutique Hanna.“Terima kasih sudah mempercayakan saya untuk membuatkan gaun ini, Mbak Gina,” tutur Hanna kemudian menerbitkan senyumnya dengan ramah.“Sama-sama, Mbak Hanna. Bajunya bagus. Mungkin kalau ada acara lagi, saya akan memesan gaun ke sini lagi.”“Waah! Saya tunggu kedatangannya, Mbak Gina. Semoga acaranya berjalan dengan lancar ya, Mbak Gina.”Perempuan itu lantas mengangg
Hanyut dalam gairah yang membuncah dalam diri kedua insan itu. Sagara tengah menetralisir kondisinya yang sudah tidak bisa dikatakan sedang baik-baik saja.Sebuah tautan panjang dengan tangan bergelayangan di atas dua bukit kembar milik Hanna, pria itu sudah kehilangan arah. Nafsunya semakin membuncah kala bibir Hanna yang bermain tak kalah hebat darinya.Napasnya tersengal, mata yang dipenuhi nafsu itu menata Hanna dengan lekat. “Kenapa kamu luar biasa sekali, Hanna. Serangan yang menurutku sudah luar biasa, ternyata kamu lebih luar biasa.”Hanna tersenyum sembari membuka pengait bra lantaran hanya itu yang tersisa setelah Sagara berhasil membuka daster yang dikenakan oleh perempuan itu.Sagara mengedip-ngedipkan matanya kala melihat dua gundukan yang baru ia remas itu. Diusapnya dengan lembut kedua benda kenyal itu hingga desisan kecil Hanna keluarkan. Mata Sagara mengadah, menatap Hanna yang tengah memejamkan matanya.“Apa yang harus aku lakukan dengan kedua benda ini, Hanna? Harus
Di Rumah Sakit Harapan.Sagara membawa perempuan itu ke rumah sakit tersebut setelah panik kala melihat banyaknya darah keluar di pangkal paha Hanna. Hingga tak sadarkan diri dan membuat Sagara amat sangat terpukul saat melihatnya.“Bagaimana kondisi istri saya, Dok? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Sagara setelah Dokter Aris memeriksa kondisi Hanna yang masih belum sadarkan diri itu.“Apakah selama ini Bu Hanna mengalami sakit perut, atau hal lainnya?” Dokter Aris balik bertanya kepada Sagara.“Sakit perut?” Sagara menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari mengingat-ngingat apakah Hanna pernah mengalami sakit perut atau sejenisnya.“Istri saya tidak pernah mengeluh kesakitan di perutnya, Dok. Karena saya tidak pernah melihatnya. Atau mungkin, dia menyembunyikan rasa sakit itu di belakang saya.”Dokter Aris manggut-manggut. “Kondisi janin di dalam perut Bu Hanna lemah, Pak Sagara. Saya rasa, akibat stress dan tidak pernah beliau keluarkan. Hanya dipendam saja. Begitu saat melakukan
“A—apa?” Sagara terkejut kala mendengar penuturan Hanna kenapa dia bisa mengalami stress hingga pendarahan.Hanna menganggukkan kepalanya dengan pelan sembari menatap Sagara.“Tapi kenapa? Kenapa dia harus melakukan itu dan mengancam kamu, Hanna? Ada apa dengan Raffael? Dia yang sudah pergi gitu aja dan nggak mau tanggung jawab atas kehamilan kamu. Kenapa sekarang sibuk urusin kita dan ancam kamu segala?" Sagara terbawa emosi kala mendengar penuturan dari istrinya itu.Alasan kenapa Hanna stress hingga pendarahan dan membuat Sagara panik bukan main. Atas ulah Raffael, dan itu cukup membuat Sagara ingin menghajar Raffael jika bertemu dengan pria itu.“Aku juga nggak tau alasan kenapa dia mau ancam aku dan bilang ke Papa kalau kamu bukan ayah dari anak aku ini, Sagara. Aku nggak pernah menanggapi terror dari Raffael, aku mau bodo amat. Tapi ternyata susah. Terus kepikiran dan akhirnya buat aku stress.”Hanna sudah mulai menitikan air matanya. Ia takut Raffael tidak main-main dengan anca
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Hari itu juga, Hanna diperbolehkan pulang oleh dokter setelah hasil pemeriksaan dinyatakan jika kondisi perempuan itu sudah baik-baik saja.“Hanna. Aku nggak tau pin ATM kamu berapa. Tadi aku bayar pakai uang Andra. Minta tolong ditransfer ke Andra, yaa.” Sagara memberi tahu sembari menunggu Hanna mengenakan pakaian yang sudah dibawa olehnya.Perempuan itu tersenyum sembari menyisir rambutnya. “Nomor pin-nya tanggal pernikahan kita. Udah aku ganti satu hari setelah menikah. Semuanya. Internet banking, pin ATM dan lainnya.”“Aahh. Begitu rupanya.”Hanna kembali mengulas senyumnya. “Aku sudah bayar uangnya ke Andra. Tapi, dia nolak. Katanya nggak usah dibayar.”Sagara berdecak pelan. “Kenapa harus ditolak coba. Padahal, bayar biaya perawatan di VIP tuh mahal. Hampir tiga juta nggak ada dua puluh empat jam.”Hanna lantas menepuk bahu Sagara. &ldquo
“Siapa kamu?”Raffael datang menghampiri Krisna ke kantor Lestari secara langsung. Kemudian duduk di depan Krisna dan menatap pria itu dengan lekat.“Aku Raffael. Aku ingin bertanya kenapa Om Krisna membiarkan Hanna menikah dengan Sagara?” tanya Raffael dengan datar.Krisna menghela napasnya dengan pelan. “Raffael? Siapa kamu? Dan kenapa menanyakan perihal anak saya menikah dengan pria itu?”Raffael mengerutkan keningnya. “Pria itu? Sagara?”Krisna menganggukkan kepalanya. “Ya. Kenapa kamu menanyakan pernikahan mereka? Siapa kamu dan apa maksud kamu menanyakan itu semua?”“Om! Hanna lagi hamil, kan? Dan Om tau, siapa ayah dari anak yang sedang Hanna kandung itu? Aku! Aku adalah ayah kandung dari anak yang sedang Hanna kandung. Aku Raffael. Pacarnya Hanna. Aku baru datang dari Belanda karena mengurus perusahaan di sana.“Dua bulan di sana, tidak ada kabar dari Hanna yang ternyat