Aku tak bisa melenyapkan bayangan mengerikan soal hantu wajah rata itu. Tentu saja, ketakutan menguasaiku, bahkan setelah aku menutup pintu kamar tamu itu dengan kencang, Anehnya aku tidak menemukan di mana kunci pintu yang biasanya kusimpan di dekat bufet ruang tamu. Rumahku di dalam dimensi lain ini setelah kuperhatikan agak berbeda. Beberapa barang yang ada di rumahku pun, seperti foto Bung Karno ataupun beberapa foto keluarga menghilang. Entah apa tandanya itu. Yang pasti, setelah itu aku lantas menjauh dari pintu dan masih tidak bisa menghentikan ketakutanku tatkala suara perempuan itu begitu lirih terus berteriak ke arah pintu, “tubuhku! Tubuhku! Aku ingin tubuhku!” Siapa yang mengambil tubuhnya? Seseorang? Atau jin? Alhasil, setelah serangan mengerikan itu kualihkan segera tatapanku ke arah pintu kamar—yang mana memang menjadi tujuanku. “Cepat cari istrimu!” pekik Dokter Barata kembali terdengar dari arah luar. Ia agaknya sudah mencapai batasnya dalam melawan gerombolan ge
“Wirdaaa! Wirdaaa! Di mana kau!” Aku seperti orang gila yang kemasukan setan, dan secara ganjil menangkap pocong-pocong yang berseliweran di dalam rumah hanya untuk dibuka tali pocongnya lalu memeriksa wajah busuk itu, apakah Wirda benar-benar berada di antara mereka—seperti yang dikatakan oleh Dokter Barata, atau tidak ada. Jika tidak ada, aku merasa lelah dan sia-sia. Kedua tanganku sudah bercampur nanah dan darah kotor pocong-pocong itu. Aku bahkan sudah membiarkan diri dalam kejijikkanku mengorek-ngorek wajah mayat hidup itu. Tak juga kupastikan bahwa itu memang istriku. Aku hanya berharap bila ia benar-benar ada dalam rombongan menakutkan ini, kondisnya tidak seberantakan yang sudah kutemui. Beberapa mahluk yang kupaksa untuk diperiksa menggigitku, akibatnya aroma busuk tak juga hilang dari area luka yang tampak tak seberapa itu. “Sial... Wirdaaa!” Semakin lama, pocong semakin banyak. Beberapa berhasil melayang ke luar melalui pintu depan yang kubiarkan kubuka, agar aroma bus
Aku terus memeluk erat Wirda dan berusaha tak memedulikan mahluk-mahluk putih melayang yang tak memedulikanku. Namun, di saat aku sudah kehilangan harapan dan telah berputus asa, tiba-tiba suara Dokter Barata mengejutkanku. “Budiman! Cepat! Ayo! Kau sudah menemukan Wirda?!” “Ya!” Dokter Barata tampak berusaha menerobos pocong-pocong itu. Tak lama kemudian, setelah suara yang kucemaskan itu hanyalah ilusiku, nyatanya tangan sang dokter tampak muncul juga di antara pocong-pocong yang makin rapat. “Ayo!” pekik Dokter Barata. “Kita harus cepat pergi. Aku sudah berhasil menamengi rumah ini.” “T-Tapi... pocong-pocong ini?!” “Mereka hanya hidup sisi lain rumahmu, sedangkan di rumah aslimu di dunia nyata, mereka tidak akan ada... lagipula, tameng yang kupasang di rumahmu akan membuat mahluk-mahluk ini tewas dalam waktu dekat. Oleh karena itu, sebelum itu terjadi aku ingin kau menemukan istrimu dan membawanya kembali!” Dokter Barata terdengar kesusahan menerobos pocong-pocong itu. Aku l
Bab 82 Ada kecanggungan yang ganjil antara aku, Dokter Barata, Wirda, dan Kinanti di dalam lorong penghubung itu. Sebelum kami memutuskan untuk melewati lorong itu, aku izin kepada Dokter Barata untuk menyelesaikan urusanku dengan Kinanti, jin peri cantik (tentu saja karena dia adalah putri mahkota dari kerajaan peri). Sosok yang bernama asli Destyana Harasantya itu tampak tidak terima bila aku pergi begitu saja. “Aku ingin dirimu tetap bersamaku di kerajaan...maksudku...” bisiknya terdengar lirih dan menyedihkan. Jelas terlihat dari kedua mata perempuan ini yang tampak berkaca-kaca, seolah saking rapuhnya, aku tidak boleh membiarkannya pecah. “Aku tidak ingin terus mencintaimu dan tetap berada di dekatmu...” “Kinanti...” “Budiman...” “Kinanti, mengertilah keadaanku. Lihatlah istriku... dia begitu lemah dan aku sudah berjanji padanya agar kami bisa memperbaiki rumah tangga kami.” Jin peri itu lantas melihat kondisi istriku yang masih lemah, dan kini ia sedang dikipasi oleh jin p
Setelah siuman dari komaku, aku lantas disambut oleh Sekar. Ia lantas memberikanku minuman hangat. Hal pertama yang kuingat adalah aku dikejar mahluk-mahluk mengerikan dan nama istrikulah yang kulontarkan untuk pertama kalinya, setidaknya itu yang dikatakan oleh Sekar saat pertama kali aku mulai siuman. “Di mana kakekmu?” tanyaku lemah sembari berusaha terduduk di ranjang. “Dia sudah merokok lagi di teras depan. Tampaknya kakekku pun kelelahan.” “Biarkan aku bertemu dengannya. Aku harus berterima kasih padanya...” kataku berusaha turu dari ranjang. “Sebaiknya kau istirahatlah dulu...” “Tapi, aku...” Aku memaksakan diri untuk bangun dan akhirnya aku hampir saja jatuh dan menabrak meja. Untung saja Sekar segera menyelamatkanku. Perempuan itu kembali mendudukkanku di ranjang. “Sudah kubilang. Kau belum kuat betul...” “Lalu, kenapa kakekmu sudah bisa... urrghh...” aku memutuskan untuk kembali rebahan di ranjangku. Sekar lantas menyelimutiku. “Istriku... dia sendirian di rumah...”
Wirda Aku marah. Jengkel. Dan entah datangnya dari mana, aku merasa memiliki keinginan untuk membunuh suamiku. Terutama saat ia merasa begitu berjasanya bisa mengajakku liburan ke Puncak dan Bogor. Entah kenapa, ia merasa yang paling benar dengan keputusan tersebut. Aku tidak mau pergi ke sana, karena aku merasa aku tidak butuh pergi liburan saat ini. Mungkin pikiranku sudah kacau. Tapi, pada akhirnya aku tetap pergi liburan. Membiarkan suamiku berlagak menjadi penyelamat bahtera rumahtangga, Saat kami memulai perjalanan aku duduk di jok paling belakang. Beberapa kali aku mendengar ocehan istri dari Lukas dan kerap kali pacarnya Jarwo, yang jujur saja itu terasa sangat menggangguku. Belum lagi tatapan mengawasiku dari Mas Budi sungguh benar-benar mengganggu. Dikirannya aku akan melakukan sesuatu yang tidak tepat apa. Kendati keinginanku untuk menghabisi nyawa suamiku kadang muncul begitu saja, agaknya aku masih punya akal sehat yang menahanku, kendati suara batin Reynaldi kerap mu
“Suamimu akan menghalangi kita...” ujar Reynaldi di akhir kalimatnya sebelum ia benar-benar beprisah denganku. “Tapi, aku tidak pernah bisa membunuhnya... aku tidak ingin membunuhnya... aku hanya ingin dia idak memedulikanku...” Ya, aku tidak perlu merisaukan hal lain lagi—seperti aku mesti memaksa cerai darinya. Sungguh, ini keputusan yang tepat, dan rekan kerja suamiku sudah pasti akan menjamin hubungan kami. Sungguh malang dirimu, Mas Budi. Bahkan rekan kerjamu sendiri tidak mampu menghadapi kami. Beberapa hari sebelumnya, di saat malam aku yang hendak berangkat tidur setelah seharian mengurus rumah—dari depan hingga belakang, aku lantas terduduk diam seolah tersadarkan akan sesuatu. Tidak hanya itu, tubuhku pun terasa sakit. Otot-ototku terasa linu, dan semakin lama dari kakiku hingga ke leherku hawa dingin dan beku merambat seolah aku akan terserang hipotermia. Napasku pun mendadak sesak, dan ketika itu pula aku tidak bisa bernapas. Setelah aku berusaha beringsut dari ranjang
“Kesepakatan? Baiklah kesepakatan apa yang kau inginkan?” Kini kami berada di ruang rapat pemerintahan istana tersebut. Semua anggota penting dari kerajaan duduk di sebuah meja panjang—serupa meja bundar yang sering kulihat di ruang-ruang perundingan politik di dunia manusia. Dan kini, aku masih merasa sedikit kagum akan keberanian perempuan ini. Jelas saja, yang membuatnya penuh percaya diri adalah karena Sekar memiliki kemampuan yang sangat berbahaya. Itu sebabnya gandarawa-gandarawa ini sangat hati-hati berhadapan dengannya. Sebentar, Sekar kembali menatapku lagi yang kini telah duduk di samping Raja Gandarakala, juga telah mengenakan gaun indah layaknya seorang ratu pada umumnya. “Wirda... apa kau masih mencintai Budiman?” Aku terdiam sesaat. Mencoba menerawang diriku sendiri. Apakah iya? Apakah mantera itu sudah mempengaruhiku hingga aku tak lagi memiliki perasaan khusus padanya? Dan kini yang tersisa hanyalah moralku sebagai manusia saja—yang mana berhasil membuatku menahan
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K