Rachel memutuskan untuk menyerahkan diri demi menebus dosa-dosanya.Hingga hari pengadilan tiba, Rachel merasa puas melihat Daffa yang kacau, pasrah, seperti orang buangan. Tatapan pria itu kosong dan hanya menunggu putusan dari hakim.“Daffa Lintang Selatan, didakwa atas pasal pembunuhan berencana, pencurian, pengrusakan bukti, percobaan pembunuhan, dan pembunuhan terhadap seluruh korban keracunan massal, termasuk membersihkan tuduhan kepada Letto Barlie. Oleh karena itu, Daffa Lintang Selatan Resmi dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.”Hakim mengetuk palu tiga kali. Petugas pengadilan lantas menggiring kembali Daffa. Namun, pria itu sempat menatap nanar Rachel yang masih duduk di kursi terdakwa.Jackterkekeh, sementara Rachel tak lagi berusaha menyembunyikan tatapan jijiknya. “Wanita kuat yang berpura-pura lemah, ternyata lebih buruk.”***Elang Satya berdiri kokoh di atas cart khusus sutradara, tepatnya di ujung tebing. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Di tengah terik
Seorang pria botak berjaket bomber memasuki salah satu kafe terkenal. Dia berjalan agak gelisah, tapi berusaha terlihat tak terguncang. Mendekati meja paling pojok dekat jendela. Di mana di sana, satu pria lainnya sedang duduk santai. Pria tua—dengan berewok tipis dan kupluk hitam bergambar kartun Mickey Mouse—memainkan sebatang rokok tak berasap. Walau terlihat jelas kerutan di dahi dan ujung mata, gaya pria itu tampak trendy dengan balutan celana jeans dan kaos anak muda serba hitam. Kemudian dibalut dengan jaket kulit berantai yang warnanya hitam pula. Tubuhnya masih tegap dan dia menyemir ubannya dengan warna cokelat.Pelupuk mata pria itu menangkap kedatangan si pria botak. Datar, tanpa antusiasme sedikit pun.“Saya bermaksud melapor,” kata si pria botak sambil membungkukkan badan. Setelah menerima afirmasi dari Black berupa sekali anggukan, pria botak membisikkan sesuatu. Cukup singkat dan Black langsung paham apa artinya.“Bagaimana keadaan Angkara, Gery?” tanya Black, to the
Dalam perjalanan, mereka tak henti-hentinya bercengkerama. Bertanya tentang kondisi Angkara, pekerjaan Meydisha, hingga kegiatan yang dilakukan AUSTIC di mana Hanin sudah menerima tanggung jawab dari mendiang ayahnya.“Mey, kalian belum bisa pulang ke Jakarta, ya?” tanya Hanin.Disha mengangguk. “Walau Angkara sudah hampir pulih sepenuhnya, tapi kami memutuskan untuk tidak buru-buru pulang.” Loey lantas menginjak rem. Tidak terasa obrolan iseng mereka harus diakhiri sekarang.Angkara turun lebih dulu untuk membukakan pintu Meydisha. Keduanya diturunkan di depan kawasan apartement di Sydney. Tempat itu lebih tinggi, memiliki jauh lebih banyak lantai dibanting apartement Meydisha.Loey dan Hanin tak turun. Mereka hanya mengamati tempat itu dengan wajah takjub.“Wow, lantai berapa?” tanya Loey.“Delapan puluh, No. 5 Blok A, seringlah berkunjung,” kata Angkara menenteng tasnya.Seorang satpam datang dan membantu membawa koper milik Meydisha. Pria berbadan tambun itu siap mengantar pengh
Kursi-kursi di area auditorium tak sepenuhnya penuh. Namun, tak bisa dibilang sepi juga. Ada beberapa spot kosong baik di sayap kiri. Tampaknya penonton senang mengisi bagian tengah karena jarak pandang ke panggung lebih nyaman. Sementara seluruh murid baru akademi yang jumlahnya kurang dari seratus. Para penonton riuh. Kamera-kamera ponsel diangkat sejajar hidung. Momen baru ini perlu diabadikan dan dibagikan ke seluruh dunia. Akhirnya ada topik hiburan baru di jejaring sosial, selain politik atau skandal aktor dan aktris tentunya. Pernahkah kau mendengar perihal ketulusan yang dibabat habis oleh cinta? Cinta dan ketulusan. Ialah serangkai keindahan apabila bersatu. Namun, menjadi bencana bila salah satu di antaranya bertolak. Tidak semua orang dapat bersyukur pada ketulusan, melainkan lebih memilih mengabdi pada cinta sesaat. Guinevere seharusnya tidak pernah mencabut pedang dari ladang beracun. Dengan begitu, kasih cintanya tidak akan mengkhianati ketulusan Arthur. Pun, sang
17 Mei. Black menatap nanar tanggal di kalender yang ditandai coretan merah. Ini sudah bulan ketiga sejak kepindahannya dari Perancis ke Sydney 3 bulan lalu. Setelah melewati penantian panjang. Bersabar akan ketidakpastian pembalasan dendam. Akhirnya, puncak purnama tepat di atas kepala. Black beralih menuju jendela hotel yang berukuran kotak kecil. Hamparan jalan aspal tampak sunyi didampingi penerangan minim. Meski begitu, mata cokelat kegelapan Black berfokus pada satu titik. Foto Angkara di ponselnya.Black meregangkan otot-ototnya di sebuah bengkel yang sudah lama ditinggalkan pemilik. Dia menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi, lalu mengangkat satu kaki. Sepatu boots hitam diguncangkannya pelan.Akhinya dia menemukan tempat untuk bebas merokok. Kepulan asap keluar dari mulutnya. Rasanya pahit, tapi Black menikmatinya. Menurutnya, dia sudah kebal dengan segala kepahitan. Rokok ini bukanlah apa-apa.Si pria botak kembali menghampirinya, lalu memberikan hormat seperti seharusn
Pintu bagasi dibanting keras. Terkunci. Mayat Nyonya Willy terbungkus koper dan sudah dipastikan aman. Black menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan salju yang menempel. Tatapannya menelusur ke segala penjuru tempat. Meski pandangannya berkabut, dia pastikan jalanan itu kosong.Black kembali ke dalam. Meski dingin, Black merasa berkeringat karena melakukan rangkaian aksi memusnahkan bukti. Merembukkan ponsel Nyonya Willy. Membuka sarung tangannya dengan kasar dan buru-buru disembunyikan di bawah jok mobil. Batu besar itu juga telah dikubur bersama timbunan salju. Black meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana.“Halo, 911?” Puji syukur. Badai yang tak sedahsyat tadi mempermudah Black menelepon bantuan. Walau diperkirakan cuacanya naik-turun alias tidak stabil.“Ya, ya, ya. Ini Joseph Black. Mobil saya terjebak di badai salju sejak satu jam terakhir,” lontar Black.[Apakah Anda seorang diri? Tidak ada yang dalam kondisi serius? Seperti terluka atau terserang
Hari terakhir Angkara bekerja sebelum cuti. Enam bulan sejak insiden itu, Reyvan membuat sosok Angkara terlihat pulih lebih cepat. Selama ia menetap di Sydney, proyek syutingnya masih sama, soal Fantasia. Daniel memberitahunya kalau temannya alias seorang sutradara asli yang punya proyek ini siap mengambil alih untuk musim kedua.Memang benar, koneksi Daniel yanng cuma seorang dokter bedah bukan main luasnya. Namun bagi Reyvan, itu wajar. Sejak kecil, bocah itu memang suka sekali mengobrol. Kembali lagi ke mode Angkara yang semangatnya membumbung tinggi. Dilihat dari binar gembira dan senyuman lebar yang ditorehkan sejak bangun pagi. Caranya melahap roti bakar pun sambil berseri-seri. Otaknya memutar ulang aksi semalem. Puas sekali ia melempar Meydisha yang hanya mengenakan satu kain selimut hingga membentur lantai. Sialan, gadis itu sangat sesuatu.Hebatnya, dia hanya terdengar meringis sedikit. Apa dia begitu pasrah ketika sedang bersama Angkara asli?“Kamu tahu? Aku seperti melade
“Hai, Bro, long time no see.” Reyvan yang pertama kali menyambut Daniel dengan pelukan pria jantan di lorong belakang teater. Mereka bertemu dalam rangka simulasi drama Fantasia di depan para pejabat pemerintahan. Simulasi ini bertujuan sebagai sosialisasi dan pendekatan, sebelum proyek tersebut benar-benar diimplementasikan ke dunia nyata.“Wah! Beberapa bulan sejak aku mengoperasimu dan hasilnya makin terlihat sempurna sekarang,” bisik Daniel.“Tentu saja, aku mengakui hasil kerjamu tiada duanya,” puji Reyvan. “Ayo. Kau harus menonton aksiku. Oh, iya kebetulan namamu persis ada dalam naskah. Kudedikasikan untukmu.”Sebenarnya, tidak ada namanya dedikasi. Hati Reyvan telanjur mati untuk memiliki keputusan. Hal itu dilakukannya agar mereka impas. Reyvan tidak suka berutang budi, tapi kini Daniel telah selesai jadi bonekanya. Jikalau suatu saat nanti dia membahayakan perannya apalagi sampai mendekati Meydisha, Reyvan tidak akan segan menebas kepala pria itu.“Apa wajahmu memengaruhi pl