Hari ini, aku tidak berangkat ke Universitas Dandelion karena ada jadwal pemotretan. Kali ini, aku melakukan pemotretan untuk salah satu majalah. Kuakui pakaian yang diberikan lebih beragam. Sehingga aku harus berkali-kali ke ruang ganti.
“Bagus, Meydisha. Pertahankan posenya!” pinta kakak fotografer berambut gondrong. “Oke, beri tatapan lebih tajam, ya!” Jepretan flash kamera menghunjami pose-pose terbaik yang kulakukan. Akhirnya aku merampungkan pekerjaanku. Langsung saja aku berganti pakaian yang lebih nyaman dan menunggu managerku, Kak Laras yang sedang kupintai bantuan. Selama menunggu, aku tidak bisa berhenti menggigiti kuku sehingga nail art bergambar bintang terkelupas sedikit demi sedikit. Sementara itu, kakiku terus saja bergetar menunggu kepastian. Akhirnya setelah kutunggu-kutunggu, siluet Kak Laras terlihat memasuki studio. Aku beringsut dan melempar selimut yang menutupi pahaku ke kursi. “Bagaimana kak? Kakak sudah mencari tahu siapa si Penulis Arkais itu?”‘” tanyaku menatap kak Laras dengan penasaran. Sayangnya, raut wajah yang ditorehkannya tidak seperti yang kuharapkan. “Tidak, maaf Meydisha. Penulis itu tidak meninggalkan jejak apapun.” Aku menghela nafas berat. DRRRT.. Ponselku bergetar. Satu panggilan masuk dari nomor yang asing, mungkinkah Si Penulis Arkais? Langsung saja kuangkat telepon dan mendengarkannya seksama. “Hai, Meydisha! Ini Angkara, kamu sedang ada jadwal pemotretan ya? Sayang sekali, aku nggak bisa menyapamu hari ini!” celoteh Angkara begitu aku menjawab teleponnya. “Ada apa sih? Kamu nggak tahu aku sedang sibuk?” tanyaku dengan nada sinis. “Aku ingin memastikan sesuatu. Apa kamu benar-benar tidak mengingatku dulu?” Aku terdiam sesaat. Aku mengingatmu bocah kecil bodoh. Sayangnya, kamu masuk ke dalam kenanganku yang salah. Yang sangat ingin aku hapuskan. “Tidak. Aku tidak mengingatmu. Sudah ya, kututup?” “Tunggu!” teriakannya keras sekali sampai aku memutuskan untuk memberinya kesempatan berbicara. “Novel itu, Bara Arkais. Aku sudah membacanya dan aku tahu kamu berbohong soal ingatanmu. Jika tidak, kenapa kamu bertanya padaku?” Aku membisu mendengar pertanyaan. “Tidak, b-bukan..” “Kita harus bertemu. Ingat Meydisha, bukan hanya kamu yang bergelut dengan kenangan mengerikan itu.” Ujar Angkara dengan tegas. Aku sedikit terkejut, anak laki-laki yang kemarin terdengar suka menggoda itu sekarang dapat setegas ini. “Cafe Flower, tepat jam 12 siang.” Jawabku singkat, lalu langsung menutup telepon dari Angkara.***Cafe Flower, Meja 15. “Saat itu, kamu memilih aku menjadi anak yang akan berkelahi. Karena itulah aku hidup.” Sahut Angkara sambil meneguk secangkir kopi tanpa gula. Aku menurunkan pandanganku, “Benar. Tapi setelah kamu pergi, aku membunuh anak-anak tak berdosa itu.” Ujarku sambil terus menggosok-gosokkan tangan yang berkeringat karena cemas. “Kamu membunuh mereka?” tanya Angkara dengan nada keheranan. “Tidak mungkin, aku mendengar jeritan kencang si pria bertopeng saat bersembunyi di kandang lain demi menunggumu keluar hidup-hidup dari sana.” Lanjutnya. Aku terpelatuk dengan pernyataannya. Mataku menyipit saat mencoba mengingat kembali jeritan si pria bertopeng. Namun, nihil. “Angkara, yang kuingat hanyalah anak-anak yang sudah terbujur kaku dengan darah di perut mereka. Dan aku hanya berdiri di hadapan mereka dengan belati penuh darah.” Ujarku frustasi, Angkara tampak menghela napas berat. “Apa kamu melihat jasad si pria bertopeng?” tanyanya. Aku menggeleng. “Tidak. Aku tidak melihatnya.” Suaraku hampir bergetar. “Apa si pria bertopeng masih hidup? Apa sekarang dia menjelma menjadi Penulis Arkais?” Aku sudah kehilangan akal dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat otakku akan meledak. Tiba-tiba, Angkara menggenggam tanganku. “Kita sudah dewasa. Jika dia memang Penulis Arkais, usianya sudah di atas tiga puluh, dia tidak akan sekuat dulu.” “Tetapi, Ra...” “Usiamu baru sebelas tahun waktu itu. Tapi kamu sudah berani mencoba bernegosiasi dengan psikopat gila dan menyelamatkanku. Sekarang, kamu sudah berusia tujuh belas. Kamu pasti bisa melakukan lebih,” “Kita tumbuh dari luka yang sama. Aku pastikan kita akan sembuh dengan menghadapinya bersama-sama.” Kegelisahan yang menyeruak seakan terguyur oleh tenangnya setiap kalimat yang terucap dari bibir Angkara. Sempat-sempatnya ia tersenyum lepas padaku padahal sebuah misteri besar masih terkunci rapat di dalam sudut ruangan tergelap. DRRRT.. Aku melepaskan genggaman Angkara saat sebuah pesan dari Hanindita muncul dalam panel notifikasi. “Meydisha, bab terbaru Bara Arkais sudah terbit! Aku memberitahumu sebab sepertinya kamu tertarik pada novel ini. Ayo baca!” Tanganku bergetar lalu menatap Angkara lekat. “Bab penculikan sudah terbit.”Di antara ilalang yang menari mengikuti alunan seruling alam di musim panas, Angkara kecil melangkah dengan terseok-seok dituntun oleh pria muda bertopeng badut. Debu dari tanah gersang mengepul ke udara. Desa mati ini hanya menyisakan selembar koran 2009 yang sepertinya tersapu angin dari desa sebelah, Desa Taman Sari.“Kapan paman akan mengantarkanku ke rumah?” tanya bocah itu dengan polosnya. Dengan mata tersenyum dibalik topeng, pria itu menoleh. “Nanti, setelah luka di kakimu sembuh.” Sampailah keduanya di bekas peternakan yang terletak di desa tak berpenghuni. Angkara kecil mendadak didorong masuk oleh si pria bertopeng. Dengan kelopak mata yang membesar dan tubuh yang bergetar hebat, anak laki-laki itu sangat tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Harapannya untuk bisa pulang menjadi abu seketika. Yang dia lihat hanyalah
Untungnya, Angkara membawa motor gede merk SuzukiGSX-R150, jadi kami bisa lebih fleksibel berangkat menuju kantor polisi yang letaknya tak jauh desa tak berpenghuni. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih 30 kilometer. Perlahan-lahan, keramaian ibukota mulai lenyap dari pandangan. Jalanan yang semula mulus oleh aspal, tergantikan oleh medan yang lebih tajam. Di mana bebatuan dan kerikil mulai terasa mengguncang tubuh, membuatku memperatkan pegangan ke ujung jaket Angkara. “Peluk saja, tak apa. Aku nggak mau kamu jatuh!” teriak Angkara dengan suara tipis terhembus angin dibalik helmnya. Aku memberanikan diri memeluk pinggangnya dengan erat. Suara decit rem motornya terdengar pertanda kami telah sampai. Kutekan bahu Angkara untuk menumpu badanku supaya turun dengan mudah. Kami sudah melewati beberapa pos polisi yang dap
Tidak ada jadwal pemotretan hari ini. Sebenarnya sejak kemunculan Penulis Arkais, aku sudah mulai berdiskusi kepada agensi yang menaungiku untuk rencana mengambil cuti. Semua ini kulakukan untuk memfokuskan diri menyelesaikan apa yang tertunda selama bertahun-tahun, aku tidak ingin melarikan diri lagi dan bersembunyi dibalik trauma yang hanya merobek luka lama. Apa pun itu, harus kuhadapi. Kupandang sahabatku, Hanindita yang sedang menyimak dengan serius arahan dari dosen kami, Bu Novi tentang festival dongeng Universitas Dandelion yang akan diadakan besok. Selama ini aku selalu tak acuh kepadanya, meski aku tahu dia membantuku begitu banyak. Ia selalu mengetahui tentangku, tentang indahnya aku, namun tidak tentang nerakaku. Dia akan ikut menyukai apa yang aku suka. Namun bahkan di titik ini, aku akan membenci apa yang dia sukai, Penulis Arkais
Semenjak kemunculan Penulis Arkais, tidurku sering dirundung mimpi buruk. Akan lebih baik jika memang semua ini hanyalah mimpi buruk. Sayangnya, ketetapan Yang Maha Kuasa adalah takdir yang hanya bisa kuterima. Mungkin Ia memang berniat mengajarkan bahwa hidup adalah tentang penerimaan yang harus kuhadapi. Aku menghela napas berat yang tak terhitung jumlahnya sejak pertemuan bumi dengan arunika hingga senja kian temaram. Pergelangan tanganku terjerat oleh karet gelang yang sedari tadi kupecut hingga hingga meninggalkan luka. Rasa perihnya terkalahkan oleh pikiranku yang bergelut dengan pertanyaan apakah aku benar-benar membunuh si pria bertopeng seperti yang Angkara katakan hingga mengapa aku tidak bisa mengingatnya dengan baik. DRRTT. Sebuah pesan masuk. Panjang u
Aku melipat kedua tanganku di dada, menatap tajam banner bertuliskan, “Festival Dongeng Remaja bersama Penulis Arkais.” Kursi sofa empuk di atas panggung telah ditata layaknya singgasana bagi sang raja. Persetan, di dalam imajinasiku, kursi terkutuk itu diduduki oleh seorang penyihir dengan wajah hampir tertutupi topi dan menyisakan senyum seringai ke arahku. Mataku berair dengan emosi yang abstrak. Tidak ada siapa pun di ruangan sebesar ini karena aku harus memastikan apakah benar hari ini akan datang. Nyatanya, aku datang sepagi ini hanya untuk memberi ruang untuk halunisasi liarku bekerja. Percuma saja, benakku. Kuputuskan untuk meninggalkan aula. Namun saat hampir berbalik, seseorang yang entah datang dari mana memutarbalikkan badanku ke tempat semula. Tanpa sempat aku melihat wajahnya, kegelapan melandaku. Aku bisa merasakan bulu mataku menyapu kulit sebuah telapak tangan. Ia menutup kedua mataku, m
《 BARA ARKAIS: BAGIAN KEDUAArkais selalu melihat kehebatanmu, bahkan di kala itu.Mey, aku berada di belakangmu. Bersembunyi di balik tumpukkan jerami. Melihatmu berbincang dengan keparat gila yang menjadi alasanku hidup.[Dia bukan si pria bertopeng. Dia putranya!]Aku memandangi punggungmu, kamu menarik perhatian seseorang yang tak pernah dunia perhatikan. Seseorang yang terlalu lemah untuk memusnahkan si keparat gila. Aku bersyukur ia memberimu belati. Karena aku tak pernah diberi kesempatan untuk memegang benda itu. Tidak, semenjak aku mencurinya dan melenyapkan putri kesayangannya.[Ia membunuh adiknya? Jantungku tersentak.]Aku belum puas dengan hal itu. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku mengikuti kegilaannya hanya untuk mencuri belati itu dan menancapkan tepat di jantungnya. Tapi apa kamu tahu apa yang hebat?Layaknya Orion yang dijadikan abadi dan membentuk rasi bintang terindah akibat panah dari Arthemi
Derum mesin mobil terdengar. Alunan musik bernada musim panas menemani perjalanan singkat dan membuat Hanin tidak berhenti menari-nari kecil. Sepertinya, saja yang tidak punya kerjaan. Selain memandangi senyuman Reyvan yang khas dan sedikit aneh. Sungguh, dia tersenyum seperti itu sepanjang perjalanan kami. Siang ini, kami memutuskan untuk mengunjungi kebun binatang terdekat. Karena aku dan Hanin sama-sama menyukai hewan. Kalian tahu? Kami sudah membesarkan seekor kura-kura selama tiga bulan terakhir, Gery namanya. Gery sengaja kubiarkan tinggal di rumah Hanin, sebab aku jarang berada di rumah. Ah, aku sudah lama nggak menyapanya. “Teman-teman, kita sampai!” seru Reyvan. Alunan musik pun perlahan berhenti selagi ia memarkirkan mobil. Begitu keluar dari mobil, aku b
Melalui jendela kecil Ruang VIP, Angkara melihat cinta pertamanya terkulai lemas. Untuk pertama kalinya, perasaan damainya terusik oleh kekalutan. Belum lagi Hanindita yang tidak berhenti menangis menyesali perbuatannya membuat suasana lebih tegang. Berulang kali Angkara menggosokkan tangan yang berkeringat. Di pikirannya hanyalah Meydisha, Meydisha, dan Meydisha. Disha bertahanlah, kamu kuat. Sementara sosok kakak tingkat yang enggan Angkara anggap sebagai seniornya, tidak berhenti memarahi pacarnya sendiri. “Tidak bisa, Kamu harus bertanggung jawab! Aku akan melaporkanmu! Kalau dibiarkan kamu bisa mencelakai orang lain lagi!” oceh Reyvan sambil mencoba menyeret paksa Hanin. Angkara mengum