“DISHA!!!!!!” Aku berbalik. Tampak Kak Laras dan Hanindita datang bersamaan dan berlari kencang ke arahku. Mereka langsung memelukku dengan erat. Memeriksa tubuhku untuk memastikan bahwa aku dalam keadaan baik, kemudian ikut memapahku ke mobil ambulan. Setelah melalui hari-hari yang dingin dan menyakitkan, setelah menghabiskan jutaan tetes air mata, akhirnya aku bisa merasakan arunika mulai merengkuh duniaku kembali. Kini, aku dan Angkara berseberangan dengan damai di mobil ambulan masing-masing. Kupandangi sumber utama keajaiban dalam hidupku yang lukanya tengah dibalut. Kusertai doa pada setiap balutannya. Berulang kali kuterbangkan rasa syukur pada Tuhan karena telah berbagi eloknya langit padaku. Lukanya telah selesai diobati. Dua orang tim medis itu mempersilahkannya beristirahat. Namun, bola matanya malah menangkap basah aku yang sedang memandanginya di mobil ambulan lain. Bibirnya bergerak tanpa suara, membentuk suatu kalimat yang barangkali
Aku berjalan keluar dari ruangan pengap itu setelah Pak Taruna berulang kali mengatakan aku melakukannya dengan sangat baik. Sebuah penghiburan tulus bagi seorang anak yang dihadapkan situasi menyedihkan. Namun, rasanya helaan napasku masih terasa berat sehingga aku tidak bisa berjalan dengan baik. Kepalaku tertunduk menatap ubin lantai yang kuinjak tanpa meninggalkan bekas sepatu. Kuputuskan untuk menuju toilet dulu hanya untuk sekadar membasuh muka. Sebab air selalu memberikan ketenangan. Derap sepatuku menggema di lorong menuju toilet. Lorong itu sangat sepi. Mungkin karena para polisi terlalu sibuk, jadi aktivitas di kamar mandi bisa saja dilupakan. Dinding-dindingnya yang kusam membuatku bertanya-tanya sudah berapa lama kantor ini dibangun? Aku bisa melihat dua ruangan menjorok dan bersebelahan. Sepertinya yang satu toilet laki-laki dan yang satunya lagi toilet perempuan. Kupercepat langkahku sebab hawa dingin semakin menusuk. Saat
“Kita sudah sepakat, ‘kan? Kami tidak akan menuntutmu ke polisi, jika kamu mau memberitahu publik akan berhenti menulis novel.” Desak Angkara di depan Penulis Arkais palsu. Sementara Penulis Arkais palsu tampak gugup dan kikuk, aku memandangi Angkara dari samping. Melihat tingkahnya yang sudah seperti bos besar. Tangan dilipatkan ke dada, kepala yang dimiring-miringkan, dan kaki kanan yang bertumpu di atas paha. Belum lagi, smirk yang ditorehkannya. Benar-benar hari yang sulit. Kuambil kamera Canon 1100D dan mengarahkannya pada Penulis Arkais Palsu. “Santai saja. Beritahu pembacamu bahwa selama ini tulisanmu 100% fiksi dan kamu harus menghapus novel itu karena dianggap akan menyinggung perasaan korban. Romansa di tengah derita benar-benar tidak sopan.” Intruksiku singkat, padat, dan jelas. Ia tampak menelan ludah, tetapi kemudian mengangguk setuju. Lampu LED mungil berwarna merah pun menyala sebagai tanda terekamnya akhir dari Novel Bara Arkais. Penghapusan merupakan jalan terbai
Suara berdecit terdengar bersamaan dengan terhentinya laju kami. Angkara turun lebih dulu sebelum akhirnya mengulurkan tangannya untuk membantuku. Kami berlari kecil menuju tepi trotoar di bawah sebuah pohon rimbun. “Sudah kubilang, pakai motorku saja. Pasti kita akan cepat sampai. Kamu juga hampir basah ‘kan jadinya.” Omel Angkara sembari menepuk-nepuk seragam Universitas Dandelionku. “Aku benar-benar ingin naik sepeda, Angkara.” Tegasku. “Kenapa?” tanyanya. Dahinya mengernyit keheranan sementara aku mendengus kesal. “Dengan begitu, aku seperti menjadi remaja pada umumnya. Selama ini, aku hanya naik mobil mewah dan motor gedemu. Aku juga tidak pernah menelisik jalanan kota menuju ke Universitas Dandelion sebab seringkali tertidur dalam perjalanan. Hingga aku merasa kemarin adalah titik terberat di hidupku,” Suasana hatiku memburuk, tanpa sadar aku malah tidak bisa mengendalikan omelanku. “Disha, aku...” “Di saat gelak tawa gadis-gadis seusiaku memenuhi ruang kelas dan kantin, a
“Angkara, kamu benar-benar akan melakukannya?” tanyaku memastikan.Ia menoleh ke arahku dengan tersenyum lebar.“Aku harus menjadi monster yang ditakdirkan untukmu.”Aku mengangguk. Kami berjalan mundur sambil menumpahkan bensin hingga ke luar garasi. Kami hanya tinggal menyulutkan api dan membiarkannya menghabisi Kak Reyvan.“Lakukanlah.”Sebelum Angkara menjatuhkan pematik yang menyala, ia menarik pinggangku. Satu kecupan dalam mendarat di pelipisku. Namun setelah, itu ia justru memasukkan pematiknya lagi ke saku. “Apa yang kamu pikirkan dan kenapa kamu tersenyum, Disha?” tanya Angkara sambil berbalik menjauhi garasi. Aku mengikuti Angkara dengan terheran-heran, “Bukankah kamu akan membakarnya hidup-hidup?” tanyaku. Ia malah bergidik ngeri. “Kamu pikir aku monster?” Aku menariknya lengannya supaya ia berhenti sejenak. “Kamu bilang kamu mau jadi monster untukku? Kamu akan pergi dariku?” tanyaku dengan tegang. Ia menghela napas panjang. Menghadap ke arahk
“Okey. Sekarang aku ingin tahu tentang pekerjaanmu. Kamu menyelesaikan project dengan baik, kan? Kudengar comeback dari grup idola papan atas sedang kamu tangani.”Angkara memasukan kedua tangannya ke saku toga. “Ya … kadang kala, kepalaku ingin meledak.”“Kenapa?”“Aku tidak bisa menahan diri untuk membuat musik secara sempurna. Saat kuulang lagunya dari awal, aku merasa selalu ada yang kurang,” keluh Angkara.Melihat kesenduannya membuat hatiku ikut merasa sakit. Anak ini telah berusaha keras. Jadi, sudah sepatutnya kulayangkan belaian lembut di satu sisi rambutnya.“Kamu tidak harus melakukannya dengan sempurna, Sayang. Yang penting, semua orang bisa merasakan apa yang lagumu sampaikan. Kamuu telah berusaha dengan baik,” pujiku.“Benarkah?”“Tentu saja, Pak Produser Tampan!”Alarm kampus berbunyi nyaring. Pertanda acara wisuda bakal segera digelar.Angkara menorehkan senyum terbaiknya, lalu meraih tanganku dalam genggamannya.“Ayo kita selesaikan salah satu momen terbaik dalam hidu
Di belahan dunia lain, hujan badai mengguyur Kota New York. Kilatan petir terpampang nyata di balik sebuah kaca besar di mana seorang lelaki berdiri tegap. Ia menyilangkan tangan sembari menikmati pemandangan itu.Langit yang bergemuruh rasanya sangat mewakili apa yang teredam di jiwanya.“Bagaimana kondisimu, Reyvan Purnama? Mentalmu baik-baik saja? Kau harus mempersiapkannya untuk besok,” ujar pria jangkung lain yang datang bergabung. Ia menjatuhkan diri ke sofa, lalu menyicipi kopi milik Reyvan.“Kau sudah mencaritahu kabar tentang mereka?” Daripada menjawab pria itu, Reyvan memilih balik bertanya.“Ah, bintang model dari Indonesia itu? Meydisha telah dipersunting seorang aktor rookie, siapa ya ... ah! Angkara langit putra. Dia terbilang sukses di film debut pertamanya tiga bulan yang lalu, mungkin karena punya tampang rupawan kali ya.” “Daniel, mereka orang-orang yang berhubungan denganku setahun yang lalu,” beber Reyvan, memelas.“Hah?” Pria bernama Daniel itu memuncratkan kopi,
“Wah! Lihatlah siapa yang baru lahir kembali.” Daniel terkesima mengamati refleksi seorang Reyvan Purnama di cermin big size.“Kau yakin topeng kulit ini takkan merusak wajahku?” Dibanding ikut terkesima, Reyvan malah khawatir. Ia meraba-raba perawakannya yang sedikit berbeda di depan cermin. Kulit wajahnya keriput, potongan rambut yang semula trendi kini berganti jadi keriting berkupluk. Kumis dan janggut palsu yang lebat menambah kesan lelaki tua yang maskulin. Reyvan juga membuat alisnya tampak tebal.Gaya berpakaian? Tentu saja disulap sekasual mungkin layaknya sutradara. Ia cukup memakai jaket bomber, celana oversize, serta sepatu sport.“Tenang saja, topeng itu terbuat dari bahan sistesis berkualitas tinggi. Karena harganya pun selangit, aku yakin itu akan baik-baik saja. Kalau sesuatu terjadi, beritahu aku. Ini ada garansi resminya.” Daniel meyakinkan.“Baiklah, aku bisa mempercayaimu.” Reyvan merapikan kerah kemeja bagian dalam sebagai sentuhan terakhir untuk urusan penampila