Sekeresek penuh eskrim ditenteng Loey. Dia menyelaraskan langkahnya dengan Hanin. Gadis yang sibuk menatap bintang-bintang itu tampak berjalan pelan. Udara malam amat sejuk dan sayang untuk dilewatkan.“Apa Ayah merindukanku di atas sana?”Loey terkesiap akan pertanyaan Hanin. Padahal tadinya, dia tengah menghitung berapa banyak eskrim yang dibawa. Takut kalau kurang karena beberapa anak AUSTIC di tongkrongan juga menitip.Eskrim-eskrim itu dikesampingkannya. “Sudah jelas jawabannya, dia juga merindukanmu.”“Lalu, kenapa Ayah tidak pernah lagi muncul di mimpiku? Padahal aku sangat ingin melihat wajahnya,” keluh Hanin.“Dia khawatir kamu akan sedih,” ujar Loey.Hanin terkekeh pilu. Menendang kerikil di depannya.“Sedih? Cuma dengan melihat Ayah, aku bisa bahagia.”“Pembohong,” gumam Loey memicingkan mata.“Apa?” Hanin berhenti melangkah. Menunggu Loey mengulang bicara agar omelan-omelan di mulutnya bisa lepas kandang. Namun, pria itu justru memandang Hanin lembut. Omelan-omelan itu tak
Kayu-kayu jembatan kecil itu basah. Riak sungai di bawahnya cukup membuat Meydisha ngeri. Dia berhati-hati supaya tidak tergelincir, sementara pandangan di hadapannya kabur karena derasnya hujan.Kalau saja rumah Pak Luther jauh, dia tidak akan sudi menerjang dinginnya pulau. Namun dari jembatan, terlihat sedikit bagian dinding belakang kantor pusat. Artinya dekat. Artinya dia tidak perlu kerepotan. Namun, nyatanya ini merepotkan. Setelah jembatan, masih ada tanah becek dan semak belukar di kedua sisi.Dan, Meydisha amat membencinya.Ujung celana perempuan itu dipastikan tergulung agar tidak basah. Dinding kantor pusat makin dekat. Namun, Meydisha memilih untuk berhenti sebelum sampai karena sesuatu menggugah perhatiannya. Racauan kegelisahan menggumul bersama gemuruh petir berjejal masuk ke telinga Meydisha.Ia memicingkan mata pada sosok gadis sebaya Meydisha di bawah jendela belakang. Wajahnya pucat dengan lutut ditekuk. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Sedikit khawatir, Meydisha me
Saling bertautnya tangan Loey dan Hanin menambah kelegitan pada malam itu. Mereka mencoba beradaptasi pada hubungan ini sebaik mungkin. Semburat merah muda kerap kali muncul di kedua bilah pipi Hanin. Gadis itu mendadak seperti putri malu yang menguncup disentuh senyuman Loey.Sementara untuk Loey, ini merupakan hal baru baginya. Setelah melewati puluhan purnama, akhirnya dia membuka diri untuk orang lain—tepatnya, teman; sahabat; kerabat kerja. Dia bingung sendiri menentukan peran Hanin sebelum dia memilihnya menjadi yang teristimewa. Karena dulu di mata Loey, semua orang yang berada di sekelilingnya berada dalam satu garis lurus. Orang-orang asing yang punya tujuan ketika berkomunikasi dengannya.Mereka sekadar bertemu. Melakukan tugas dan tujuan, lalu berpisah. Kemudian dia akan mendapati dirinya seorang diri—di kamar kosong dan sepi—selepas bekerja seharian.Menyingkirkan perasaan canggung dari status pertemanan jadi tantangan tersendiri untuk keduanya.“Loey?” celetuk Hanin.“Hm?
Stik eskrim masih betah bertengger di mulut kecil nan tipis Hanin. Tidak tersisa lagi perisa susu di permukaan kayu, lidahnya tinggal mengecap rasa pahit. Di teras, gadis itu termenung lesu menatap langit malam. Kakinya terus mengayun lambat.Merasa sebal, Jasper merebut paksa stik dan melemparkannya ke tanah.“Astaga, buang saja! Bisa-bisa benda itu menusuk tenggorokanmu!”“Kak Jasper!” protes Hanin memajukan bibirnya.“Kenapa, sih? Apa yang membuat suasana hatimu buruk,” tanya Jasper selalu dengan senyum tengilnya. Pergelangan tangan kekarnya menekan sebelah bahu Hanin sampai membuatnya miring.Entah sejak kapan kebiasaan itu dimulai. Akhir-akhir ini Hanin sering jadi topangan bagi Jasper. Sadar tidak sadar, pria itu refleks melakukan skinship seakan-akan ada magnet di dalam tubuh Hanin.Si gadis berkuncir bergeser. “Jauhkan tanganmu! Berat tahu!” gerutunya.“Kakak pikir, kamu cukup kuat untuk nahan beban,” ledek Jasper.“Bisa diem nggak? Aku lagi badmood ....”“Kasih tahu dulu, ken
“Ya, Loey. Kirimkan semua yang sudah kusebutkan tadi ke markas AUSTIC. Ingat! Ambil jalan yang berbeda dari lokasi, jangan sampai helikopter kita diketahui massa. Mereka akan segera menyembunyikan para sandera karena mengira ada penertiban lewat udara,” terang Hanin. Ia menelepon sambil terus-menerus mondar-mandir di tanah lapang bagian belakang markas. Mereka sudah mendapat dukungan penuh dari induk perusahaan yaitu PYRAMID. Hanin mengelola perusahaan teknologi itu dan memanfaatkannya untuk membentuk organisasi.Kini, AUSTIC bukan sekadar rumah bagi anak-anak tanpa orang tua. Melainkan di dalamnya, terbentuk sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial dan keamanan berbasis teknologi. Tujuannya biar anak-anak AUSTIC bisa hidup terjamin di bawah naungan PYRAMID.Lapangan sebesar stadion bola itu tembus lewat garasi kediaman mendiang Pak Letto. Dikelilingi ratusan mes yang jadi tempat tinggal anggota AUSTIC, kecuali Angkara, Sam, dan Hanin. Ketiganya memenuhi permintaan khusus Hani
Kelopak mata Meydisha terbuka kasar. Seiring dengan deru napas yang belum beraturan. Mimpi yang mampir terasa amat melelahkan. Dia tidak mengingat secara detail, tapi mimpi itu meninggalkan bekas kekhawatiran menyesakkan di relung hati. Namun, dia penasaran akan penyebabnya. Mimpi seperti apa itu?Berbaring menyamping membelakangi Angkara, Meydisha tertegun. Terdapat sedikit celah untuk mengingat. Kilasan mimpi itu tergambar dalam potongan-potongan kecil. berbumbu kegelapan yang menyelimuti di dalamnya. Angkara. Pulau itu.Punggung suaminya tampak menjauh. Berlari terus-menerus masuk ke dalam gelapnya hutan di Pulau fantasia. Tidak peduli seberapa keras dia memekikkan nama Angkara, pria itu tak kunjung berbalik. Dia seolah terjebak di dalamnya, tanpa mengucapkan selamat tinggal.Meydisha mendapati dirinya roboh. Bersimpuh di atas pasir sembari tak henti-hentinya memohon. Hatinya bagai dipukul besi. Tangis darah mengalir dari pelupuk mata, lalu ke turun pipi. Bahkan saat setiap tetesny
Mulai!Petasan menyembur di udara, disusul perintah Hanin di earphone yang menembus gendang telinga semua anggota AUSTIC. Separuh dari mereka segera menyalurkan adrenalin pada ruas-ruas jari yang memegang remote kontrol.Hanin berjongkok di depan pasukannya. Sebuah seringai keluar.“Saatnya bermain game,” ujar sambil mengendalikan remote itu.Di saat perhatian para perusuh tertuju pada letupan demi letupan, mobil-mobilan mini meluncur ke jalanan setidaknya berasal dari empat gang—tempat AUSTIC bersembunyi; tepatnya di belakang gedung-gedung besar. Di atas benda itu terikat senjata berbentuk peluru besar yang mengandung bahan peledak. Kabel-kabel merah, hitam, dan biru melilit acak dan keawaman mereka kian menambah ketakutan.Jumlah mobil bom melebihi jumlah perusuh. Benda itu mendekati semua perusuh, terutama di empat titik yang menyandera warga-warga sipil di depan mereka. Tidak peduli mereka lansia, wanita hamil, pelajar, pria atau wanita sakit-sakitan—semua dibuat bertekuk lutut d
Jalanan mengabut. Karbon dioksida lepas diterpakan angin dan membungkus para perusuh. AUSTIC, terkecuali Hanin aman dari terpaan gas itu. Orang-orang itu saling bertabrakan, terhuyung tanpa arah sambil menekan dada. Kewalahan akan udara yang mereka hirup malah menekan dada mereka. Hanin pun terbatuk-batuk, tapi dia mencoba mengumpulkan kekuatannya. Semula, dia menutup hidungnya dengan siku. Bertiarap dan menghirup napas sedikit demi sedikit. Meminimalir gas menyakiti paru-parunya. Kelopak mata Hanin perih, campur mengantuk. Gadis itu berkali-kali menyentakkan kedua alisnya agar terjaga. Tidak peduli berapa banyak kekuatan yang ditumpukan ke lututnya—untuk mendorong tubuhnya bangkit—dia selalu bergesekkan lagi dengan aspal. Tidak lama, karena Hanin merasa dunianya berputar ... serta hangat. Loey menekankan wajah Hanin ke dada bidangnya. Dia berlari, menggendong ala bridal style. Raut wajah serius dan kecemasan yang berusaha ditutupinya agar fokus ke tujuan. Menjauhkan Hanin dari pen