“Tunggu,” cegah Meydisha. Mata dan telunjuknya masih menjelajahi layar.[Tiga ilmuwan dinyatakan tersangka: Gerald (30), Rachel (25), Frans (33). Gerald dan Frans dinyatakan tewas bunuh diri, Rachel dalam pencarian.]“Kalian harus temukan ilmuwan bernama Rachel,” timpal Angkara.Loey dan Olive berjalan ke samping Hanin.“Kami akan melakukan yang terbaik,” kata Loey.“Semangaaaat!” teriak Hanin sambil menggandeng kedua rekannya.Lambaian tangan Angkara mengiringi keberangkatan mereka. “Hati-hati!”Tiba-tiba Percy beranjak, lalu berlari menuju lift hotel. Angkara dan Meydisha hanya saling mengendikkan bahu melihat Percy yang seperti sedang ketinggalan kereta.Satu kaki Percy menjepit pintu besi itu dan membuatnya kembali melebar. Mata pria itu seakan berbicara lebih dulu, tepat saat Hanin membalas tatapannya. Tercermin ungkapan kecemasan berbalut rasa peduli lewat binar yang bergetar. Bibir Percy sedikit terbuka, tapi dia tampak begitu gugup.“Ada apa Percy?” tanya Hanin.Percy men
[Seseorang disandera di ruang rahasia, bisakah kalian membuat Daffa dan anak buahnya menjauh dari dapur selama mungkin?] Isi pesan dari Hanin diterima baik oleh ponsel Loey. Dia lantas beradu pandang dengan Hanin, lalu saling mengangguk. Pertanda mereka siap memulai aksi selanjutnya.Daffa hendak melangkah melewati pintu, tapi dia menarik kakinya mundur. Suara bising benda-benda berjatuhan di dapur menggoyahkan niatnya. Disusul dengan teriakan cempreng Hanin.“Tuan Daffa Lintang Selatan! Keluarlah! Ayo kita main!”Lirikan sinis mengarah pada kecil di tengah pintu. Refleksi dari gadis berkuncir itu juga menyedot perhatian dua anak buah. Daffa mengernyit, berusaha mengenali Hanin.“Siapa orang gila itu?” tanya Daffa.Salah satu anak buahnya maju lebih dulu, disusul Daffa yang tampak terlihat jengkel. Saat pintu dibuka, Loey mendadak muncul dan mengunci leher anak buah Daffa. Pria itu tak sempat melawan karena Loey langsung mematahkan lehernya, lalu mundur perlahan.Daffa membelala
Rachel memutuskan untuk menyerahkan diri demi menebus dosa-dosanya.Hingga hari pengadilan tiba, Rachel merasa puas melihat Daffa yang kacau, pasrah, seperti orang buangan. Tatapan pria itu kosong dan hanya menunggu putusan dari hakim.“Daffa Lintang Selatan, didakwa atas pasal pembunuhan berencana, pencurian, pengrusakan bukti, percobaan pembunuhan, dan pembunuhan terhadap seluruh korban keracunan massal, termasuk membersihkan tuduhan kepada Letto Barlie. Oleh karena itu, Daffa Lintang Selatan Resmi dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.”Hakim mengetuk palu tiga kali. Petugas pengadilan lantas menggiring kembali Daffa. Namun, pria itu sempat menatap nanar Rachel yang masih duduk di kursi terdakwa.Jackterkekeh, sementara Rachel tak lagi berusaha menyembunyikan tatapan jijiknya. “Wanita kuat yang berpura-pura lemah, ternyata lebih buruk.”***Elang Satya berdiri kokoh di atas cart khusus sutradara, tepatnya di ujung tebing. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Di tengah terik
Seorang pria botak berjaket bomber memasuki salah satu kafe terkenal. Dia berjalan agak gelisah, tapi berusaha terlihat tak terguncang. Mendekati meja paling pojok dekat jendela. Di mana di sana, satu pria lainnya sedang duduk santai. Pria tua—dengan berewok tipis dan kupluk hitam bergambar kartun Mickey Mouse—memainkan sebatang rokok tak berasap. Walau terlihat jelas kerutan di dahi dan ujung mata, gaya pria itu tampak trendy dengan balutan celana jeans dan kaos anak muda serba hitam. Kemudian dibalut dengan jaket kulit berantai yang warnanya hitam pula. Tubuhnya masih tegap dan dia menyemir ubannya dengan warna cokelat.Pelupuk mata pria itu menangkap kedatangan si pria botak. Datar, tanpa antusiasme sedikit pun.“Saya bermaksud melapor,” kata si pria botak sambil membungkukkan badan. Setelah menerima afirmasi dari Black berupa sekali anggukan, pria botak membisikkan sesuatu. Cukup singkat dan Black langsung paham apa artinya.“Bagaimana keadaan Angkara, Gery?” tanya Black, to the
Dalam perjalanan, mereka tak henti-hentinya bercengkerama. Bertanya tentang kondisi Angkara, pekerjaan Meydisha, hingga kegiatan yang dilakukan AUSTIC di mana Hanin sudah menerima tanggung jawab dari mendiang ayahnya.“Mey, kalian belum bisa pulang ke Jakarta, ya?” tanya Hanin.Disha mengangguk. “Walau Angkara sudah hampir pulih sepenuhnya, tapi kami memutuskan untuk tidak buru-buru pulang.” Loey lantas menginjak rem. Tidak terasa obrolan iseng mereka harus diakhiri sekarang.Angkara turun lebih dulu untuk membukakan pintu Meydisha. Keduanya diturunkan di depan kawasan apartement di Sydney. Tempat itu lebih tinggi, memiliki jauh lebih banyak lantai dibanting apartement Meydisha.Loey dan Hanin tak turun. Mereka hanya mengamati tempat itu dengan wajah takjub.“Wow, lantai berapa?” tanya Loey.“Delapan puluh, No. 5 Blok A, seringlah berkunjung,” kata Angkara menenteng tasnya.Seorang satpam datang dan membantu membawa koper milik Meydisha. Pria berbadan tambun itu siap mengantar pengh
Kursi-kursi di area auditorium tak sepenuhnya penuh. Namun, tak bisa dibilang sepi juga. Ada beberapa spot kosong baik di sayap kiri. Tampaknya penonton senang mengisi bagian tengah karena jarak pandang ke panggung lebih nyaman. Sementara seluruh murid baru akademi yang jumlahnya kurang dari seratus. Para penonton riuh. Kamera-kamera ponsel diangkat sejajar hidung. Momen baru ini perlu diabadikan dan dibagikan ke seluruh dunia. Akhirnya ada topik hiburan baru di jejaring sosial, selain politik atau skandal aktor dan aktris tentunya. Pernahkah kau mendengar perihal ketulusan yang dibabat habis oleh cinta? Cinta dan ketulusan. Ialah serangkai keindahan apabila bersatu. Namun, menjadi bencana bila salah satu di antaranya bertolak. Tidak semua orang dapat bersyukur pada ketulusan, melainkan lebih memilih mengabdi pada cinta sesaat. Guinevere seharusnya tidak pernah mencabut pedang dari ladang beracun. Dengan begitu, kasih cintanya tidak akan mengkhianati ketulusan Arthur. Pun, sang
17 Mei. Black menatap nanar tanggal di kalender yang ditandai coretan merah. Ini sudah bulan ketiga sejak kepindahannya dari Perancis ke Sydney 3 bulan lalu. Setelah melewati penantian panjang. Bersabar akan ketidakpastian pembalasan dendam. Akhirnya, puncak purnama tepat di atas kepala. Black beralih menuju jendela hotel yang berukuran kotak kecil. Hamparan jalan aspal tampak sunyi didampingi penerangan minim. Meski begitu, mata cokelat kegelapan Black berfokus pada satu titik. Foto Angkara di ponselnya.Black meregangkan otot-ototnya di sebuah bengkel yang sudah lama ditinggalkan pemilik. Dia menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi, lalu mengangkat satu kaki. Sepatu boots hitam diguncangkannya pelan.Akhinya dia menemukan tempat untuk bebas merokok. Kepulan asap keluar dari mulutnya. Rasanya pahit, tapi Black menikmatinya. Menurutnya, dia sudah kebal dengan segala kepahitan. Rokok ini bukanlah apa-apa.Si pria botak kembali menghampirinya, lalu memberikan hormat seperti seharusn
Pintu bagasi dibanting keras. Terkunci. Mayat Nyonya Willy terbungkus koper dan sudah dipastikan aman. Black menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan salju yang menempel. Tatapannya menelusur ke segala penjuru tempat. Meski pandangannya berkabut, dia pastikan jalanan itu kosong.Black kembali ke dalam. Meski dingin, Black merasa berkeringat karena melakukan rangkaian aksi memusnahkan bukti. Merembukkan ponsel Nyonya Willy. Membuka sarung tangannya dengan kasar dan buru-buru disembunyikan di bawah jok mobil. Batu besar itu juga telah dikubur bersama timbunan salju. Black meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana.“Halo, 911?” Puji syukur. Badai yang tak sedahsyat tadi mempermudah Black menelepon bantuan. Walau diperkirakan cuacanya naik-turun alias tidak stabil.“Ya, ya, ya. Ini Joseph Black. Mobil saya terjebak di badai salju sejak satu jam terakhir,” lontar Black.[Apakah Anda seorang diri? Tidak ada yang dalam kondisi serius? Seperti terluka atau terserang
Akhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d
Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan
Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar
“Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal
“Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt
Sam gaduh bahkan sebelum masuk ke dalam rumah Pak Letto. Menggendong tas di sebelah bahu selagi mengunci sebelah tangan Angkara. Sementara di sisi yang lain, Loey melakukan hal sama—bedanya bibir pria itu terkunci rapat. Walau sesekali tersungging karena peringatan protektif Sam pada Angkara. Dokter bilang memang Angkara sudah bisa dibawa pulang sebab kondisinya stabil, tapi Sam tetap khawatir. Anak laki-laki itu menjadi yang tersigap dalam menjaga orang nomor satu se-AUSTIC. Parno kalau kepalanya memunculkan efek vertigo yang membuat pria itu kehilangan keseimbangan. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, Sam terus saja berkata, awas!—di setiap langkah Angkara. Takut tersandunglah, takut menginjak kacalah, dan tak berhenti bertanya di bagian mana Angkara merasa sakit, dan seperti apa rasanya. “Sam, sudahlah. Kau ini berisik sekali, mengalahkan nenek-nenek!” dengus Angkara. Mereka meniti tangga-tangga kecil menuju ke teras rumah. Sementara itu, Hanin mengemudikan mobil dan hendak
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Meydisha. Kesadaran Meydisha tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering. “Angkara di mana, Bu?” tanyanya parau. “Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Angkara, langsung bersimpuh di bawah ranjang. Satu tangan Meydisha yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Angkara. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Angkara cemas. Meski yang sebenarnya Meydisha rasakan adalah dingin yang menusuk. Angkara Meydishagis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?” “Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Meydisha, pita suaranya setipis desau angin. Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Meydisha sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol,
Tumit Hanin menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Hanin kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Hanin tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas. Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Hanin dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet. Dia semangat menemani Loey lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana. Seperti orang bodoh, Hanin cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Hanin. Namun ketika memandang Loey dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu. Hanin merangkapk