Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Hari itu juga, Hanna diperbolehkan pulang oleh dokter setelah hasil pemeriksaan dinyatakan jika kondisi perempuan itu sudah baik-baik saja.
“Hanna. Aku nggak tau pin ATM kamu berapa. Tadi aku bayar pakai uang Andra. Minta tolong ditransfer ke Andra, yaa.” Sagara memberi tahu sembari menunggu Hanna mengenakan pakaian yang sudah dibawa olehnya.
Perempuan itu tersenyum sembari menyisir rambutnya. “Nomor pin-nya tanggal pernikahan kita. Udah aku ganti satu hari setelah menikah. Semuanya. Internet banking, pin ATM dan lainnya.”
“Aahh. Begitu rupanya.”
Hanna kembali mengulas senyumnya. “Aku sudah bayar uangnya ke Andra. Tapi, dia nolak. Katanya nggak usah dibayar.”
Sagara berdecak pelan. “Kenapa harus ditolak coba. Padahal, bayar biaya perawatan di VIP tuh mahal. Hampir tiga juta nggak ada dua puluh empat jam.”
Hanna lantas menepuk bahu Sagara. &ldquo
“Siapa kamu?”Raffael datang menghampiri Krisna ke kantor Lestari secara langsung. Kemudian duduk di depan Krisna dan menatap pria itu dengan lekat.“Aku Raffael. Aku ingin bertanya kenapa Om Krisna membiarkan Hanna menikah dengan Sagara?” tanya Raffael dengan datar.Krisna menghela napasnya dengan pelan. “Raffael? Siapa kamu? Dan kenapa menanyakan perihal anak saya menikah dengan pria itu?”Raffael mengerutkan keningnya. “Pria itu? Sagara?”Krisna menganggukkan kepalanya. “Ya. Kenapa kamu menanyakan pernikahan mereka? Siapa kamu dan apa maksud kamu menanyakan itu semua?”“Om! Hanna lagi hamil, kan? Dan Om tau, siapa ayah dari anak yang sedang Hanna kandung itu? Aku! Aku adalah ayah kandung dari anak yang sedang Hanna kandung. Aku Raffael. Pacarnya Hanna. Aku baru datang dari Belanda karena mengurus perusahaan di sana.“Dua bulan di sana, tidak ada kabar dari Hanna yang ternyat
“Lepas!” pekik Hanna lagi. Namun, sakit di perutnya tak bisa ia tahan lagi. Perempuan itu kembali tak sadarkan diri dan Sagara meraihnya.“Lepaskan! Jangan pernah sentuh anak saya lagi. Biarkan Raffael membawanya ke rumah sakit!”Brugh!Sagara mendorong Raffael dan menatapnya dengan amat sangat tajam. “Jangan pernah sentuh Hanna. Dia istri gue! Elo nggak ada hak apa pun.” Sagara menolak keras Raffael membawa Hanna yang sudah tak sadarkan diri.“Apa hak kamu berucap seperti itu? Bahkan, kamu juga tidak punya hak pada anak saya!” sengal Krisna membela Raffael.“Saya suaminya! Saya yang berhak atas Hanna!” balas Sagara tak mau kalah.“Cih! Suami yang hanya menumpang hidup. Tidak berguna, bahkan kamu tidak punya masa depan yang cerah untuk anak dan cucu saya kelak!”Sagara menghela napasnya kemudian menggendong Hanna. Tidak penting menjawab semua ocehan Krisna. Kesela
Sagara menunjuk tepat ke arah Raffael yang tengah berdiri di ambang pintu. Namun, mata itu menatap nanar Krisna yang tengah menatap Sagara penuh dengki.“Bohong! Dia bohong, Om. Aku belum menikah dan lihat. Aku tidak mengenakan cincin kawin di jari mana pun.” Raffael menunjukkan kesepuluh jarinya kepada Krisna untuk mencari pembelaan jika dirinya belum menikah. Sungguh hebatnya pria itu. Bahkan, ia sudah melepaskan cincin kawin bersama Citra.Plak!Sagara lantas kena tamparan keras lagi dari Krisna. “Jangan banyak omong kamu, Sagara. Kini, kamu memang masih menjadi suami sahnya Hanna. Tapi, sebentar lagi kalian akan berpisah. Jangan ganggu rumah tangga Hanna dengan Raffael lagi jika kamu masih ingin hidup, Sagara!” Krisna mengancam Sagara kembali.Pria itu lantas membolakan matanya kala mendengar ucapan pria paruh baya itu. “Nggak! Sampai kapan pun saya tidak akan pernah berpisah dengan Hanna. Dia yang sudah bohong, Pak Krisna. Saya akan membuktikannya kalau si keparat Raffael itu sud
Andra menganggukkan kepalanya kemudian melanjutkan mengompres wajah Sagara. “Ya. Hanna udah nggak cinta sama Raffael. Makanya elo tenang aja karena Hanna nggak akan kembali pada si Raffael.” Andra kembali menenangkan Sagara.Pria itu memejamkan matanya dengan erat sembari menelan saliva dengan pelan. “Hanna. Kita sudah berjanji akan saling menguatkan dan bertahan. Jangan sampai goyah, Hanna. Aku akan mengambil kamu kembali,” lirih Sagara berucap dengan pelan.“Aneh! Kenapa juga Raffael mengganggu rumah tangga kalian, Sagara. Tidak mungkin jika tidak ada alasan yang kuat kenapa dia menginginkan Hanna lagi. Kamu harus cari tau tentang itu juga, Sagara. Alasan kenapa Raffael menginginkan Hanna lagi dan seolah-olah dia ingin bertanggung jawab atas perlakuannya kepada Hanna,” kata Iman berbicara kepada Sagara.Pria itu menganggukkan kepalanya dengan lemah. “Iya, Om. Aku juga belum tau alasan di balik ini semua. Nggak ada asap kalau nggak ada api. Pasti ada hal yang udah buat dia ingin kemb
Sagara menatap denga malas wajah Andra. “Emang sebenarnya elo lagi ngincar Hanna, kan? Nggak sekalian elo saingan sama Raffael sono.” Sagara terbawa emosi dengan ucapan sahabatnya tadi.Andra menghela napasnya dengan pelan. “Nggak ada gawe banget gue ngincer si Hanna. Kayak cewek di dunia ini udah sold out aja. Gue ngomong kayak gitu ke elo supaya elo mikir, elo tau kalau elo bunuh mereka, akan berdampak besar ke diri elo. Si Hanna nggak bakal mau lagi sama elo, dan elo akan masuk ke penjara.” Andra menjelaskan kepada Sagara agar pria itu paham dengan ucapannya tadi.Sagara menutup wajahnya kembali dengan tangan kirinya. “Hanna udah siuman belum, ya? Dia pasti nyariin gue,” lirihnya kemudian.Andra menepuk paha Sagara. “Tidur dulu, Gar. Udah malam. Besok, kita cari cara untuk bisa ketemu sama Hanna. Elo bisa mikir jernih kalau suasana hati elo udah membaik.”“Mana bisa tidur, Ndra. Sedangkan kondisi Hanna aja gue nggak tau gimana. Yang gue inginkan sekarang adalah Hanna. Ingin lihat d
Sinta menghela napas kasar kemudian tersenyum pasi. “Mama sudah pernah melayangkan surat cerai ke Papa, Nak. Tapi, dia malah mengancam Mama.”Hanna lantas mengerutkan keningnya. “Mengancam Mama gimana? Kenapa Papa ancam Mama? Apa yang dia ancam dari Mama?”“Banyak.” Sinta kembali menghela napasnya. “Ya. Kamu memang bukan anak kandung kami, Hanna. Mama pernah keguguran dan tidak bisa memiliki anak lagi karena rahimnya diangkat.”Hanna menganga kemudian menutup mulutnya. Siapa yang tidak terkejut kala mendengar kenyataan bahwa dirinya bukanlah anak kandung Sinta dan Krisna. Namun, Sinta terlihat khawatir Hanna marah atau apa pun itu. Terlihat sangat santai seolah semuanya tidak terjadi apa-apa.“Ya—yang bener, Ma?” tanya Hanna dengan terbata-bata.Sinta mengangguk sembari menghela napasnya dengan pelan. “Iya, Sayang. Tapi, Mama sangat menyayangi kamu bukan sebagai anak angkat. Tapi menganggap kalau kamu anak kandung Mama. Karena sejak masih bayi, kamu sudah Mama rawat. Ibu kamu meningga
Di luar sana.Sagara dan Andra tengah menatap jendela di mana Hanna dirawat di ruang rawat VIP lantai tiga. Sagara mengadahkan kepalanya sembari menitikan air matanya. Rasa rindunya kepada Hanna sudah tak terbendung lagi.Baru sempat keluar dari rumah Andra karena kondisinya baru saja membaik, setelah badannya remuk karena dihajar oleh bodyguard Krisna.“Hanna. Kamu lagi ngapain?” lirih Sagara seolah sedang bertanya kepada istrinya itu. “Kamu udah siuman, kan? Udah makan? Kondisi kamu gimana?”Andra menepuk bahu Sagara. “Kayaknya sih udah siuman. Dia pasti nyariin elo karena gak ada waktu dia buka matanya. Hanna sama terpuruknya kayak elo, Sagara. Bukan hanya elo doang.”Sagara menghela napas pelan. “Harus dengan cara apa supaya bisa kita masuk ke dalam, Ndra? Sementara pintu ruang rawat Hanna aja dijaga anak buah si kampret itu.”Kemudian pria itu menolehkan kepalanya kepada Andra. “Gimana, si Citra? Di mana itu orang?”“Tadi gue ke kampus. Belum sempat nyari Citra. Besok, kita cari
Kaki Sagara berhenti melangkah satu meter dari ruang rawat Hanna. Masih ada dua ajudan Krisna berdiri di depan pintu masuk.Kemudian menarik napasnya dengan pelan. “Semoga nggak ada siapa-siapa di dalam ruangan Hanna. Supaya gue bisa berlama-lama di sana,” gumam Sagara kemudian melangkahkan kakinya kembali.“Permisi!” ucap Sagara dengan suara ia bedakan. Dua ajudan itu masa bodoh setelah melihat nametag yang dikenakan oleh Sagara. Membiarkan Sagara masuk yang mereka anggap seorang office boy sungguhan untuk membersihkan ruangan Hanna.Hanna tengah menangis sembari memegang tangan Sinta. “Sebenarnya Sagara ke mana sih, Ma? HP aku juga mana? Aku mau nelepon Sagara, Ma,” lirih Hanna sembari terisak.“Sabar ya, Sayang. Sagara nggak bisa masuk ke sini. Di depan ada pengawal Papa. Kurang kerjaan emang si Krisna itu. Memerintahkan mereka untuk menjaga pintu agar Sagara tidak bisa masuk ke sini.""Ma. Biarkan aku pulang. Pap
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu