Satu minggu telah berlalu. Sagara masih menganggur karena tempat yang cocok untuk Sagara di kantor Prass—kakak kandung Andra belum juga ada. Sampai akhirnya Sagara terpaksa ikut dengan Hanna membuat desain di boutique guna menghilangkan jenuh jika berada di rumah terus menerus.Namun, hal itu tetap saja membuat Sagara merasa tidak enak hati. Ia adalah seorang laki-laki, seorang suami yang seharusnya menafkahi anak dan istrinya. Bukan malah bekerja di tempat usaha sang istri.“Sayang?” panggil Sagara kemudian.“Ya, Sagara? Ada apa?” ucapnya sembari menata gaun yang sudah selesai dibuat. Gaun yang diberikan motif oleh Sagara.Pria itu lantas memeluk Hanna dari belakang. Kepalanya ia tumpukan di bahu sang istri dengan mata menatap gaun yang ditata dengan rapi dipajang dengan manekin.“Bagus banget. Aku yakin, pelanggan kamu suka. Bisa jadi dia akan berlangganan terus dan mempercayakan kamu sebagai perancang busana untuk dia,” kata Sagara mengagumi keindahan dan kecantikan gaun yang suda
“Mbak Gina. Terima kasih karen sudah mengkhawatirkan nasib saya karena menikah dengan Sagara. Insya Allah, Sagara akan bertanggung jawab dan pernikahan kami akan langgeng. Ya. Sagara memang tidak pernah tidur dengan perempuan mana pun. Hanya dengan saya!”Demi melindungi nama baik dirinya dan Sagara, perempuan itu mengakui jika anak yang dia kandung adalah anak Sagara.“Kami tidur juga karena tidak sengaja. Saat itu ada yang menjebak Sagara dengan memasukkan obat perangsang ke minuman Sagara. Dan … Mbak Gina pasti tau apa yang terjadi selanjutnya.”Selesai melakukan pembayaran, Gina langsung pulang dari boutique Hanna.“Terima kasih sudah mempercayakan saya untuk membuatkan gaun ini, Mbak Gina,” tutur Hanna kemudian menerbitkan senyumnya dengan ramah.“Sama-sama, Mbak Hanna. Bajunya bagus. Mungkin kalau ada acara lagi, saya akan memesan gaun ke sini lagi.”“Waah! Saya tunggu kedatangannya, Mbak Gina. Semoga acaranya berjalan dengan lancar ya, Mbak Gina.”Perempuan itu lantas mengangg
Hanyut dalam gairah yang membuncah dalam diri kedua insan itu. Sagara tengah menetralisir kondisinya yang sudah tidak bisa dikatakan sedang baik-baik saja.Sebuah tautan panjang dengan tangan bergelayangan di atas dua bukit kembar milik Hanna, pria itu sudah kehilangan arah. Nafsunya semakin membuncah kala bibir Hanna yang bermain tak kalah hebat darinya.Napasnya tersengal, mata yang dipenuhi nafsu itu menata Hanna dengan lekat. “Kenapa kamu luar biasa sekali, Hanna. Serangan yang menurutku sudah luar biasa, ternyata kamu lebih luar biasa.”Hanna tersenyum sembari membuka pengait bra lantaran hanya itu yang tersisa setelah Sagara berhasil membuka daster yang dikenakan oleh perempuan itu.Sagara mengedip-ngedipkan matanya kala melihat dua gundukan yang baru ia remas itu. Diusapnya dengan lembut kedua benda kenyal itu hingga desisan kecil Hanna keluarkan. Mata Sagara mengadah, menatap Hanna yang tengah memejamkan matanya.“Apa yang harus aku lakukan dengan kedua benda ini, Hanna? Harus
Di Rumah Sakit Harapan.Sagara membawa perempuan itu ke rumah sakit tersebut setelah panik kala melihat banyaknya darah keluar di pangkal paha Hanna. Hingga tak sadarkan diri dan membuat Sagara amat sangat terpukul saat melihatnya.“Bagaimana kondisi istri saya, Dok? Dia baik-baik saja, kan?” tanya Sagara setelah Dokter Aris memeriksa kondisi Hanna yang masih belum sadarkan diri itu.“Apakah selama ini Bu Hanna mengalami sakit perut, atau hal lainnya?” Dokter Aris balik bertanya kepada Sagara.“Sakit perut?” Sagara menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari mengingat-ngingat apakah Hanna pernah mengalami sakit perut atau sejenisnya.“Istri saya tidak pernah mengeluh kesakitan di perutnya, Dok. Karena saya tidak pernah melihatnya. Atau mungkin, dia menyembunyikan rasa sakit itu di belakang saya.”Dokter Aris manggut-manggut. “Kondisi janin di dalam perut Bu Hanna lemah, Pak Sagara. Saya rasa, akibat stress dan tidak pernah beliau keluarkan. Hanya dipendam saja. Begitu saat melakukan
“A—apa?” Sagara terkejut kala mendengar penuturan Hanna kenapa dia bisa mengalami stress hingga pendarahan.Hanna menganggukkan kepalanya dengan pelan sembari menatap Sagara.“Tapi kenapa? Kenapa dia harus melakukan itu dan mengancam kamu, Hanna? Ada apa dengan Raffael? Dia yang sudah pergi gitu aja dan nggak mau tanggung jawab atas kehamilan kamu. Kenapa sekarang sibuk urusin kita dan ancam kamu segala?" Sagara terbawa emosi kala mendengar penuturan dari istrinya itu.Alasan kenapa Hanna stress hingga pendarahan dan membuat Sagara panik bukan main. Atas ulah Raffael, dan itu cukup membuat Sagara ingin menghajar Raffael jika bertemu dengan pria itu.“Aku juga nggak tau alasan kenapa dia mau ancam aku dan bilang ke Papa kalau kamu bukan ayah dari anak aku ini, Sagara. Aku nggak pernah menanggapi terror dari Raffael, aku mau bodo amat. Tapi ternyata susah. Terus kepikiran dan akhirnya buat aku stress.”Hanna sudah mulai menitikan air matanya. Ia takut Raffael tidak main-main dengan anca
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Hari itu juga, Hanna diperbolehkan pulang oleh dokter setelah hasil pemeriksaan dinyatakan jika kondisi perempuan itu sudah baik-baik saja.“Hanna. Aku nggak tau pin ATM kamu berapa. Tadi aku bayar pakai uang Andra. Minta tolong ditransfer ke Andra, yaa.” Sagara memberi tahu sembari menunggu Hanna mengenakan pakaian yang sudah dibawa olehnya.Perempuan itu tersenyum sembari menyisir rambutnya. “Nomor pin-nya tanggal pernikahan kita. Udah aku ganti satu hari setelah menikah. Semuanya. Internet banking, pin ATM dan lainnya.”“Aahh. Begitu rupanya.”Hanna kembali mengulas senyumnya. “Aku sudah bayar uangnya ke Andra. Tapi, dia nolak. Katanya nggak usah dibayar.”Sagara berdecak pelan. “Kenapa harus ditolak coba. Padahal, bayar biaya perawatan di VIP tuh mahal. Hampir tiga juta nggak ada dua puluh empat jam.”Hanna lantas menepuk bahu Sagara. &ldquo
“Siapa kamu?”Raffael datang menghampiri Krisna ke kantor Lestari secara langsung. Kemudian duduk di depan Krisna dan menatap pria itu dengan lekat.“Aku Raffael. Aku ingin bertanya kenapa Om Krisna membiarkan Hanna menikah dengan Sagara?” tanya Raffael dengan datar.Krisna menghela napasnya dengan pelan. “Raffael? Siapa kamu? Dan kenapa menanyakan perihal anak saya menikah dengan pria itu?”Raffael mengerutkan keningnya. “Pria itu? Sagara?”Krisna menganggukkan kepalanya. “Ya. Kenapa kamu menanyakan pernikahan mereka? Siapa kamu dan apa maksud kamu menanyakan itu semua?”“Om! Hanna lagi hamil, kan? Dan Om tau, siapa ayah dari anak yang sedang Hanna kandung itu? Aku! Aku adalah ayah kandung dari anak yang sedang Hanna kandung. Aku Raffael. Pacarnya Hanna. Aku baru datang dari Belanda karena mengurus perusahaan di sana.“Dua bulan di sana, tidak ada kabar dari Hanna yang ternyat
“Lepas!” pekik Hanna lagi. Namun, sakit di perutnya tak bisa ia tahan lagi. Perempuan itu kembali tak sadarkan diri dan Sagara meraihnya.“Lepaskan! Jangan pernah sentuh anak saya lagi. Biarkan Raffael membawanya ke rumah sakit!”Brugh!Sagara mendorong Raffael dan menatapnya dengan amat sangat tajam. “Jangan pernah sentuh Hanna. Dia istri gue! Elo nggak ada hak apa pun.” Sagara menolak keras Raffael membawa Hanna yang sudah tak sadarkan diri.“Apa hak kamu berucap seperti itu? Bahkan, kamu juga tidak punya hak pada anak saya!” sengal Krisna membela Raffael.“Saya suaminya! Saya yang berhak atas Hanna!” balas Sagara tak mau kalah.“Cih! Suami yang hanya menumpang hidup. Tidak berguna, bahkan kamu tidak punya masa depan yang cerah untuk anak dan cucu saya kelak!”Sagara menghela napasnya kemudian menggendong Hanna. Tidak penting menjawab semua ocehan Krisna. Kesela
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu