Hari ini, aku tidak berangkat ke Universitas Dandelion karena ada jadwal pemotretan. Kali ini, aku melakukan pemotretan untuk salah satu majalah. Kuakui pakaian yang diberikan lebih beragam. Sehingga aku harus berkali-kali ke ruang ganti. “Bagus, Meydisha. Pertahankan posenya!” pinta kakak fotografer berambut gondrong. “Oke, beri tatapan lebih tajam, ya!” Jepretan flash kamera menghunjami pose-pose terbaik yang kulakukan. Akhirnya aku merampungkan pekerjaanku. Langsung saja aku berganti pakaian yang lebih nyaman dan menunggu managerku, Kak Laras yang sedang kupintai bantuan. Selama menunggu, aku tidak bisa berhenti menggigiti kuku sehingga nail art bergambar bintang terkelupas sedikit
Di antara ilalang yang menari mengikuti alunan seruling alam di musim panas, Angkara kecil melangkah dengan terseok-seok dituntun oleh pria muda bertopeng badut. Debu dari tanah gersang mengepul ke udara. Desa mati ini hanya menyisakan selembar koran 2009 yang sepertinya tersapu angin dari desa sebelah, Desa Taman Sari.“Kapan paman akan mengantarkanku ke rumah?” tanya bocah itu dengan polosnya. Dengan mata tersenyum dibalik topeng, pria itu menoleh. “Nanti, setelah luka di kakimu sembuh.” Sampailah keduanya di bekas peternakan yang terletak di desa tak berpenghuni. Angkara kecil mendadak didorong masuk oleh si pria bertopeng. Dengan kelopak mata yang membesar dan tubuh yang bergetar hebat, anak laki-laki itu sangat tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Harapannya untuk bisa pulang menjadi abu seketika. Yang dia lihat hanyalah
Untungnya, Angkara membawa motor gede merk SuzukiGSX-R150, jadi kami bisa lebih fleksibel berangkat menuju kantor polisi yang letaknya tak jauh desa tak berpenghuni. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih 30 kilometer. Perlahan-lahan, keramaian ibukota mulai lenyap dari pandangan. Jalanan yang semula mulus oleh aspal, tergantikan oleh medan yang lebih tajam. Di mana bebatuan dan kerikil mulai terasa mengguncang tubuh, membuatku memperatkan pegangan ke ujung jaket Angkara. “Peluk saja, tak apa. Aku nggak mau kamu jatuh!” teriak Angkara dengan suara tipis terhembus angin dibalik helmnya. Aku memberanikan diri memeluk pinggangnya dengan erat. Suara decit rem motornya terdengar pertanda kami telah sampai. Kutekan bahu Angkara untuk menumpu badanku supaya turun dengan mudah. Kami sudah melewati beberapa pos polisi yang dap
Tidak ada jadwal pemotretan hari ini. Sebenarnya sejak kemunculan Penulis Arkais, aku sudah mulai berdiskusi kepada agensi yang menaungiku untuk rencana mengambil cuti. Semua ini kulakukan untuk memfokuskan diri menyelesaikan apa yang tertunda selama bertahun-tahun, aku tidak ingin melarikan diri lagi dan bersembunyi dibalik trauma yang hanya merobek luka lama. Apa pun itu, harus kuhadapi. Kupandang sahabatku, Hanindita yang sedang menyimak dengan serius arahan dari dosen kami, Bu Novi tentang festival dongeng Universitas Dandelion yang akan diadakan besok. Selama ini aku selalu tak acuh kepadanya, meski aku tahu dia membantuku begitu banyak. Ia selalu mengetahui tentangku, tentang indahnya aku, namun tidak tentang nerakaku. Dia akan ikut menyukai apa yang aku suka. Namun bahkan di titik ini, aku akan membenci apa yang dia sukai, Penulis Arkais
Semenjak kemunculan Penulis Arkais, tidurku sering dirundung mimpi buruk. Akan lebih baik jika memang semua ini hanyalah mimpi buruk. Sayangnya, ketetapan Yang Maha Kuasa adalah takdir yang hanya bisa kuterima. Mungkin Ia memang berniat mengajarkan bahwa hidup adalah tentang penerimaan yang harus kuhadapi. Aku menghela napas berat yang tak terhitung jumlahnya sejak pertemuan bumi dengan arunika hingga senja kian temaram. Pergelangan tanganku terjerat oleh karet gelang yang sedari tadi kupecut hingga hingga meninggalkan luka. Rasa perihnya terkalahkan oleh pikiranku yang bergelut dengan pertanyaan apakah aku benar-benar membunuh si pria bertopeng seperti yang Angkara katakan hingga mengapa aku tidak bisa mengingatnya dengan baik. DRRTT. Sebuah pesan masuk. Panjang u
Aku melipat kedua tanganku di dada, menatap tajam banner bertuliskan, “Festival Dongeng Remaja bersama Penulis Arkais.” Kursi sofa empuk di atas panggung telah ditata layaknya singgasana bagi sang raja. Persetan, di dalam imajinasiku, kursi terkutuk itu diduduki oleh seorang penyihir dengan wajah hampir tertutupi topi dan menyisakan senyum seringai ke arahku. Mataku berair dengan emosi yang abstrak. Tidak ada siapa pun di ruangan sebesar ini karena aku harus memastikan apakah benar hari ini akan datang. Nyatanya, aku datang sepagi ini hanya untuk memberi ruang untuk halunisasi liarku bekerja. Percuma saja, benakku. Kuputuskan untuk meninggalkan aula. Namun saat hampir berbalik, seseorang yang entah datang dari mana memutarbalikkan badanku ke tempat semula. Tanpa sempat aku melihat wajahnya, kegelapan melandaku. Aku bisa merasakan bulu mataku menyapu kulit sebuah telapak tangan. Ia menutup kedua mataku, m
《 BARA ARKAIS: BAGIAN KEDUAArkais selalu melihat kehebatanmu, bahkan di kala itu.Mey, aku berada di belakangmu. Bersembunyi di balik tumpukkan jerami. Melihatmu berbincang dengan keparat gila yang menjadi alasanku hidup.[Dia bukan si pria bertopeng. Dia putranya!]Aku memandangi punggungmu, kamu menarik perhatian seseorang yang tak pernah dunia perhatikan. Seseorang yang terlalu lemah untuk memusnahkan si keparat gila. Aku bersyukur ia memberimu belati. Karena aku tak pernah diberi kesempatan untuk memegang benda itu. Tidak, semenjak aku mencurinya dan melenyapkan putri kesayangannya.[Ia membunuh adiknya? Jantungku tersentak.]Aku belum puas dengan hal itu. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku mengikuti kegilaannya hanya untuk mencuri belati itu dan menancapkan tepat di jantungnya. Tapi apa kamu tahu apa yang hebat?Layaknya Orion yang dijadikan abadi dan membentuk rasi bintang terindah akibat panah dari Arthemi
Derum mesin mobil terdengar. Alunan musik bernada musim panas menemani perjalanan singkat dan membuat Hanin tidak berhenti menari-nari kecil. Sepertinya, saja yang tidak punya kerjaan. Selain memandangi senyuman Reyvan yang khas dan sedikit aneh. Sungguh, dia tersenyum seperti itu sepanjang perjalanan kami. Siang ini, kami memutuskan untuk mengunjungi kebun binatang terdekat. Karena aku dan Hanin sama-sama menyukai hewan. Kalian tahu? Kami sudah membesarkan seekor kura-kura selama tiga bulan terakhir, Gery namanya. Gery sengaja kubiarkan tinggal di rumah Hanin, sebab aku jarang berada di rumah. Ah, aku sudah lama nggak menyapanya. “Teman-teman, kita sampai!” seru Reyvan. Alunan musik pun perlahan berhenti selagi ia memarkirkan mobil. Begitu keluar dari mobil, aku b