Tidak ada jadwal pemotretan hari ini. Sebenarnya sejak kemunculan Penulis Arkais, aku sudah mulai berdiskusi kepada agensi yang menaungiku untuk rencana mengambil cuti. Semua ini kulakukan untuk memfokuskan diri menyelesaikan apa yang tertunda selama bertahun-tahun, aku tidak ingin melarikan diri lagi dan bersembunyi dibalik trauma yang hanya merobek luka lama. Apa pun itu, harus kuhadapi.
Kupandang sahabatku, Hanindita yang sedang menyimak dengan serius arahan dari dosen kami, Bu Novi tentang festival dongeng Universitas Dandelion yang akan diadakan besok. Selama ini aku selalu tak acuh kepadanya, meski aku tahu dia membantuku begitu banyak. Ia selalu mengetahui tentangku, tentang indahnya aku, namun tidak tentang nerakaku. Dia akan ikut menyukai apa yang aku suka. Namun bahkan di titik ini, aku akan membenci apa yang dia sukai, Penulis Arkais. “Kenapa? Ada apa? Kamu butuh bantuan?” bisik Hanin ketika sadar aku melamun dengan wajah datar ke arahnya, aku menggeleng lalu tersenyum. “Anak-anak, ibu mohon kepada tim musikalisasi puisi yang akan tampil, siapkan pertunjukkan sebaik mungkin. Dan untuk semua, simpan energi kalian baik-baik hari ini, karena besok akan ada tamu spesial!” sahut Bu Novi membuat seluruh anak di kelas kebingungan. Riuh mulai memenuhi kelas. Mereka berdebat siapa yang akan datang. “Tamu spesial?” “Artis?” “Apa kita akan kedatangan artis?” “Siapa? Siapa?” “Cuma selebgram mungkin?” Mereka bertanya-tanya sedangkan aku hanya memutarkan bola mataku. Kenapa mereka kaget, sih? “Ey, ibu rahasiakan saja ya?” goda Bu Novi, anak-anak langsung merengek seperti bayi. “Ini bukan sembarang artis, bagi yang suka baca novel daring, pasti kalian tahu! Apalagi novelnya sedang viral!” lanjutnya. Aku langsung terdiam dan saling melempar tatapan dengan Hanin. “Apa mungkin ....” “Penulis Arkais yang misterius, anak-anak. Ia akan hadir khusus untuk kita!”DEG. Aku membeku dengan jantung berdebar. Beda dengan Hanin yang langsung menutup mulutnya supaya tidak terlihat menganga akibat kegirangan. Sorak sorai memenuhi ruangan, Bu Novi pun tampak sumringah. “Sudah ibu bilang jangan terlalu bersemangat, haha. Sampai nanti ya, berdandanlah yang baik. Silahkan kalian istirahat.” Saat bel istirahat telah berdentang dengan pekik, aku berlari dan menerobos kerumunan Mahasiswa yang berlalu lalang. Rasanya kelas di mana Angkara belajar menjadi begitu jauh. Beruntungnya, kulihat siluet Angkara yang juga tengah berlari ke arahku. Ketika kami sampai, masing-masing dari kami menorehkan tatapan cemas satu sama lain. “Kamu sudah dengar?” tanyaku sembari menelan ludah dengan berat. “Jika Penulis Arkais benar-benar menunjukkan dirinya, maka tujuannya pasti adalah kamu. Tidak, tidak bisa, besok kamu jangan ke Universitas Dandelion!” Aku mengernyit ketika mendengar ide bodohnya. “Apa maksudmu?” tanyaku sinis. Ia mendekap kedua bahuku. Pandangan kami saling bertaut, ada kekhawatiran dari sorot matanya. “Kapan terakhir kali Penulis Arkais menghubungimu?” “Sebelum bab penculikan, ia bilang semua akan dimulai saat bab penculikan terbit,” kataku dengan perasaan tak karuan. “Benar. Penulis Arkais sudah menyembunyikan identitasnya selama ini. Dan ia akan mengungkapkannya di sini. Di tempatmu berada! Bukankah jelas-jelas ia akan melakukan sesuatu kepadamu?” jelas Angkara dengan terengah-engah, aku paham atas ketakutannya. Kusentuh kedua punggung tangannya yang masih betah di bahuku dan kutorehkan senyum tipis kepadanya, “Kalau begitu bagus, kita tidak perlu capek-capek mencarinya lagi. Siapa tahu kita bisa membuktikan apa ia benar-benar si pria bertopeng atau bukan,” tuturku sedikit lembut. Angkara mendengus karena kesal dengan keputusanku. Kuraih tangannya, menggenggamnya erat dengan harapan bisa meredamkan rasa khawatirnya padaku. Ada sedikit perasaan senang yang menyelinap di lubuk hatiku ketika melihatnya mencemaskanku. “Aku akan baik-baik saja. Lagipula kan ada kamu, aku dengar rumor bahwa kamu menjadi Mahasiswa baru yang paling ditakuti seantero Universitas Dandelion ya? Haha.” Serius, aku melawak dengan cara yang amat garing. Meski begitu, pada akhirnya Angkara menyerah. “Jangan pernah lepas dari pandanganku!” ancamnya, aku terkekeh. “Hubungi pak Taruna, siapa tahu beliau bisa membantu memantau kita.” Pintaku. Ia mengangguk pelan sambil mempertahankan raut wajah sedihnya. “Sayang sekali.” Gumamnya. “Sayang kenapa?” “Aku nggak bisa memelukmu.” Aku sedikit kaget dengan perkataannya. Jantungku berdegup kencang dan mendorong level kecangguanku meningkat di hadapannya. “Jika Penulis Arkais telah mengambil langkah seberani ini. Aku ingin kamu terus berada dalam pelukanku supaya tetap aman. Tapi ini ‘kan di Universitas Dandelion!” ARGHH. Ia mendengus kesal sambil mengacak-ngacak rambutnya. Tanpa sadar, aku begitu betah memandangi tingkahnya yang membuatku damai. Guratan senyumku langsung terukir ketika melihatnya. Aku ingin terus melihatmu, Angkara. Sebanyak aku bisa mendapatkan bintang di angkasa, selama aku bisa menghitung pasir di lautan.Semenjak kemunculan Penulis Arkais, tidurku sering dirundung mimpi buruk. Akan lebih baik jika memang semua ini hanyalah mimpi buruk. Sayangnya, ketetapan Yang Maha Kuasa adalah takdir yang hanya bisa kuterima. Mungkin Ia memang berniat mengajarkan bahwa hidup adalah tentang penerimaan yang harus kuhadapi. Aku menghela napas berat yang tak terhitung jumlahnya sejak pertemuan bumi dengan arunika hingga senja kian temaram. Pergelangan tanganku terjerat oleh karet gelang yang sedari tadi kupecut hingga hingga meninggalkan luka. Rasa perihnya terkalahkan oleh pikiranku yang bergelut dengan pertanyaan apakah aku benar-benar membunuh si pria bertopeng seperti yang Angkara katakan hingga mengapa aku tidak bisa mengingatnya dengan baik. DRRTT. Sebuah pesan masuk. Panjang u
Aku melipat kedua tanganku di dada, menatap tajam banner bertuliskan, “Festival Dongeng Remaja bersama Penulis Arkais.” Kursi sofa empuk di atas panggung telah ditata layaknya singgasana bagi sang raja. Persetan, di dalam imajinasiku, kursi terkutuk itu diduduki oleh seorang penyihir dengan wajah hampir tertutupi topi dan menyisakan senyum seringai ke arahku. Mataku berair dengan emosi yang abstrak. Tidak ada siapa pun di ruangan sebesar ini karena aku harus memastikan apakah benar hari ini akan datang. Nyatanya, aku datang sepagi ini hanya untuk memberi ruang untuk halunisasi liarku bekerja. Percuma saja, benakku. Kuputuskan untuk meninggalkan aula. Namun saat hampir berbalik, seseorang yang entah datang dari mana memutarbalikkan badanku ke tempat semula. Tanpa sempat aku melihat wajahnya, kegelapan melandaku. Aku bisa merasakan bulu mataku menyapu kulit sebuah telapak tangan. Ia menutup kedua mataku, m
《 BARA ARKAIS: BAGIAN KEDUAArkais selalu melihat kehebatanmu, bahkan di kala itu.Mey, aku berada di belakangmu. Bersembunyi di balik tumpukkan jerami. Melihatmu berbincang dengan keparat gila yang menjadi alasanku hidup.[Dia bukan si pria bertopeng. Dia putranya!]Aku memandangi punggungmu, kamu menarik perhatian seseorang yang tak pernah dunia perhatikan. Seseorang yang terlalu lemah untuk memusnahkan si keparat gila. Aku bersyukur ia memberimu belati. Karena aku tak pernah diberi kesempatan untuk memegang benda itu. Tidak, semenjak aku mencurinya dan melenyapkan putri kesayangannya.[Ia membunuh adiknya? Jantungku tersentak.]Aku belum puas dengan hal itu. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku mengikuti kegilaannya hanya untuk mencuri belati itu dan menancapkan tepat di jantungnya. Tapi apa kamu tahu apa yang hebat?Layaknya Orion yang dijadikan abadi dan membentuk rasi bintang terindah akibat panah dari Arthemi
Derum mesin mobil terdengar. Alunan musik bernada musim panas menemani perjalanan singkat dan membuat Hanin tidak berhenti menari-nari kecil. Sepertinya, saja yang tidak punya kerjaan. Selain memandangi senyuman Reyvan yang khas dan sedikit aneh. Sungguh, dia tersenyum seperti itu sepanjang perjalanan kami. Siang ini, kami memutuskan untuk mengunjungi kebun binatang terdekat. Karena aku dan Hanin sama-sama menyukai hewan. Kalian tahu? Kami sudah membesarkan seekor kura-kura selama tiga bulan terakhir, Gery namanya. Gery sengaja kubiarkan tinggal di rumah Hanin, sebab aku jarang berada di rumah. Ah, aku sudah lama nggak menyapanya. “Teman-teman, kita sampai!” seru Reyvan. Alunan musik pun perlahan berhenti selagi ia memarkirkan mobil. Begitu keluar dari mobil, aku b
Melalui jendela kecil Ruang VIP, Angkara melihat cinta pertamanya terkulai lemas. Untuk pertama kalinya, perasaan damainya terusik oleh kekalutan. Belum lagi Hanindita yang tidak berhenti menangis menyesali perbuatannya membuat suasana lebih tegang. Berulang kali Angkara menggosokkan tangan yang berkeringat. Di pikirannya hanyalah Meydisha, Meydisha, dan Meydisha. Disha bertahanlah, kamu kuat. Sementara sosok kakak tingkat yang enggan Angkara anggap sebagai seniornya, tidak berhenti memarahi pacarnya sendiri. “Tidak bisa, Kamu harus bertanggung jawab! Aku akan melaporkanmu! Kalau dibiarkan kamu bisa mencelakai orang lain lagi!” oceh Reyvan sambil mencoba menyeret paksa Hanin. Angkara mengum
“Hanindita! Hanin! Buka pintunya!” Angkara menggedor pintu sekeras mungkin. Setelah mencoba beberapa kali tetapi tidak ada jawaban dari Hanin, giliran Pak Taruna yang memanggil Hanin dengan suara agak lantang. “Bagaimana kalau kita dobrak saja?” seru salah satu dari dua anak buahnya. “Benar, supaya kita segera tahu apa yang terjadi di dalam!” balas anak buah yang lainnya. Pak Taruna menoleh ke arah Angkara yang kebingungan. “Coba kamu telepon sekali lagi! Jika ia tidak juga menjawab, kita terpaksa mendobrak paksa.” Perintah Pak Taruna. Angkara mengangguk lalu mencoba menghubungi kembali Hanin. Sudah dua kali dengungan, belum ada jawaban. Dan pada dengungan ketiga... “Halo, Angkara” “Halo, Hanin? Kamu di rumah? Kamu baik-baik saja, kan? Apa sesuatu yang buruk terjadi?” “Aku dalam perjalanan ke rum
Hawa dingin merasuk ke dalam kulitku. Meski begitu, aku tidak sampai menggigil. Sebab, nyatanya terselubung rasa sejuk yang mendamaikan pikiran di saat mataku masih terpejam. Indera pendengaranku mulai menangkap kicauan merdu para burung yang di mimpiku sedang berjemur mesra bersama mentari pagi. Samar-samar terdengar deru ombak seperti sedang menyapu pesisir pantai. Untuk sepersekian detik, aku berhasil dikelabui oleh alam, kasur yang empuk, dan selimut tebal. Meydisha bodoh! kamu bukan sedang berlibur, tetapi diculik! Jiwaku tersentak dan mataku langsung membelalak. Semua yang kurasakan nyata. Terbaring di tengah kamar yang akan terhubung langsung dengan hutan apabila tidak dibatasi oleh kaca raksasa transparan berbalut gorden warna keemasan. Sekarang, aku mencoba bangun. Namun, malah suara tulangku yang terdengar.Argh. Tangga beton sialan. Kapan tulang ekorku bisa sembuh? Sudah berapa lama aku berada di tem
“Sampai kapan pun, kamu nggak akan bisa menggenggam jiwaku!” tegasku. “Bagaimana bila kubeli dengan nyawa ayahmu?” Tanganku mengepal. Sumpah, aku ingin sekali menonjok wajahnya. “Jangan berani menyentuh ayahku!” perintahku. Ia malah mengelus lembut pipiku, “Semua tergantung padamu.” Bisiknya. Mataku memerah, deru napasku sudah tak beraturan.PRAANGG! Kuhantam keras nampan yang ada di sampingku. Mangkuk dan gelas menjadi hancur berkeping-keping. Air dan bubur sudah menyatu menggenangi lantai. Reyvan tampak kaget sejenak. “Kupikir kamu tidak akan mau melihat tubuh ayahmu hancur berkeping seperti ini. Ah, dan gajah jelek di kebun binatang itu.” Ucapnya santai. Air mataku mengalir deras. Aku tidak bisa menahannya lagi. Tampaknya, isakkanku juga mengganggunya sebab ia langsung serpihan beling dan m