Derum mesin mobil terdengar. Alunan musik bernada musim panas menemani perjalanan singkat dan membuat Hanin tidak berhenti menari-nari kecil. Sepertinya, saja yang tidak punya kerjaan. Selain memandangi senyuman Reyvan yang khas dan sedikit aneh. Sungguh, dia tersenyum seperti itu sepanjang perjalanan kami.
Siang ini, kami memutuskan untuk mengunjungi kebun binatang terdekat. Karena aku dan Hanin sama-sama menyukai hewan. Kalian tahu? Kami sudah membesarkan seekor kura-kura selama tiga bulan terakhir, Gery namanya. Gery sengaja kubiarkan tinggal di rumah Hanin, sebab aku jarang berada di rumah. Ah, aku sudah lama nggak menyapanya. “Teman-teman, kita sampai!” seru Reyvan. Alunan musik pun perlahan berhenti selagi ia memarkirkan mobil. Begitu keluar dari mobil, aku bMelalui jendela kecil Ruang VIP, Angkara melihat cinta pertamanya terkulai lemas. Untuk pertama kalinya, perasaan damainya terusik oleh kekalutan. Belum lagi Hanindita yang tidak berhenti menangis menyesali perbuatannya membuat suasana lebih tegang. Berulang kali Angkara menggosokkan tangan yang berkeringat. Di pikirannya hanyalah Meydisha, Meydisha, dan Meydisha. Disha bertahanlah, kamu kuat. Sementara sosok kakak tingkat yang enggan Angkara anggap sebagai seniornya, tidak berhenti memarahi pacarnya sendiri. “Tidak bisa, Kamu harus bertanggung jawab! Aku akan melaporkanmu! Kalau dibiarkan kamu bisa mencelakai orang lain lagi!” oceh Reyvan sambil mencoba menyeret paksa Hanin. Angkara mengum
“Hanindita! Hanin! Buka pintunya!” Angkara menggedor pintu sekeras mungkin. Setelah mencoba beberapa kali tetapi tidak ada jawaban dari Hanin, giliran Pak Taruna yang memanggil Hanin dengan suara agak lantang. “Bagaimana kalau kita dobrak saja?” seru salah satu dari dua anak buahnya. “Benar, supaya kita segera tahu apa yang terjadi di dalam!” balas anak buah yang lainnya. Pak Taruna menoleh ke arah Angkara yang kebingungan. “Coba kamu telepon sekali lagi! Jika ia tidak juga menjawab, kita terpaksa mendobrak paksa.” Perintah Pak Taruna. Angkara mengangguk lalu mencoba menghubungi kembali Hanin. Sudah dua kali dengungan, belum ada jawaban. Dan pada dengungan ketiga... “Halo, Angkara” “Halo, Hanin? Kamu di rumah? Kamu baik-baik saja, kan? Apa sesuatu yang buruk terjadi?” “Aku dalam perjalanan ke rum
Hawa dingin merasuk ke dalam kulitku. Meski begitu, aku tidak sampai menggigil. Sebab, nyatanya terselubung rasa sejuk yang mendamaikan pikiran di saat mataku masih terpejam. Indera pendengaranku mulai menangkap kicauan merdu para burung yang di mimpiku sedang berjemur mesra bersama mentari pagi. Samar-samar terdengar deru ombak seperti sedang menyapu pesisir pantai. Untuk sepersekian detik, aku berhasil dikelabui oleh alam, kasur yang empuk, dan selimut tebal. Meydisha bodoh! kamu bukan sedang berlibur, tetapi diculik! Jiwaku tersentak dan mataku langsung membelalak. Semua yang kurasakan nyata. Terbaring di tengah kamar yang akan terhubung langsung dengan hutan apabila tidak dibatasi oleh kaca raksasa transparan berbalut gorden warna keemasan. Sekarang, aku mencoba bangun. Namun, malah suara tulangku yang terdengar.Argh. Tangga beton sialan. Kapan tulang ekorku bisa sembuh? Sudah berapa lama aku berada di tem
“Sampai kapan pun, kamu nggak akan bisa menggenggam jiwaku!” tegasku. “Bagaimana bila kubeli dengan nyawa ayahmu?” Tanganku mengepal. Sumpah, aku ingin sekali menonjok wajahnya. “Jangan berani menyentuh ayahku!” perintahku. Ia malah mengelus lembut pipiku, “Semua tergantung padamu.” Bisiknya. Mataku memerah, deru napasku sudah tak beraturan.PRAANGG! Kuhantam keras nampan yang ada di sampingku. Mangkuk dan gelas menjadi hancur berkeping-keping. Air dan bubur sudah menyatu menggenangi lantai. Reyvan tampak kaget sejenak. “Kupikir kamu tidak akan mau melihat tubuh ayahmu hancur berkeping seperti ini. Ah, dan gajah jelek di kebun binatang itu.” Ucapnya santai. Air mataku mengalir deras. Aku tidak bisa menahannya lagi. Tampaknya, isakkanku juga mengganggunya sebab ia langsung serpihan beling dan m
Hari kelima sejak berita hilangnya Meydisha tersiar ke seluruh penjuru negeri. Termasuk Angkara dan pihak kepolisian yang kewalahan sebab tidak henti-hentinya didatangi media. Awak media menargetkan Angkara yang memaksakan diri untuk keluar di rumah sakit begitu lukanya selesai dijahit. Semua menjadi kacau ketika rekaman CCTV dari rumah sakit sengaja disebarkan oleh Penulis Arkais palsu sebagai perintah dari Reyvan Purnama. Penulis Arkais yang sesungguhnya itu memang menghendaki mereka semua kehilangan fokus dalam mencari Meydisha. Reyvan juga menyuruh Penulis Arkais palsu membuat beberapa artikel manipulatif yang membuat seolah Angkara dan pihak kepolisian sengaja menutupi bahaya yang mengintai Meydisha. Selain itu, rumor-rumor buruk tentang Angkara. Ia dituduh menjadi mucikari, melecehkan, memanfaatkan, bahkan membunuh Meydisha. Angkara merangkapkan kedua jarinya menjadi sebuah genggaman keras di atas lututnya, menunduk lesu di ruang rapat
Aku sudah duduk tegak di depan layar laptop yang sudah menampilkan halaman kepenulisan Penulis Arkais. Sementara Kak Reyvan mengawasiku dari belakang. Dengan sedikit kikuk, kuletakkan jari jemariku di atas papan keyboard. Tapi tak lama setelah itu, aku mengangkat kembali telapak tanganku dan berbalik ke arahnya. “Kenapa kakak tidak segera menghapus saja Novel ini? Kakak ‘kan sudah berhasil mendapatkanku. Buat apa kakak meneruskannya?” Protesku. Ia terkekeh. “Kamu bodoh? Setiap cerita harus memiliki akhir. Jika aku menghapusnya begitu saja, kisah kita akan menjadi teori konspirasi abadi.” Cetusnya. Aku mendengus. “Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kamu malah ingin menulis bab terbaru novel ini? Bukankah tujuanmu adalah menghentikan ceritanya?” Kak Reyvan balik bertanya. Aku terdiam sejenak, memikirkan alibi yang masuk akal. “Tujuanku menghentikanmu, bukan ceritanya.” Tegasku lalu kembali berbalik ke laptop.
Kepalaku dibenturkan berkali-kali ke kaki ranjang. Aku sudah lemas, seribu kali lemas. Lengkingan putus asa tertangkap di telinga. Kurasakan darah segar mengalir dari pelipisku, turun ke pipi dengan perih yang teramat sangat. Ia berhenti dan aku masih memegang kesadaran meski mataku sudah hampir terpejam. “Ini tidak benar. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi dariku. Aku harus memotong kakimu!” Mendengar ancamannya. Kesadaranku meningkat tajam. Mataku membelalak, aku takut. Aku takut dia benar-benar akan melakukannya. Karena dia adalah psikopat gila. Ketika ia mencoba beranjak, aku langsung menguatkan diriku untuk menarik kedua bahunya. Kutarik dia dalam pelukanku. Memeluknya erat sambil terisak. Bajunya menjadi basah karena tangisku. “Aku tidak akan pergi. Kumohon, jangan. Aku ingin berjalan di sampingmu. Kumohon.” Rintihku. Aku sukses membuatnya tak bergeming untuk se
Menelisik ke dalam hutan dengan pepohonan rimbun. Sebuah lubang berhasil tercipta oleh kecerobohan salah satu polisi yang datang ke pulau bersama Pak Taruna. Akibatnya, sepatunya terjebak di penjara bawah tanah dan membangunkan singa yang lapar. Sementara Pak Taruna bersama dua orang anak buah lainnya harus berpencar dan bersembunyi di balik semak-semak belukar dan tempat yang dirasa aman dari target mereka, Penulis Arkais. Beberapa menit sebelumnya, Pak Taruna bersama timnya mulai memasuki pulau dan bersama-sama memaksimalkan kelima indera mereka. “Hati-hati dengan jebakan! Perhatikan setiap langkah yang kalian ambil. Jika ada yang mencurigakan, langsung beri sinyal!” perintah Pak Taruna. Semua anak buahnya serentak setuju. Sebelum akhirnya anggota termuda dari tim mereka memberikan sinyal dengan mengangkat tangannya untuk berhenti. Semua anggota menghentikan langkah mereka. Anggota termuda itu menatap tumpukkan rumput