Menelisik ke dalam hutan dengan pepohonan rimbun. Sebuah lubang berhasil tercipta oleh kecerobohan salah satu polisi yang datang ke pulau bersama Pak Taruna. Akibatnya, sepatunya terjebak di penjara bawah tanah dan membangunkan singa yang lapar. Sementara Pak Taruna bersama dua orang anak buah lainnya harus berpencar dan bersembunyi di balik semak-semak belukar dan tempat yang dirasa aman dari target mereka, Penulis Arkais.
Beberapa menit sebelumnya, Pak Taruna bersama timnya mulai memasuki pulau dan bersama-sama memaksimalkan kelima indera mereka. “Hati-hati dengan jebakan! Perhatikan setiap langkah yang kalian ambil. Jika ada yang mencurigakan, langsung beri sinyal!” perintah Pak Taruna. Semua anak buahnya serentak setuju. Sebelum akhirnya anggota termuda dari tim mereka memberikan sinyal dengan mengangkat tangannya untuk berhenti. Semua anggota menghentikan langkah mereka. Anggota termuda itu menatap tumpukkan rumputBYUURRR! Terlalu dingin dan sesak untuk bertahan. Raga Meydisha berhenti bergerak, tubuhnya semakin turun dan berayun ke dalam. Di bawah sana, kegelapan telah siap melahapnya. Meydisha tidak akan menyesal karena memiliki akhir yang tragis. Bahkan meski ia tercabik-cabik oleh lautan, setidaknya ia telah memilih jalan yang memang menjadi pilihannya. Apa yang akan datang akan selalu tepat pada waktunya. Secerca cahaya selalu ada mengikuti kegelapan. Terdengar suara permukaan langit yang retak sebab akhirnya langit mengirimkan putranya. Ya, Angkara Langit Putra. Dengan sekuat tenaga, ia berenang melawan arus. Tubuhnya meliuk-meliuk dengan andal. Tekadnya semakin besar begitu ia melihat siluet tubuh Meydisha perlahan terbenam. Rasa sesak dan pegal mulai mendera tubuhnya, tetapi ia tidak akan kalah oleh semua rasa sakit. Baginya, Meydisha harus tetap hidup. Meydisha harus bertahan. Meydisha harus merasakan kebahagi
Kurasakan tubuhku naik turun senada dengan langkah kakinya. Aku menyayangkan kenapa harus terbangun sesingkat ini. Mungkin karena langkah kakinya melambat? “Angkara...” “Loh? Kenapa sudah bangun?” tanyanya heran. “Kita mau ke mana?” Karena masih betah di pundaknya, aku bertanya tanpa mendongakkan kepala. “Ke rumah Reyvan.” Mendengar jawabannya sontak saja aku membelalak kaget. “Turunkan aku! Aku nggak sudi ke sana lagi!” protesku sambil menyentak-nyentakkan kaki. “Tenanglah bayi besar. Tidak ada Reyvan di sana. Pak Taruna dan timnya menyuruh kita ke sana.” Aku terdiam, malu sekali rasanya sudah merengek seperti bayi. MALUUUU. “Kamu yakin nggak ada jebakan di sana?” tanyaku memastikan. Angkara menggeleng singkat. Entah apa yang membuatnya pendiam, tapi aku merasa mood-nya agak berubah. Apalagi saat Pak Taruna menyambut kami dengan cemas. Aku menyuruh Angkara menurunkanku dan ia menurut. Kulihat beberapa anggotany berjaga dan mengelili
Tidak butuh waktu lama, Pak Taruna meninggalkan kami berdua dengan membawa kamera itu. Angkara kembali menghampiriku. Menyimpan barang-barang yang diberikan Pak Taruna ke atas kasur. Kemudian kedua lututnya dijatuhkan tepat di bawahku, ia meraih kembali kedua telapak tanganku dengan tatapan seperti seseorang pembawa pesan perdamaian, haha. “Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya lembut. “Semuanya. Semakin aku tahu ayahku dekat dengan Kak Reyvan, aku semakin khawatir. Kita tidak pernah tahu apa yang dipikirkan si keparat itu. Terlebih lagi, aku tidak tahu dia menganggapku sudah mati atau belum. Keberadaanku adalah keputusannya.” Ujarku dengan kalut. “Kamu nggak bisa mengendalikan semuanya, Disha. Biarkan takdir yang bekerja, ya? Takdir nggak akan pernah salah.” Sudut bibirku sedikit tertarik ke atas. Sudah kubilang, siapa yang akan cemberut bila melihat Angkara sedang mode malaikat. Anggukanku menandakan bahwa aku lulu
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menutup siaran langsung. Lalu disusul telepon masuk dari Hanin, ya ampun anak ini. Aku tahu dia yang paling kebingungan atas apa yang terjadi tapi dia tidak pernah menanyakan apa pun sebab menurutnya, ada alasan besar yang tak berhak dia ketahui. Kuangkat teleponnya dan menempelkan ponsel Angkara ke telinga, “Hai, gadis kopi!” “Dishaa, ini benar-benar Disha, ‘kan? Apa kamu terluka? Kamu baik-baik saja, ‘kan? Kamu di mana sekarang? Kamu dan Angkara berada di tempat yang aman, ‘kan?” “Ya ampun, satu-satu. Aku benar-benar aman, Hanin. Sepertinya, lusa aku juga akan kembali ke Universitas Dandelion. Ada banyak hal yang kuurus, tapi aku akan menyempatkan diri ke Universitas Dandelion supaya tidak ada rumor-rumor konyol lagi yang menyakitimu dan Angkara.” “Aku sangat lega, Disha. Umm, ternyata hari di mana Kak Reyvan membawamu, ia sudah resmi keluar dari Universitas Dand
PLAK!PLAK!PLAK! Rasa perih teramat sangat mendera kedua pipiku. Ia mendorongku ke lantai, membuat punggungku menghantam besi berkarat. Linu. Rasanya tulang punggungku hampir patah. Aku mencoba merangkak, tetapi dia menginjak kakiku dengan keras. Eranganku lebih memilukan dari tangisku, rasa sakit jilid keseribu dimulai karena sekarang ia menekan kakinya keras-keras di dadaku. “Memohonlah gadis nakal!” Suara menjijikannya menimbulkan hasrat bangkitku melambung. Kudorong tubuhku untuk setengah bangun dan menggigit kakinya sedalam mungkin, tanpa kutahan sedikit pun. Ia menjerit dan melepaskan kakinya dari tubuhku. Aku beringsut dan melemparkan semua benda yang ada di sampingku ke arahnya. Tanpa kusangka, aku melemparkan tongkat bisbol tepat ke kepalanya. Bisa dipastikan, ia kewalahan menahan diri untuk tidak pingsan. Kuambil kesempatan emas ini untuk terus maju meski harus terseok-seok.
PRANGGG! Kerangka besi penutup itu terjatuh begitu saja. Kini, aku bisa melihat satu-satunya mobilku terparkir dengan beberapa peralatan perawatan mobil tergantung di dindingnya. Saat aku menundukkan kepalaku untuk keluar, tiba-tiba sepasang kaki mendekat dan berhenti tepat di hadapanku. Seluruh tubuhku membeku. Aku sudah tahu siapa si pemilik kaki. Oleh karena itu, aku tidak sanggup mengangkat kepalaku lagi. Kudorong tubuhku sekuat tenaga ke dalam ventilasi. Namun kakiku tidak bisa lari dari cengkeraman kuatnya. Meski begitu, kuandalkan lututku untuk terus bergerak. Namun, monster itu tidak menyerah menarikku keluar. Dalam sekali tarikkan terakhir, dia berhasil mendapatkanku kembali. “Kenapa kamu begitu bebal? Padahal aku benar-benar menyayangimu.” Protesnya sambil menarik kerah belakang bajuku. Belum sempat aku mengelak, seseorang menabrak kami dengan keras. Tepatnya menyambar Kak Reyvan dan m
Kak Reyvan bangun dengan senyum merekah. Dia tampak sangat puas dengan sikap Angkara. Dengan tertatih, Kak Reyvan menghampiri dan meraih tanganku. Ia mencoba menarikku keluar sedangkan aku hanya bisa menatap Angkara dengan sorot mata memohon. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan. Hidupku memanglah mimpi buruk. Mimpi buruk yang akan berakhir hanya jika aku mati. Kak Reyvan membuka pintu garasi dan mencoba mendorongku keluar lebih dulu. Tiba-tiba, keributan kembali terjadi. Angkara menutup kepala Kak Reyvan dengan karung yang besar dan menyodorkan tali kepadaku. Langsung saja kulilitkan tali itu ke tubuh Kak Reyvan. Kulihat Angkara menahan tubuh Kak Reyvan yang terus meronta-ronta. Selesai. Aku mengikatnya dengan sempurna. Namun, aku tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan Angkara.“Ambil persediaan bensin.” Perintah Angkara.Aku menganga mendengar perintahnya. Namun, melihatnya berusaha keras menahan Kak Reyvan membuatku tidak berhak untuk menolak. Langsung saja kuambil bensin da
“DISHA!!!!!!” Aku berbalik. Tampak Kak Laras dan Hanindita datang bersamaan dan berlari kencang ke arahku. Mereka langsung memelukku dengan erat. Memeriksa tubuhku untuk memastikan bahwa aku dalam keadaan baik, kemudian ikut memapahku ke mobil ambulan. Setelah melalui hari-hari yang dingin dan menyakitkan, setelah menghabiskan jutaan tetes air mata, akhirnya aku bisa merasakan arunika mulai merengkuh duniaku kembali. Kini, aku dan Angkara berseberangan dengan damai di mobil ambulan masing-masing. Kupandangi sumber utama keajaiban dalam hidupku yang lukanya tengah dibalut. Kusertai doa pada setiap balutannya. Berulang kali kuterbangkan rasa syukur pada Tuhan karena telah berbagi eloknya langit padaku. Lukanya telah selesai diobati. Dua orang tim medis itu mempersilahkannya beristirahat. Namun, bola matanya malah menangkap basah aku yang sedang memandanginya di mobil ambulan lain. Bibirnya bergerak tanpa suara, membentuk suatu kalimat yang barangkali