Share

Digilai Psikopat
Digilai Psikopat
Penulis: Secret Dita

Gadis Kopi

Penulis: Secret Dita
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-08 14:11:51

Angin mendesau beriringan dengan terbukanya gerbang Universitas Dandelion. Pandanganku sedikit mengintip dari balik jendela mobil untuk melihat keadaan sekitar yang tidak asing. Ah teman-teman yang gigih, Batinku.

Dengan sedikit menggaruk dahi, aku memikirkan sesuatu yang mengganjal. Teman? Kurasa tidak. Sebenarnya aku tidak berpikir mereka adalah teman. Mereka hanya penggemar yang terkadang mengganggu privasiku.

Anak-anak yang silih berganti menunggu kedatanganku tepat hanya untuk memberiku sebungkus kado sambil mengharapkan aku dapat me-notice mereka supaya dipamerkan. Dan kini, mereka ada di hadapanku. Tidak setiap hari. Hanya saat jadwal pemotretanku tidak padat, aku kembali ke Universitas Dandelion.

Pak Agus, sopir pribadiku membukakan pintu mobil sehingga diriku semakin terekspos di hadapan muda mudi yang bersemangat ini.

Riuh membumbung saat arunika mulai menyemburkan terik yang menyilaukan pandanganku.

“Meydisha, akhirnya kamu kembali Universitas Dandelion!”

“Meydisha ini untukmu!”

Satu bingkisan kuterima.

“Disha terimalah ini!”

Kemudian bingkisan berikutnya.

“Meydisha kamu pasti suka ini!”

Kemudian, menjadi semakin banyak.

“Disha, apa tidurmu nyenyak? Kamu terlihat segar sekali, Ayo berfoto!” pinta seseorang di antara mereka.

Semua hadiah yang mereka sodorkan kuterima sebisaku meski dengan guratan senyum tipis, berharap mereka segera berhenti. Untungnya Pak Agus membantuku mengumpulkan beberapa hadiah di saat tanganku sudah mulai kewalahan merengkuhnya.

“Sudah-sudah, sekarang beri jalan kepada Nona Disha untuk ke kelas.”

Mendengar anjuran tegas dari pak Agus, mereka mulai menepi. Hahaha, Pak Agus memang andalanku!

“TUNGGU!”

Kakiku baru saja berpindah satu langkah, tetapi seorang perempuan berteriak dan berlari ke arahku. Dia berlari dengan cepat sehingga tidak butuh waktu lama untuk melihat sosoknya secara keseluruhan. Gadis berambut pendek dengan poni tipis yang menutupi keningnya. Sialnya, ketika jarak kami hampir dekat, dia kehilangan keseimbangan dan menumpahkan kopi panas ke tubuhku. Ia jatuh terjerembap sedangkan aku sudah seperti keledai yang habis mandi lumpur. Semua hadiah yang berada dalam rengkuhanku basah dan kotor. Anak-anak yang mengerumuni kami tampak melotot bersiap melontarkan kalimat kasar kepada gadis yang masih tertunduk di depan kakiku.

Aku menghela napas panjang menahan rasa kesalku,

“Semuanya diam! Tidak ada yang boleh marah pada gadis ini selain aku. Terima kasih untuk hadiah tulus kalian semua dan biarkan aku menghabisi gadis ini.”

“Nona—” tegur Pak Agus.

“Pak Agus boleh pergi dan bawa semua hadiah ini pulang.”

“Hei Gadis Kopi, ikut aku!” perintahku.

Aku berjalan tanpa menghiraukan bajuku yang lusuh. Suara sepatunya yang terseok-seok masih tertangkap oleh indera pendengaranku. Kami berhenti di tembok belakang gudang Universitas Dandelion, di mana jarang sekali orang yang berlalu lalang.

“Siapa yang memerintahkanmu?” tanyaku sambil melipat tangan di dada.

“A—aku tidak bermaksud, a—aku minta maaf.” ujarnya dengan terbata-bata.

Aku terkekeh lalu melayangkan tangan kananku ke udara. “Kamu mau kupukul?”

Mendengar ancamanku, ia tertunduk dan menangis.

“Pukul saja aku! Aku memang bersalah. Aku orang yang ceroboh dan tidak tahu diri karena mengagumimu. Aku ingin belajar banyak darimu. Aku ingin sepertimu. Ibuku membuat kopi pagi ini, aku hendak memberikannya padamu. Aku minta maaf.”

Gadis itu menangis sejadi-sejadinya dan membuatku memutarbalikkan bola mata.

“Kenapa kamu mau jadi sepertiku? Kamu pikir dengan menjadi sepertiku, kamu bisa bahagia? Tidak bodoh. Ibumu membuatkan kopi untuk putrinya, tapi putrinya malah ingin seperti putri dari ibu lain. Lihatlah apa yang terjadi sekarang! Cobalah hidup dengan baik dan berhenti mengusikku!” Bentakku memecah belah keheningan yang berada di antara kami, tangisnya semakin menjadi-jadi.

“Parasit.”

Satu kata terakhir yang kulontarkan padanya sebelum aku pergi menuju toilet perempuan. Kugebrak salah satu pintu toilet dan membantingnya keras-keras sebelum aku menguncinya. Sial, aku baru saja memulai hari. Memuakkan.

Sayup-sayup terdengar suara sekelompok anak perempuan. Kemudian suara obrolan itu terdengar semakin dekat saat mereka berdiri di depan wastafel.

“Hei, kamu dengar insiden tadi? Bintang Universitas Dandelion kita apes sekali hari ini, haha.” Sahut salah satu di antara mereka, gigi atasku bergesekkan dengan gigi bawah sebab menahan kesal.

“Entah kenapa menyenangkan melihat Meydisha sial seperti itu! Kamu lihat wajahnya? Ia dengan munafik menahan marah, padahal kita semua tahu temperamennya buruk.”

Aku beringsut setelah sedari tadi merapatkan kaki dan duduk termangu di atas kloset yang tertutup. Dalam hitungan detik, aku akan segera menjambak rambut dua orang gadis kurang ajar itu. Lihat saja! Batinku.

“Bisa kalian tutup mulut kalian?”

Suara yang tak asing membuat tanganku hanya sedikit menempel di permukaan pintu. Celah tercipta saat aku menyerah pada rasa penasaran yang menyeruak. Melalui celah itu, aku bisa melihat gadis yang baru saja kumaki, sekarang malah memaki orang-orang yang seharusnya kumaki.

“Ah, jadi ini gadis pembawa sial yang berjasa membuat bintang Universitas Dandelion kita malu?” cemooh gadis perundung berambut keriting.

“Berhenti mencemoohnya!” bentak Si Gadis Kopi—sebutan untuk seseorang yang menumpahkan kopi padaku tadi pagi.

Gadis perundung berbando telinga kucing lalu mencengkram kerah seragam Si Gadis Kopi membuatku tidak bisa tinggal diam dibalik pintu tipis ini. Gebrakkan pintu membuat mereka semua tersentak, ketiganya berbalik kepadaku. Ekspresi kaget dan bodoh dilontarkan mereka kepadaku, kuambil pouch make up milik kedua gadis perundung itu dan melemparkannya sekeras mungkin hingga berserakan di lantai. Kuinjak pouch tersebut dan mendekati mereka berdua. Menatap keduanya secara bergantian dengan tatapan menusuk.

“Kalian sudah tahu temperamenku buruk tapi berani menyebutku munafik?”

Kucabut bando yang dipakai oleh salah satu gadis perundung.

KREK!

Suara patahan terdengar seiring terbelahnya bando kucing yang malang.

“Siapa nama kalian?” tanyaku.

Keduanya masih menunduk sambil mengumpulkan keberanian untuk menjawab.

“A-a-yu," jawab gadis berambut keriting.

“Kalau kamu?”

“P-p-putri ....”

Aku tersenyum miring saat mendengar nama mereka.

“Benar-benar nama munafik.”

Kupersempit jarakku dengan mereka berdua, potongan bando tadi kugoreskan perlahan di pipi si rambut keriting.

“Seperti yang kamu bilang, gadis kopi ini berjasa untukku. Jangan berani-berani mengganggunya, sebab ia akan berjasa padaku setiap harinya. Mulai sekarang ia adalah sahabatku.”

Si Gadis Kopi tersentak dan mengangkat dagunya, lalu memandangiku.

“Siapa namamu?” tanyaku sambil tersenyum.

“Hanindita Savira,” ungkapnya.

Kuulurkan tangan ini. “Namaku Meydisha Renjani.”

Ia membalas uluran tanganku dan kami saling menorehkan senyum. Untuk pertama kalinya, aku mengulurkan tangan pada orang asing sebayaku. Setelah sebelas tahun memupuk masa lalu mengerikan yang mengurungku. Masa lalu dari seorang anak yang kala itu berusia enam tahun dan harus menghadapi orang gila yang hobi membantai anak kecil.

Sejak saat itu, aku membangun dinding besar dan tinggi untuk menyembunyikannya. Aku tidak tahu. Apakah fakta bahwa aku adalah seorang anak konglomerat yang ayahnya hilang bak ditelan bumi dan ibu yang memilih membangun keluarga baru di negeri orang dapat membantuku menutup rapat-rapat rahasia kelam ini atau justru dapat menjadi bom waktu yang bisa saja meledak dan menghancurkan hidupku.

Namun melihat sosok gadis yang dapat membelaku dengan lantang, hati kecilku seolah memohon untuk memberikan celah pada diriku sendiri untuk berani merasakan berbagi senyuman tulus kepada orang di sampingmu. Melalui uluran tangan ini, aku memberanikan diri untuk membuka diri. Meski tanpa mengetahui bahwa keputusanku dapat menyambungkan kembali kisah yang sudah lama terputus.

Bab terkait

  • Digilai Psikopat   Sosok Angkara

    Sudah terhitung setahun sejak hari penumpahan kopi. Pada awalnya aku tidak serius ingin berteman dengan Hanindita. Tapi percayalah, anak ini susah sekali disuruh menyerah. Akhirnya aku membiarkan dirinya menemaniku dan membantuku setiap hari. Lebih mirip seperti asisten pribadiku sih, haha. Lambat laun, rasanya menyenangkan mempunyai seseorang yang bisa diandalkan setelah sekian lama bergelut dengan kesepian. Hanindita sosok yang naif, tapi dia tulus. Ia tidak pernah mengganti model rambut pendek dengan poni tipis yang sedikit menerawang dahinya. Apa dia tidak acuh kalau kita sebenarnya tinggal di kota besar yang di mana fashion banyak berkembang setiap hari. Anehnya, ketika ia menyukai sesuatu, ia menjadi sangat agresif dan seolah terobsesi dengannya. Seperti halnya saat ini, ia terlihat asik menggulirkan layar ponselnya bahkan saat tim basket kesukaannya mencetak poin berkali-kali. “Hanin, kali ini apa yang kamu suka, sih?” Ia akhirnya menoleh padaku. “Ah ini,

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • Digilai Psikopat   Hari Gelap

    Hari ini, aku tidak berangkat ke Universitas Dandelion karena ada jadwal pemotretan. Kali ini, aku melakukan pemotretan untuk salah satu majalah. Kuakui pakaian yang diberikan lebih beragam. Sehingga aku harus berkali-kali ke ruang ganti. “Bagus, Meydisha. Pertahankan posenya!” pinta kakak fotografer berambut gondrong. “Oke, beri tatapan lebih tajam, ya!” Jepretan flash kamera menghunjami pose-pose terbaik yang kulakukan. Akhirnya aku merampungkan pekerjaanku. Langsung saja aku berganti pakaian yang lebih nyaman dan menunggu managerku, Kak Laras yang sedang kupintai bantuan. Selama menunggu, aku tidak bisa berhenti menggigiti kuku sehingga nail art bergambar bintang terkelupas sedikit

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • Digilai Psikopat   Arkais

    Di antara ilalang yang menari mengikuti alunan seruling alam di musim panas, Angkara kecil melangkah dengan terseok-seok dituntun oleh pria muda bertopeng badut. Debu dari tanah gersang mengepul ke udara. Desa mati ini hanya menyisakan selembar koran 2009 yang sepertinya tersapu angin dari desa sebelah, Desa Taman Sari.“Kapan paman akan mengantarkanku ke rumah?” tanya bocah itu dengan polosnya. Dengan mata tersenyum dibalik topeng, pria itu menoleh. “Nanti, setelah luka di kakimu sembuh.” Sampailah keduanya di bekas peternakan yang terletak di desa tak berpenghuni. Angkara kecil mendadak didorong masuk oleh si pria bertopeng. Dengan kelopak mata yang membesar dan tubuh yang bergetar hebat, anak laki-laki itu sangat tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Harapannya untuk bisa pulang menjadi abu seketika. Yang dia lihat hanyalah

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • Digilai Psikopat   Meremang

    Untungnya, Angkara membawa motor gede merk SuzukiGSX-R150, jadi kami bisa lebih fleksibel berangkat menuju kantor polisi yang letaknya tak jauh desa tak berpenghuni. Perjalanan yang kami tempuh kurang lebih 30 kilometer. Perlahan-lahan, keramaian ibukota mulai lenyap dari pandangan. Jalanan yang semula mulus oleh aspal, tergantikan oleh medan yang lebih tajam. Di mana bebatuan dan kerikil mulai terasa mengguncang tubuh, membuatku memperatkan pegangan ke ujung jaket Angkara. “Peluk saja, tak apa. Aku nggak mau kamu jatuh!” teriak Angkara dengan suara tipis terhembus angin dibalik helmnya. Aku memberanikan diri memeluk pinggangnya dengan erat. Suara decit rem motornya terdengar pertanda kami telah sampai. Kutekan bahu Angkara untuk menumpu badanku supaya turun dengan mudah. Kami sudah melewati beberapa pos polisi yang dap

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-08
  • Digilai Psikopat   Badut

    Tidak ada jadwal pemotretan hari ini. Sebenarnya sejak kemunculan Penulis Arkais, aku sudah mulai berdiskusi kepada agensi yang menaungiku untuk rencana mengambil cuti. Semua ini kulakukan untuk memfokuskan diri menyelesaikan apa yang tertunda selama bertahun-tahun, aku tidak ingin melarikan diri lagi dan bersembunyi dibalik trauma yang hanya merobek luka lama. Apa pun itu, harus kuhadapi. Kupandang sahabatku, Hanindita yang sedang menyimak dengan serius arahan dari dosen kami, Bu Novi tentang festival dongeng Universitas Dandelion yang akan diadakan besok. Selama ini aku selalu tak acuh kepadanya, meski aku tahu dia membantuku begitu banyak. Ia selalu mengetahui tentangku, tentang indahnya aku, namun tidak tentang nerakaku. Dia akan ikut menyukai apa yang aku suka. Namun bahkan di titik ini, aku akan membenci apa yang dia sukai, Penulis Arkais

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-16
  • Digilai Psikopat   Kedatangan

    Semenjak kemunculan Penulis Arkais, tidurku sering dirundung mimpi buruk. Akan lebih baik jika memang semua ini hanyalah mimpi buruk. Sayangnya, ketetapan Yang Maha Kuasa adalah takdir yang hanya bisa kuterima. Mungkin Ia memang berniat mengajarkan bahwa hidup adalah tentang penerimaan yang harus kuhadapi. Aku menghela napas berat yang tak terhitung jumlahnya sejak pertemuan bumi dengan arunika hingga senja kian temaram. Pergelangan tanganku terjerat oleh karet gelang yang sedari tadi kupecut hingga hingga meninggalkan luka. Rasa perihnya terkalahkan oleh pikiranku yang bergelut dengan pertanyaan apakah aku benar-benar membunuh si pria bertopeng seperti yang Angkara katakan hingga mengapa aku tidak bisa mengingatnya dengan baik. DRRTT. Sebuah pesan masuk. Panjang u

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-16
  • Digilai Psikopat   Penenang

    Aku melipat kedua tanganku di dada, menatap tajam banner bertuliskan, “Festival Dongeng Remaja bersama Penulis Arkais.” Kursi sofa empuk di atas panggung telah ditata layaknya singgasana bagi sang raja. Persetan, di dalam imajinasiku, kursi terkutuk itu diduduki oleh seorang penyihir dengan wajah hampir tertutupi topi dan menyisakan senyum seringai ke arahku. Mataku berair dengan emosi yang abstrak. Tidak ada siapa pun di ruangan sebesar ini karena aku harus memastikan apakah benar hari ini akan datang. Nyatanya, aku datang sepagi ini hanya untuk memberi ruang untuk halunisasi liarku bekerja. Percuma saja, benakku. Kuputuskan untuk meninggalkan aula. Namun saat hampir berbalik, seseorang yang entah datang dari mana memutarbalikkan badanku ke tempat semula. Tanpa sempat aku melihat wajahnya, kegelapan melandaku. Aku bisa merasakan bulu mataku menyapu kulit sebuah telapak tangan. Ia menutup kedua mataku, m

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-16
  • Digilai Psikopat   Sebelum Tragedi

    《 BARA ARKAIS: BAGIAN KEDUAArkais selalu melihat kehebatanmu, bahkan di kala itu.Mey, aku berada di belakangmu. Bersembunyi di balik tumpukkan jerami. Melihatmu berbincang dengan keparat gila yang menjadi alasanku hidup.[Dia bukan si pria bertopeng. Dia putranya!]Aku memandangi punggungmu, kamu menarik perhatian seseorang yang tak pernah dunia perhatikan. Seseorang yang terlalu lemah untuk memusnahkan si keparat gila. Aku bersyukur ia memberimu belati. Karena aku tak pernah diberi kesempatan untuk memegang benda itu. Tidak, semenjak aku mencurinya dan melenyapkan putri kesayangannya.[Ia membunuh adiknya? Jantungku tersentak.]Aku belum puas dengan hal itu. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, aku mengikuti kegilaannya hanya untuk mencuri belati itu dan menancapkan tepat di jantungnya. Tapi apa kamu tahu apa yang hebat?Layaknya Orion yang dijadikan abadi dan membentuk rasi bintang terindah akibat panah dari Arthemi

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-16

Bab terbaru

  • Digilai Psikopat   Last Message

    Akhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d

  • Digilai Psikopat   Sakral

    Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan

  • Digilai Psikopat   Terdesak

    Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot

  • Digilai Psikopat   Anak panah

    “Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar

  • Digilai Psikopat   Pertanyaan

    “Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal

  • Digilai Psikopat   Kambing Hitam

    “Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt

  • Digilai Psikopat   Story Telling

    Sam gaduh bahkan sebelum masuk ke dalam rumah Pak Letto. Menggendong tas di sebelah bahu selagi mengunci sebelah tangan Angkara. Sementara di sisi yang lain, Loey melakukan hal sama—bedanya bibir pria itu terkunci rapat. Walau sesekali tersungging karena peringatan protektif Sam pada Angkara. Dokter bilang memang Angkara sudah bisa dibawa pulang sebab kondisinya stabil, tapi Sam tetap khawatir. Anak laki-laki itu menjadi yang tersigap dalam menjaga orang nomor satu se-AUSTIC. Parno kalau kepalanya memunculkan efek vertigo yang membuat pria itu kehilangan keseimbangan. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, Sam terus saja berkata, awas!—di setiap langkah Angkara. Takut tersandunglah, takut menginjak kacalah, dan tak berhenti bertanya di bagian mana Angkara merasa sakit, dan seperti apa rasanya. “Sam, sudahlah. Kau ini berisik sekali, mengalahkan nenek-nenek!” dengus Angkara. Mereka meniti tangga-tangga kecil menuju ke teras rumah. Sementara itu, Hanin mengemudikan mobil dan hendak

  • Digilai Psikopat   Hangout

    Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Meydisha. Kesadaran Meydisha tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering. “Angkara di mana, Bu?” tanyanya parau. “Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Angkara, langsung bersimpuh di bawah ranjang. Satu tangan Meydisha yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Angkara. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Angkara cemas. Meski yang sebenarnya Meydisha rasakan adalah dingin yang menusuk. Angkara Meydishagis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?” “Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Meydisha, pita suaranya setipis desau angin. Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Meydisha sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol,

  • Digilai Psikopat   Break

    Tumit Hanin menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Hanin kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Hanin tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas. Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Hanin dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet. Dia semangat menemani Loey lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana. Seperti orang bodoh, Hanin cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Hanin. Namun ketika memandang Loey dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu. Hanin merangkapk

DMCA.com Protection Status