Aku melipat kedua tanganku di dada, menatap tajam banner bertuliskan, “Festival Dongeng Remaja bersama Penulis Arkais.” Kursi sofa empuk di atas panggung telah ditata layaknya singgasana bagi sang raja. Persetan, di dalam imajinasiku, kursi terkutuk itu diduduki oleh seorang penyihir dengan wajah hampir tertutupi topi dan menyisakan senyum seringai ke arahku.
Mataku berair dengan emosi yang abstrak. Tidak ada siapa pun di ruangan sebesar ini karena aku harus memastikan apakah benar hari ini akan datang. Nyatanya, aku datang sepagi ini hanya untuk memberi ruang untuk halunisasi liarku bekerja. Percuma saja, benakku. Kuputuskan untuk meninggalkan aula. Namun saat hampir berbalik, seseorang yang entah datang dari mana memutarbalikkan badanku ke tempat semula. Tanpa sempat aku melihat wajahnya, kegelapan melandaku. Aku bisa merasakan bulu mataku menyapu kulit sebuah telapak tangan. Ia menutup kedua mataku, m《 BARA ARKAIS: BAGIAN KEDUAArkais selalu melihat kehebatanmu, bahkan di kala itu.Mey, aku berada di belakangmu. Bersembunyi di balik tumpukkan jerami. Melihatmu berbincang dengan keparat gila yang menjadi alasanku hidup.[Dia bukan si pria bertopeng. Dia putranya!]Aku memandangi punggungmu, kamu menarik perhatian seseorang yang tak pernah dunia perhatikan. Seseorang yang terlalu lemah untuk memusnahkan si keparat gila. Aku bersyukur ia memberimu belati. Karena aku tak pernah diberi kesempatan untuk memegang benda itu. Tidak, semenjak aku mencurinya dan melenyapkan putri kesayangannya.[Ia membunuh adiknya? Jantungku tersentak.]Aku belum puas dengan hal itu. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku mengikuti kegilaannya hanya untuk mencuri belati itu dan menancapkan tepat di jantungnya. Tapi apa kamu tahu apa yang hebat?Layaknya Orion yang dijadikan abadi dan membentuk rasi bintang terindah akibat panah dari Arthemi
Derum mesin mobil terdengar. Alunan musik bernada musim panas menemani perjalanan singkat dan membuat Hanin tidak berhenti menari-nari kecil. Sepertinya, saja yang tidak punya kerjaan. Selain memandangi senyuman Reyvan yang khas dan sedikit aneh. Sungguh, dia tersenyum seperti itu sepanjang perjalanan kami. Siang ini, kami memutuskan untuk mengunjungi kebun binatang terdekat. Karena aku dan Hanin sama-sama menyukai hewan. Kalian tahu? Kami sudah membesarkan seekor kura-kura selama tiga bulan terakhir, Gery namanya. Gery sengaja kubiarkan tinggal di rumah Hanin, sebab aku jarang berada di rumah. Ah, aku sudah lama nggak menyapanya. “Teman-teman, kita sampai!” seru Reyvan. Alunan musik pun perlahan berhenti selagi ia memarkirkan mobil. Begitu keluar dari mobil, aku b
Melalui jendela kecil Ruang VIP, Angkara melihat cinta pertamanya terkulai lemas. Untuk pertama kalinya, perasaan damainya terusik oleh kekalutan. Belum lagi Hanindita yang tidak berhenti menangis menyesali perbuatannya membuat suasana lebih tegang. Berulang kali Angkara menggosokkan tangan yang berkeringat. Di pikirannya hanyalah Meydisha, Meydisha, dan Meydisha. Disha bertahanlah, kamu kuat. Sementara sosok kakak tingkat yang enggan Angkara anggap sebagai seniornya, tidak berhenti memarahi pacarnya sendiri. “Tidak bisa, Kamu harus bertanggung jawab! Aku akan melaporkanmu! Kalau dibiarkan kamu bisa mencelakai orang lain lagi!” oceh Reyvan sambil mencoba menyeret paksa Hanin. Angkara mengum
“Hanindita! Hanin! Buka pintunya!” Angkara menggedor pintu sekeras mungkin. Setelah mencoba beberapa kali tetapi tidak ada jawaban dari Hanin, giliran Pak Taruna yang memanggil Hanin dengan suara agak lantang. “Bagaimana kalau kita dobrak saja?” seru salah satu dari dua anak buahnya. “Benar, supaya kita segera tahu apa yang terjadi di dalam!” balas anak buah yang lainnya. Pak Taruna menoleh ke arah Angkara yang kebingungan. “Coba kamu telepon sekali lagi! Jika ia tidak juga menjawab, kita terpaksa mendobrak paksa.” Perintah Pak Taruna. Angkara mengangguk lalu mencoba menghubungi kembali Hanin. Sudah dua kali dengungan, belum ada jawaban. Dan pada dengungan ketiga... “Halo, Angkara” “Halo, Hanin? Kamu di rumah? Kamu baik-baik saja, kan? Apa sesuatu yang buruk terjadi?” “Aku dalam perjalanan ke rum
Hawa dingin merasuk ke dalam kulitku. Meski begitu, aku tidak sampai menggigil. Sebab, nyatanya terselubung rasa sejuk yang mendamaikan pikiran di saat mataku masih terpejam. Indera pendengaranku mulai menangkap kicauan merdu para burung yang di mimpiku sedang berjemur mesra bersama mentari pagi. Samar-samar terdengar deru ombak seperti sedang menyapu pesisir pantai. Untuk sepersekian detik, aku berhasil dikelabui oleh alam, kasur yang empuk, dan selimut tebal. Meydisha bodoh! kamu bukan sedang berlibur, tetapi diculik! Jiwaku tersentak dan mataku langsung membelalak. Semua yang kurasakan nyata. Terbaring di tengah kamar yang akan terhubung langsung dengan hutan apabila tidak dibatasi oleh kaca raksasa transparan berbalut gorden warna keemasan. Sekarang, aku mencoba bangun. Namun, malah suara tulangku yang terdengar.Argh. Tangga beton sialan. Kapan tulang ekorku bisa sembuh? Sudah berapa lama aku berada di tem
“Sampai kapan pun, kamu nggak akan bisa menggenggam jiwaku!” tegasku. “Bagaimana bila kubeli dengan nyawa ayahmu?” Tanganku mengepal. Sumpah, aku ingin sekali menonjok wajahnya. “Jangan berani menyentuh ayahku!” perintahku. Ia malah mengelus lembut pipiku, “Semua tergantung padamu.” Bisiknya. Mataku memerah, deru napasku sudah tak beraturan.PRAANGG! Kuhantam keras nampan yang ada di sampingku. Mangkuk dan gelas menjadi hancur berkeping-keping. Air dan bubur sudah menyatu menggenangi lantai. Reyvan tampak kaget sejenak. “Kupikir kamu tidak akan mau melihat tubuh ayahmu hancur berkeping seperti ini. Ah, dan gajah jelek di kebun binatang itu.” Ucapnya santai. Air mataku mengalir deras. Aku tidak bisa menahannya lagi. Tampaknya, isakkanku juga mengganggunya sebab ia langsung serpihan beling dan m
Hari kelima sejak berita hilangnya Meydisha tersiar ke seluruh penjuru negeri. Termasuk Angkara dan pihak kepolisian yang kewalahan sebab tidak henti-hentinya didatangi media. Awak media menargetkan Angkara yang memaksakan diri untuk keluar di rumah sakit begitu lukanya selesai dijahit. Semua menjadi kacau ketika rekaman CCTV dari rumah sakit sengaja disebarkan oleh Penulis Arkais palsu sebagai perintah dari Reyvan Purnama. Penulis Arkais yang sesungguhnya itu memang menghendaki mereka semua kehilangan fokus dalam mencari Meydisha. Reyvan juga menyuruh Penulis Arkais palsu membuat beberapa artikel manipulatif yang membuat seolah Angkara dan pihak kepolisian sengaja menutupi bahaya yang mengintai Meydisha. Selain itu, rumor-rumor buruk tentang Angkara. Ia dituduh menjadi mucikari, melecehkan, memanfaatkan, bahkan membunuh Meydisha. Angkara merangkapkan kedua jarinya menjadi sebuah genggaman keras di atas lututnya, menunduk lesu di ruang rapat
Aku sudah duduk tegak di depan layar laptop yang sudah menampilkan halaman kepenulisan Penulis Arkais. Sementara Kak Reyvan mengawasiku dari belakang. Dengan sedikit kikuk, kuletakkan jari jemariku di atas papan keyboard. Tapi tak lama setelah itu, aku mengangkat kembali telapak tanganku dan berbalik ke arahnya. “Kenapa kakak tidak segera menghapus saja Novel ini? Kakak ‘kan sudah berhasil mendapatkanku. Buat apa kakak meneruskannya?” Protesku. Ia terkekeh. “Kamu bodoh? Setiap cerita harus memiliki akhir. Jika aku menghapusnya begitu saja, kisah kita akan menjadi teori konspirasi abadi.” Cetusnya. Aku mendengus. “Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kamu malah ingin menulis bab terbaru novel ini? Bukankah tujuanmu adalah menghentikan ceritanya?” Kak Reyvan balik bertanya. Aku terdiam sejenak, memikirkan alibi yang masuk akal. “Tujuanku menghentikanmu, bukan ceritanya.” Tegasku lalu kembali berbalik ke laptop.