Beranda / Thriller / Digilai Psikopat / Penghiburan Kecil

Share

Penghiburan Kecil

Penulis: Secret Dita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-30 18:52:07

Aku berjalan keluar dari ruangan pengap itu setelah Pak Taruna berulang kali mengatakan aku melakukannya dengan sangat baik. Sebuah penghiburan tulus bagi seorang anak yang dihadapkan situasi menyedihkan. Namun, rasanya helaan napasku masih terasa berat sehingga aku tidak bisa berjalan dengan baik. Kepalaku tertunduk menatap ubin lantai yang kuinjak tanpa meninggalkan bekas sepatu.

Kuputuskan untuk menuju toilet dulu hanya untuk sekadar membasuh muka. Sebab air selalu memberikan ketenangan.

Derap sepatuku menggema di lorong menuju toilet. Lorong itu sangat sepi. Mungkin karena para polisi terlalu sibuk, jadi aktivitas di kamar mandi bisa saja dilupakan. Dinding-dindingnya yang kusam membuatku bertanya-tanya sudah berapa lama kantor ini dibangun?

Aku bisa melihat dua ruangan menjorok dan bersebelahan. Sepertinya yang satu toilet laki-laki dan yang satunya lagi toilet perempuan. Kupercepat langkahku sebab hawa dingin semakin menusuk.

Saat
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Digilai Psikopat   Nightmare

    “Kita sudah sepakat, ‘kan? Kami tidak akan menuntutmu ke polisi, jika kamu mau memberitahu publik akan berhenti menulis novel.” Desak Angkara di depan Penulis Arkais palsu. Sementara Penulis Arkais palsu tampak gugup dan kikuk, aku memandangi Angkara dari samping. Melihat tingkahnya yang sudah seperti bos besar. Tangan dilipatkan ke dada, kepala yang dimiring-miringkan, dan kaki kanan yang bertumpu di atas paha. Belum lagi, smirk yang ditorehkannya. Benar-benar hari yang sulit. Kuambil kamera Canon 1100D dan mengarahkannya pada Penulis Arkais Palsu. “Santai saja. Beritahu pembacamu bahwa selama ini tulisanmu 100% fiksi dan kamu harus menghapus novel itu karena dianggap akan menyinggung perasaan korban. Romansa di tengah derita benar-benar tidak sopan.” Intruksiku singkat, padat, dan jelas. Ia tampak menelan ludah, tetapi kemudian mengangguk setuju. Lampu LED mungil berwarna merah pun menyala sebagai tanda terekamnya akhir dari Novel Bara Arkais. Penghapusan merupakan jalan terbai

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-04
  • Digilai Psikopat   Pesta Kecil

    Suara berdecit terdengar bersamaan dengan terhentinya laju kami. Angkara turun lebih dulu sebelum akhirnya mengulurkan tangannya untuk membantuku. Kami berlari kecil menuju tepi trotoar di bawah sebuah pohon rimbun. “Sudah kubilang, pakai motorku saja. Pasti kita akan cepat sampai. Kamu juga hampir basah ‘kan jadinya.” Omel Angkara sembari menepuk-nepuk seragam Universitas Dandelionku. “Aku benar-benar ingin naik sepeda, Angkara.” Tegasku. “Kenapa?” tanyanya. Dahinya mengernyit keheranan sementara aku mendengus kesal. “Dengan begitu, aku seperti menjadi remaja pada umumnya. Selama ini, aku hanya naik mobil mewah dan motor gedemu. Aku juga tidak pernah menelisik jalanan kota menuju ke Universitas Dandelion sebab seringkali tertidur dalam perjalanan. Hingga aku merasa kemarin adalah titik terberat di hidupku,” Suasana hatiku memburuk, tanpa sadar aku malah tidak bisa mengendalikan omelanku. “Disha, aku...” “Di saat gelak tawa gadis-gadis seusiaku memenuhi ruang kelas dan kantin, a

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-04
  • Digilai Psikopat   Pada Kenyataannya

    “Angkara, kamu benar-benar akan melakukannya?” tanyaku memastikan.Ia menoleh ke arahku dengan tersenyum lebar.“Aku harus menjadi monster yang ditakdirkan untukmu.”Aku mengangguk. Kami berjalan mundur sambil menumpahkan bensin hingga ke luar garasi. Kami hanya tinggal menyulutkan api dan membiarkannya menghabisi Kak Reyvan.“Lakukanlah.”Sebelum Angkara menjatuhkan pematik yang menyala, ia menarik pinggangku. Satu kecupan dalam mendarat di pelipisku. Namun setelah, itu ia justru memasukkan pematiknya lagi ke saku. “Apa yang kamu pikirkan dan kenapa kamu tersenyum, Disha?” tanya Angkara sambil berbalik menjauhi garasi. Aku mengikuti Angkara dengan terheran-heran, “Bukankah kamu akan membakarnya hidup-hidup?” tanyaku. Ia malah bergidik ngeri. “Kamu pikir aku monster?” Aku menariknya lengannya supaya ia berhenti sejenak. “Kamu bilang kamu mau jadi monster untukku? Kamu akan pergi dariku?” tanyaku dengan tegang. Ia menghela napas panjang. Menghadap ke arahk

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-05
  • Digilai Psikopat   New Life

    “Okey. Sekarang aku ingin tahu tentang pekerjaanmu. Kamu menyelesaikan project dengan baik, kan? Kudengar comeback dari grup idola papan atas sedang kamu tangani.”Angkara memasukan kedua tangannya ke saku toga. “Ya … kadang kala, kepalaku ingin meledak.”“Kenapa?”“Aku tidak bisa menahan diri untuk membuat musik secara sempurna. Saat kuulang lagunya dari awal, aku merasa selalu ada yang kurang,” keluh Angkara.Melihat kesenduannya membuat hatiku ikut merasa sakit. Anak ini telah berusaha keras. Jadi, sudah sepatutnya kulayangkan belaian lembut di satu sisi rambutnya.“Kamu tidak harus melakukannya dengan sempurna, Sayang. Yang penting, semua orang bisa merasakan apa yang lagumu sampaikan. Kamuu telah berusaha dengan baik,” pujiku.“Benarkah?”“Tentu saja, Pak Produser Tampan!”Alarm kampus berbunyi nyaring. Pertanda acara wisuda bakal segera digelar.Angkara menorehkan senyum terbaiknya, lalu meraih tanganku dalam genggamannya.“Ayo kita selesaikan salah satu momen terbaik dalam hidu

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-06
  • Digilai Psikopat   Belum Berakhir

    Di belahan dunia lain, hujan badai mengguyur Kota New York. Kilatan petir terpampang nyata di balik sebuah kaca besar di mana seorang lelaki berdiri tegap. Ia menyilangkan tangan sembari menikmati pemandangan itu.Langit yang bergemuruh rasanya sangat mewakili apa yang teredam di jiwanya.“Bagaimana kondisimu, Reyvan Purnama? Mentalmu baik-baik saja? Kau harus mempersiapkannya untuk besok,” ujar pria jangkung lain yang datang bergabung. Ia menjatuhkan diri ke sofa, lalu menyicipi kopi milik Reyvan.“Kau sudah mencaritahu kabar tentang mereka?” Daripada menjawab pria itu, Reyvan memilih balik bertanya.“Ah, bintang model dari Indonesia itu? Meydisha telah dipersunting seorang aktor rookie, siapa ya ... ah! Angkara langit putra. Dia terbilang sukses di film debut pertamanya tiga bulan yang lalu, mungkin karena punya tampang rupawan kali ya.” “Daniel, mereka orang-orang yang berhubungan denganku setahun yang lalu,” beber Reyvan, memelas.“Hah?” Pria bernama Daniel itu memuncratkan kopi,

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-06
  • Digilai Psikopat   Identitas Baru

    “Wah! Lihatlah siapa yang baru lahir kembali.” Daniel terkesima mengamati refleksi seorang Reyvan Purnama di cermin big size.“Kau yakin topeng kulit ini takkan merusak wajahku?” Dibanding ikut terkesima, Reyvan malah khawatir. Ia meraba-raba perawakannya yang sedikit berbeda di depan cermin. Kulit wajahnya keriput, potongan rambut yang semula trendi kini berganti jadi keriting berkupluk. Kumis dan janggut palsu yang lebat menambah kesan lelaki tua yang maskulin. Reyvan juga membuat alisnya tampak tebal.Gaya berpakaian? Tentu saja disulap sekasual mungkin layaknya sutradara. Ia cukup memakai jaket bomber, celana oversize, serta sepatu sport.“Tenang saja, topeng itu terbuat dari bahan sistesis berkualitas tinggi. Karena harganya pun selangit, aku yakin itu akan baik-baik saja. Kalau sesuatu terjadi, beritahu aku. Ini ada garansi resminya.” Daniel meyakinkan.“Baiklah, aku bisa mempercayaimu.” Reyvan merapikan kerah kemeja bagian dalam sebagai sentuhan terakhir untuk urusan penampila

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-07
  • Digilai Psikopat   Rival

    Angkara mengetuk-ngetuk sebelah kakinya dengan gelisah. Situasi semakin panas dan tentunya tidak nyaman bagi yang lain. Apakah ia harus menunggu respons Raditya? Siapa tahu laki-laki itu ingin menyanggah Angela. Bisa saja Angela salah paham terutama bagian 'meremehkan' lawan mainnya. Angkara sendiri berharap Radit tidak sungguhan berniat seperti itu."Baiklah! Baik, Nona Angela Yang Paling Senior. Kau benar, aku terlalu meremehkan Angkara,” decih Raditya.“Tidak. Tenang saja semuanya. Aku tidak menganggap semuanya serius. Terima kasih Angela, tapi ayo kita bekerja lebih santai seperti dugong, hehe.” Angkara berusaha mencairkan suasana. Tawa canggungnya disambut hampa. Pria itu lekas membungkus lagi leluconnya sambil melipat bibir.“Baiklah, semuanya. Reading script sudah selesai. Selanjutnya, siapkan energi kalian untuk syuting di lokasi pertama.” Sang sutradara mengakhiri drama dengan keluar ruangan lebih dulu. Para pemain dan kru film menyusul, kecuali Angkara dan Raditya.Angkara m

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-14
  • Digilai Psikopat   Daily Convo

    “Biar aku yang menyetir, Nona.” Angkara membungkuk di balik jendela. Senyumannya seketika menular pada Disha. Mereka terkekeh hanya karena senang melihat satu sama lain. “Tidak perlu. Aku sedang mood mengemudi. Ayo cepat naik! Aku lapar!” Tanpa basa-basi lagi, Angkara segera membuka pintu dan duduk di samping kemudi. “Gimana? Lancar-lancar saja kan hari ini?” Pertanyaan wajib Meydisha tidak pernah terlewat saat menjemput suaminya. Namun, Angkara selalu memberikan jawaban beragam. Baginya, dalam rumah tangga penting sekali keterbukaan, bahkan untuk hal sekecil apa pun. Angkara berharap, Disha dia melakukan hal yang sama padanya. Untuk tidak menyembunyikan apa pun, termasuk atas apa yang sedang terjadi atau dirasakannya. Ketika mereka terikat benang pernikahan, itu berarti berjanji akan saling berbagi semua hal, sehidup semati. “Hm ... sedikit menyebalkan karena senioritas, tapi tentu saja bisa kutangani,” ungkap Angkara. Ia selesai memasangkan sabuk pengaman, lalu melirik istrinya

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19

Bab terbaru

  • Digilai Psikopat   Last Message

    Akhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d

  • Digilai Psikopat   Sakral

    Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan

  • Digilai Psikopat   Terdesak

    Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot

  • Digilai Psikopat   Anak panah

    “Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar

  • Digilai Psikopat   Pertanyaan

    “Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal

  • Digilai Psikopat   Kambing Hitam

    “Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt

  • Digilai Psikopat   Story Telling

    Sam gaduh bahkan sebelum masuk ke dalam rumah Pak Letto. Menggendong tas di sebelah bahu selagi mengunci sebelah tangan Angkara. Sementara di sisi yang lain, Loey melakukan hal sama—bedanya bibir pria itu terkunci rapat. Walau sesekali tersungging karena peringatan protektif Sam pada Angkara. Dokter bilang memang Angkara sudah bisa dibawa pulang sebab kondisinya stabil, tapi Sam tetap khawatir. Anak laki-laki itu menjadi yang tersigap dalam menjaga orang nomor satu se-AUSTIC. Parno kalau kepalanya memunculkan efek vertigo yang membuat pria itu kehilangan keseimbangan. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, Sam terus saja berkata, awas!—di setiap langkah Angkara. Takut tersandunglah, takut menginjak kacalah, dan tak berhenti bertanya di bagian mana Angkara merasa sakit, dan seperti apa rasanya. “Sam, sudahlah. Kau ini berisik sekali, mengalahkan nenek-nenek!” dengus Angkara. Mereka meniti tangga-tangga kecil menuju ke teras rumah. Sementara itu, Hanin mengemudikan mobil dan hendak

  • Digilai Psikopat   Hangout

    Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Meydisha. Kesadaran Meydisha tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering. “Angkara di mana, Bu?” tanyanya parau. “Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Angkara, langsung bersimpuh di bawah ranjang. Satu tangan Meydisha yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Angkara. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Angkara cemas. Meski yang sebenarnya Meydisha rasakan adalah dingin yang menusuk. Angkara Meydishagis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?” “Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Meydisha, pita suaranya setipis desau angin. Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Meydisha sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol,

  • Digilai Psikopat   Break

    Tumit Hanin menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Hanin kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Hanin tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas. Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Hanin dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet. Dia semangat menemani Loey lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana. Seperti orang bodoh, Hanin cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Hanin. Namun ketika memandang Loey dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu. Hanin merangkapk

DMCA.com Protection Status