Tidak butuh waktu lama, Pak Taruna meninggalkan kami berdua dengan membawa kamera itu. Angkara kembali menghampiriku. Menyimpan barang-barang yang diberikan Pak Taruna ke atas kasur. Kemudian kedua lututnya dijatuhkan tepat di bawahku, ia meraih kembali kedua telapak tanganku dengan tatapan seperti seseorang pembawa pesan perdamaian, haha.
“Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya lembut. “Semuanya. Semakin aku tahu ayahku dekat dengan Kak Reyvan, aku semakin khawatir. Kita tidak pernah tahu apa yang dipikirkan si keparat itu. Terlebih lagi, aku tidak tahu dia menganggapku sudah mati atau belum. Keberadaanku adalah keputusannya.” Ujarku dengan kalut. “Kamu nggak bisa mengendalikan semuanya, Disha. Biarkan takdir yang bekerja, ya? Takdir nggak akan pernah salah.” Sudut bibirku sedikit tertarik ke atas. Sudah kubilang, siapa yang akan cemberut bila melihat Angkara sedang mode malaikat. Anggukanku menandakan bahwa aku luluTidak butuh waktu lama bagiku untuk menutup siaran langsung. Lalu disusul telepon masuk dari Hanin, ya ampun anak ini. Aku tahu dia yang paling kebingungan atas apa yang terjadi tapi dia tidak pernah menanyakan apa pun sebab menurutnya, ada alasan besar yang tak berhak dia ketahui. Kuangkat teleponnya dan menempelkan ponsel Angkara ke telinga, “Hai, gadis kopi!” “Dishaa, ini benar-benar Disha, ‘kan? Apa kamu terluka? Kamu baik-baik saja, ‘kan? Kamu di mana sekarang? Kamu dan Angkara berada di tempat yang aman, ‘kan?” “Ya ampun, satu-satu. Aku benar-benar aman, Hanin. Sepertinya, lusa aku juga akan kembali ke Universitas Dandelion. Ada banyak hal yang kuurus, tapi aku akan menyempatkan diri ke Universitas Dandelion supaya tidak ada rumor-rumor konyol lagi yang menyakitimu dan Angkara.” “Aku sangat lega, Disha. Umm, ternyata hari di mana Kak Reyvan membawamu, ia sudah resmi keluar dari Universitas Dand
PLAK!PLAK!PLAK! Rasa perih teramat sangat mendera kedua pipiku. Ia mendorongku ke lantai, membuat punggungku menghantam besi berkarat. Linu. Rasanya tulang punggungku hampir patah. Aku mencoba merangkak, tetapi dia menginjak kakiku dengan keras. Eranganku lebih memilukan dari tangisku, rasa sakit jilid keseribu dimulai karena sekarang ia menekan kakinya keras-keras di dadaku. “Memohonlah gadis nakal!” Suara menjijikannya menimbulkan hasrat bangkitku melambung. Kudorong tubuhku untuk setengah bangun dan menggigit kakinya sedalam mungkin, tanpa kutahan sedikit pun. Ia menjerit dan melepaskan kakinya dari tubuhku. Aku beringsut dan melemparkan semua benda yang ada di sampingku ke arahnya. Tanpa kusangka, aku melemparkan tongkat bisbol tepat ke kepalanya. Bisa dipastikan, ia kewalahan menahan diri untuk tidak pingsan. Kuambil kesempatan emas ini untuk terus maju meski harus terseok-seok.
PRANGGG! Kerangka besi penutup itu terjatuh begitu saja. Kini, aku bisa melihat satu-satunya mobilku terparkir dengan beberapa peralatan perawatan mobil tergantung di dindingnya. Saat aku menundukkan kepalaku untuk keluar, tiba-tiba sepasang kaki mendekat dan berhenti tepat di hadapanku. Seluruh tubuhku membeku. Aku sudah tahu siapa si pemilik kaki. Oleh karena itu, aku tidak sanggup mengangkat kepalaku lagi. Kudorong tubuhku sekuat tenaga ke dalam ventilasi. Namun kakiku tidak bisa lari dari cengkeraman kuatnya. Meski begitu, kuandalkan lututku untuk terus bergerak. Namun, monster itu tidak menyerah menarikku keluar. Dalam sekali tarikkan terakhir, dia berhasil mendapatkanku kembali. “Kenapa kamu begitu bebal? Padahal aku benar-benar menyayangimu.” Protesnya sambil menarik kerah belakang bajuku. Belum sempat aku mengelak, seseorang menabrak kami dengan keras. Tepatnya menyambar Kak Reyvan dan m
Kak Reyvan bangun dengan senyum merekah. Dia tampak sangat puas dengan sikap Angkara. Dengan tertatih, Kak Reyvan menghampiri dan meraih tanganku. Ia mencoba menarikku keluar sedangkan aku hanya bisa menatap Angkara dengan sorot mata memohon. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan. Hidupku memanglah mimpi buruk. Mimpi buruk yang akan berakhir hanya jika aku mati. Kak Reyvan membuka pintu garasi dan mencoba mendorongku keluar lebih dulu. Tiba-tiba, keributan kembali terjadi. Angkara menutup kepala Kak Reyvan dengan karung yang besar dan menyodorkan tali kepadaku. Langsung saja kulilitkan tali itu ke tubuh Kak Reyvan. Kulihat Angkara menahan tubuh Kak Reyvan yang terus meronta-ronta. Selesai. Aku mengikatnya dengan sempurna. Namun, aku tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan Angkara.“Ambil persediaan bensin.” Perintah Angkara.Aku menganga mendengar perintahnya. Namun, melihatnya berusaha keras menahan Kak Reyvan membuatku tidak berhak untuk menolak. Langsung saja kuambil bensin da
“DISHA!!!!!!” Aku berbalik. Tampak Kak Laras dan Hanindita datang bersamaan dan berlari kencang ke arahku. Mereka langsung memelukku dengan erat. Memeriksa tubuhku untuk memastikan bahwa aku dalam keadaan baik, kemudian ikut memapahku ke mobil ambulan. Setelah melalui hari-hari yang dingin dan menyakitkan, setelah menghabiskan jutaan tetes air mata, akhirnya aku bisa merasakan arunika mulai merengkuh duniaku kembali. Kini, aku dan Angkara berseberangan dengan damai di mobil ambulan masing-masing. Kupandangi sumber utama keajaiban dalam hidupku yang lukanya tengah dibalut. Kusertai doa pada setiap balutannya. Berulang kali kuterbangkan rasa syukur pada Tuhan karena telah berbagi eloknya langit padaku. Lukanya telah selesai diobati. Dua orang tim medis itu mempersilahkannya beristirahat. Namun, bola matanya malah menangkap basah aku yang sedang memandanginya di mobil ambulan lain. Bibirnya bergerak tanpa suara, membentuk suatu kalimat yang barangkali
Aku berjalan keluar dari ruangan pengap itu setelah Pak Taruna berulang kali mengatakan aku melakukannya dengan sangat baik. Sebuah penghiburan tulus bagi seorang anak yang dihadapkan situasi menyedihkan. Namun, rasanya helaan napasku masih terasa berat sehingga aku tidak bisa berjalan dengan baik. Kepalaku tertunduk menatap ubin lantai yang kuinjak tanpa meninggalkan bekas sepatu. Kuputuskan untuk menuju toilet dulu hanya untuk sekadar membasuh muka. Sebab air selalu memberikan ketenangan. Derap sepatuku menggema di lorong menuju toilet. Lorong itu sangat sepi. Mungkin karena para polisi terlalu sibuk, jadi aktivitas di kamar mandi bisa saja dilupakan. Dinding-dindingnya yang kusam membuatku bertanya-tanya sudah berapa lama kantor ini dibangun? Aku bisa melihat dua ruangan menjorok dan bersebelahan. Sepertinya yang satu toilet laki-laki dan yang satunya lagi toilet perempuan. Kupercepat langkahku sebab hawa dingin semakin menusuk. Saat
“Kita sudah sepakat, ‘kan? Kami tidak akan menuntutmu ke polisi, jika kamu mau memberitahu publik akan berhenti menulis novel.” Desak Angkara di depan Penulis Arkais palsu. Sementara Penulis Arkais palsu tampak gugup dan kikuk, aku memandangi Angkara dari samping. Melihat tingkahnya yang sudah seperti bos besar. Tangan dilipatkan ke dada, kepala yang dimiring-miringkan, dan kaki kanan yang bertumpu di atas paha. Belum lagi, smirk yang ditorehkannya. Benar-benar hari yang sulit. Kuambil kamera Canon 1100D dan mengarahkannya pada Penulis Arkais Palsu. “Santai saja. Beritahu pembacamu bahwa selama ini tulisanmu 100% fiksi dan kamu harus menghapus novel itu karena dianggap akan menyinggung perasaan korban. Romansa di tengah derita benar-benar tidak sopan.” Intruksiku singkat, padat, dan jelas. Ia tampak menelan ludah, tetapi kemudian mengangguk setuju. Lampu LED mungil berwarna merah pun menyala sebagai tanda terekamnya akhir dari Novel Bara Arkais. Penghapusan merupakan jalan terbai
Suara berdecit terdengar bersamaan dengan terhentinya laju kami. Angkara turun lebih dulu sebelum akhirnya mengulurkan tangannya untuk membantuku. Kami berlari kecil menuju tepi trotoar di bawah sebuah pohon rimbun. “Sudah kubilang, pakai motorku saja. Pasti kita akan cepat sampai. Kamu juga hampir basah ‘kan jadinya.” Omel Angkara sembari menepuk-nepuk seragam Universitas Dandelionku. “Aku benar-benar ingin naik sepeda, Angkara.” Tegasku. “Kenapa?” tanyanya. Dahinya mengernyit keheranan sementara aku mendengus kesal. “Dengan begitu, aku seperti menjadi remaja pada umumnya. Selama ini, aku hanya naik mobil mewah dan motor gedemu. Aku juga tidak pernah menelisik jalanan kota menuju ke Universitas Dandelion sebab seringkali tertidur dalam perjalanan. Hingga aku merasa kemarin adalah titik terberat di hidupku,” Suasana hatiku memburuk, tanpa sadar aku malah tidak bisa mengendalikan omelanku. “Disha, aku...” “Di saat gelak tawa gadis-gadis seusiaku memenuhi ruang kelas dan kantin, a