17 Mei. Black menatap nanar tanggal di kalender yang ditandai coretan merah. Ini sudah bulan ketiga sejak kepindahannya dari Perancis ke Sydney 3 bulan lalu. Setelah melewati penantian panjang. Bersabar akan ketidakpastian pembalasan dendam. Akhirnya, puncak purnama tepat di atas kepala. Black beralih menuju jendela hotel yang berukuran kotak kecil. Hamparan jalan aspal tampak sunyi didampingi penerangan minim. Meski begitu, mata cokelat kegelapan Black berfokus pada satu titik. Foto Angkara di ponselnya.Black meregangkan otot-ototnya di sebuah bengkel yang sudah lama ditinggalkan pemilik. Dia menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi, lalu mengangkat satu kaki. Sepatu boots hitam diguncangkannya pelan.Akhinya dia menemukan tempat untuk bebas merokok. Kepulan asap keluar dari mulutnya. Rasanya pahit, tapi Black menikmatinya. Menurutnya, dia sudah kebal dengan segala kepahitan. Rokok ini bukanlah apa-apa.Si pria botak kembali menghampirinya, lalu memberikan hormat seperti seharusn
Pintu bagasi dibanting keras. Terkunci. Mayat Nyonya Willy terbungkus koper dan sudah dipastikan aman. Black menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan salju yang menempel. Tatapannya menelusur ke segala penjuru tempat. Meski pandangannya berkabut, dia pastikan jalanan itu kosong.Black kembali ke dalam. Meski dingin, Black merasa berkeringat karena melakukan rangkaian aksi memusnahkan bukti. Merembukkan ponsel Nyonya Willy. Membuka sarung tangannya dengan kasar dan buru-buru disembunyikan di bawah jok mobil. Batu besar itu juga telah dikubur bersama timbunan salju. Black meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana.“Halo, 911?” Puji syukur. Badai yang tak sedahsyat tadi mempermudah Black menelepon bantuan. Walau diperkirakan cuacanya naik-turun alias tidak stabil.“Ya, ya, ya. Ini Joseph Black. Mobil saya terjebak di badai salju sejak satu jam terakhir,” lontar Black.[Apakah Anda seorang diri? Tidak ada yang dalam kondisi serius? Seperti terluka atau terserang
Hari terakhir Angkara bekerja sebelum cuti. Enam bulan sejak insiden itu, Reyvan membuat sosok Angkara terlihat pulih lebih cepat. Selama ia menetap di Sydney, proyek syutingnya masih sama, soal Fantasia. Daniel memberitahunya kalau temannya alias seorang sutradara asli yang punya proyek ini siap mengambil alih untuk musim kedua.Memang benar, koneksi Daniel yanng cuma seorang dokter bedah bukan main luasnya. Namun bagi Reyvan, itu wajar. Sejak kecil, bocah itu memang suka sekali mengobrol. Kembali lagi ke mode Angkara yang semangatnya membumbung tinggi. Dilihat dari binar gembira dan senyuman lebar yang ditorehkan sejak bangun pagi. Caranya melahap roti bakar pun sambil berseri-seri. Otaknya memutar ulang aksi semalem. Puas sekali ia melempar Meydisha yang hanya mengenakan satu kain selimut hingga membentur lantai. Sialan, gadis itu sangat sesuatu.Hebatnya, dia hanya terdengar meringis sedikit. Apa dia begitu pasrah ketika sedang bersama Angkara asli?“Kamu tahu? Aku seperti melade
“Hai, Bro, long time no see.” Reyvan yang pertama kali menyambut Daniel dengan pelukan pria jantan di lorong belakang teater. Mereka bertemu dalam rangka simulasi drama Fantasia di depan para pejabat pemerintahan. Simulasi ini bertujuan sebagai sosialisasi dan pendekatan, sebelum proyek tersebut benar-benar diimplementasikan ke dunia nyata.“Wah! Beberapa bulan sejak aku mengoperasimu dan hasilnya makin terlihat sempurna sekarang,” bisik Daniel.“Tentu saja, aku mengakui hasil kerjamu tiada duanya,” puji Reyvan. “Ayo. Kau harus menonton aksiku. Oh, iya kebetulan namamu persis ada dalam naskah. Kudedikasikan untukmu.”Sebenarnya, tidak ada namanya dedikasi. Hati Reyvan telanjur mati untuk memiliki keputusan. Hal itu dilakukannya agar mereka impas. Reyvan tidak suka berutang budi, tapi kini Daniel telah selesai jadi bonekanya. Jikalau suatu saat nanti dia membahayakan perannya apalagi sampai mendekati Meydisha, Reyvan tidak akan segan menebas kepala pria itu.“Apa wajahmu memengaruhi pl
Bolak-balik Angkara memangku tumpukan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Bagian Meydisha menyiapkan perlengkapan dan perbekalan, termasuk makanan, minuman, obat-obatan dan P3K.Keduanya telah meninjau pulau pribadi berhari-hari. Pulau itu memang menjadi hak milik Angkara dan Meydisha, tapi yang menjaganya tidak berubah. Ialah keluarga Luthers, ada Pak James Luther, Bu Kareen Luther, dan—satu-satunya bayi laki-laki berusia enam bulan—Jake Luther.Mereka adalah imigran legal yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk merawat pulau-pulau tak berpenghuni. Tentunya dibantu fasilitas lengkap berikut tempat tinggal, sandang, pangan, dan keamanan. Serta ada tim yang akan melakukan pemeriksaan berkala setiap tahunnya.Meski baru berkomunikasi secara virtual dengan Pak Luther, Angkara mendapat kesan baik dari obrolan mereka.Bagi Angkara, Pak Luther adalah sosok yang bersahaja. Tidak, sebenarnya Reyvan pribadi suka tampang pria tua itu yang terlihat lemah.Meydisha menggeser gorden raksasa
Pesawat melesat di atas ketinggian 1000 kaki. Menyewa pesawat pribadi adalah hal yang baru dicoba sekali oleh Meydisha seumur hidupnya. Sekaligus momen terbaik dari yang pernah dilewati. Angkara bisa saja membuat mereka berangkat dengan helikopter, itu sudah lebih dari cukup. Tapi katanya, kalau dia mampu melakukan hal yang lebih besar untuk Meydisha, dia akan melakukannya.Ini sempurna! Benak Meydisha.Bayangkan, hanya ada Angkara, dua pramugari, dan kru pilot. Tidak ada kursi penuh. Tidak ada suara dengkuran. Tidak ada tangis anak kecil. Tidak ada orang yang muntah. Tidak ada pramugara atau pramugari yang sibuk mondar-mandir.Meydisha mencondongkan lehernya ke jendela. Gumpalan awan terlihat amat dekat, dan itu menakjubkan. Agak pegal, dia menunduk. Di bawah sana perasaannya campur aduk—dalam konotasi positif.Menjulangnya pegunungan dan bukit yang hijau menerpakan efek ketenangan. Namun, ketika melewati samudera lepas, Meydisha bergidik ngeri. Mata birunya meneropong jauh pada dala
Cheers!Terkejut. Dada Loey terlonjak ketika sorak bahagia tercampur dalam denting 4 kaleng dan satu cangkir air putih. Perayaan kecil-kecilan ini untuk kesembuhan Loey, tapi pria itu lupa caranya berpesta. Dia sering diam dan hanya berbicara kalau ditanya.Yang paling banyak mengoceh adalah Hanin. Tangannya aktif menyambar ayam, lalu pindah ke camilan, kemudian ke kaleng soda, dan mengulanginya lagi. Berkali-kali, sampai pipinya mengembung penuh.“Sayang sekali, Kak Loey tidak bebas makan,” kata Hanin tak berhenti mengunyah.“Pelan-pelan ... tidak akan ada yang merebut makananmu,” tegur Angkara.Dia mencabut tisu dan mengelap sisa-sisa saus dan remahan di pinggir mulur Hanin.“Jadi, Angkara bilang kalian sedang simulasi pacaran. Apa seperti ini tampaknya?” goda Hanin.Angkara dan Hanin saling berpandangan. Salah tingkah, Angkara menjejalkan tisu itu ke hidung Hanin. “Aaaa!” ringis gadis itu.Hanin membelalak. “Apa-apaan? Kenapa berubah genre jadi komedi?”“Komedian apanya Kak! Kalau
Sekeresek penuh eskrim ditenteng Loey. Dia menyelaraskan langkahnya dengan Hanin. Gadis yang sibuk menatap bintang-bintang itu tampak berjalan pelan. Udara malam amat sejuk dan sayang untuk dilewatkan.“Apa Ayah merindukanku di atas sana?”Loey terkesiap akan pertanyaan Hanin. Padahal tadinya, dia tengah menghitung berapa banyak eskrim yang dibawa. Takut kalau kurang karena beberapa anak AUSTIC di tongkrongan juga menitip.Eskrim-eskrim itu dikesampingkannya. “Sudah jelas jawabannya, dia juga merindukanmu.”“Lalu, kenapa Ayah tidak pernah lagi muncul di mimpiku? Padahal aku sangat ingin melihat wajahnya,” keluh Hanin.“Dia khawatir kamu akan sedih,” ujar Loey.Hanin terkekeh pilu. Menendang kerikil di depannya.“Sedih? Cuma dengan melihat Ayah, aku bisa bahagia.”“Pembohong,” gumam Loey memicingkan mata.“Apa?” Hanin berhenti melangkah. Menunggu Loey mengulang bicara agar omelan-omelan di mulutnya bisa lepas kandang. Namun, pria itu justru memandang Hanin lembut. Omelan-omelan itu tak