Mulai!Petasan menyembur di udara, disusul perintah Hanin di earphone yang menembus gendang telinga semua anggota AUSTIC. Separuh dari mereka segera menyalurkan adrenalin pada ruas-ruas jari yang memegang remote kontrol.Hanin berjongkok di depan pasukannya. Sebuah seringai keluar.“Saatnya bermain game,” ujar sambil mengendalikan remote itu.Di saat perhatian para perusuh tertuju pada letupan demi letupan, mobil-mobilan mini meluncur ke jalanan setidaknya berasal dari empat gang—tempat AUSTIC bersembunyi; tepatnya di belakang gedung-gedung besar. Di atas benda itu terikat senjata berbentuk peluru besar yang mengandung bahan peledak. Kabel-kabel merah, hitam, dan biru melilit acak dan keawaman mereka kian menambah ketakutan.Jumlah mobil bom melebihi jumlah perusuh. Benda itu mendekati semua perusuh, terutama di empat titik yang menyandera warga-warga sipil di depan mereka. Tidak peduli mereka lansia, wanita hamil, pelajar, pria atau wanita sakit-sakitan—semua dibuat bertekuk lutut d
Jalanan mengabut. Karbon dioksida lepas diterpakan angin dan membungkus para perusuh. AUSTIC, terkecuali Hanin aman dari terpaan gas itu. Orang-orang itu saling bertabrakan, terhuyung tanpa arah sambil menekan dada. Kewalahan akan udara yang mereka hirup malah menekan dada mereka. Hanin pun terbatuk-batuk, tapi dia mencoba mengumpulkan kekuatannya. Semula, dia menutup hidungnya dengan siku. Bertiarap dan menghirup napas sedikit demi sedikit. Meminimalir gas menyakiti paru-parunya. Kelopak mata Hanin perih, campur mengantuk. Gadis itu berkali-kali menyentakkan kedua alisnya agar terjaga. Tidak peduli berapa banyak kekuatan yang ditumpukan ke lututnya—untuk mendorong tubuhnya bangkit—dia selalu bergesekkan lagi dengan aspal. Tidak lama, karena Hanin merasa dunianya berputar ... serta hangat. Loey menekankan wajah Hanin ke dada bidangnya. Dia berlari, menggendong ala bridal style. Raut wajah serius dan kecemasan yang berusaha ditutupinya agar fokus ke tujuan. Menjauhkan Hanin dari pen
Meydisha memeluk punggung sofa, pipinya mengembung di bagian atas. Cemberut. Dia sudah seperti itu sejak Angkara memberitahunya kalau kemungkinan teman-temannya batal datang. “Ayo!” seru Angkara, mencolek pipi istrinya sambil berlalu. Keluar dari singgasana megah dan damai, tapi berbahaya saking nyamannya. Kalau mereka terus di situ, bisa-bisa dalam waktu sebulan pulau pribadi itu tak tereksplor. Dihabiskan 24 jam di kasur adem, sofa empuk, cemilan banyak, sambil menonton film kesukaan. Pastinya, Angkara dan Meydisha akan melakukan itu. Tapi nanti, setelah daftar petualangan mereka di pulau pribadi terceklis. Sangat menyenangkan bagi Meydisha saat tahu bucket list-nya memuat hal-hal yang belum dicoba sepanjang hidup. Namun ketika jadwal petualangannya tiba, kabar menjengkelkan sialan merusak harinya. Padahal, dia menantikan kedatangan teman-temannya. Pasti heboh kalau mereka tahu pulau ini begitu menakjubkan dari sekadar yang ditampilkan di layar ponsel. Mau tidak mau, berapa pu
Pak Luther tertegun. Menatap kosong genangan air yang menutupi dadanya. Tidak ada tanda-tanda bahaya. Hanya ada seekor hiu yang kini terapung karena baterainya habis, atau malah koneksinya diputuskan. “Mereka bahkan membuat robot hiu dan membalutnya dengan kulit asli,” tutur Pak Luther terkekeh pilu, “Dan, mereka juga menguliti kehidupanku. Kenapa aku harus terjebak di sini, Dasar Pecundang.” Karena pengaruh obat bius di pembuluh darah habis, kelopak mata Angkara berkedut. Laki-laki itu meninggalkan alam bawah sadar yang menyenyakkan. Namun ketika kembali, seluruh badannya terasa sakit dan berat. Bulu-bulu matanya terangkat. Menyibakkan pemandangan plafon cokelat. Lampu gantung berwarna emas di atasnya mengabur. Berlapis menjadi beberapa bagian dan tampak berbayang. Telinganya berdenging sesaat, lalu suara-suara di sekitarnya mulai tertangkap jelas. “Angkara? Kamu sudah sadar?” tanya wanita bersuara tegas, itu Hanin. Suara laki-laki lainnya berteriak memanggil dokter. Loey. Angka
Tumit Hanin menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Hanin kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Hanin tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas. Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Hanin dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet. Dia semangat menemani Loey lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana. Seperti orang bodoh, Hanin cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Hanin. Namun ketika memandang Loey dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu. Hanin merangkapk
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Meydisha. Kesadaran Meydisha tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering. “Angkara di mana, Bu?” tanyanya parau. “Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Angkara, langsung bersimpuh di bawah ranjang. Satu tangan Meydisha yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Angkara. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Angkara cemas. Meski yang sebenarnya Meydisha rasakan adalah dingin yang menusuk. Angkara Meydishagis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?” “Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Meydisha, pita suaranya setipis desau angin. Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Meydisha sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol,
Sam gaduh bahkan sebelum masuk ke dalam rumah Pak Letto. Menggendong tas di sebelah bahu selagi mengunci sebelah tangan Angkara. Sementara di sisi yang lain, Loey melakukan hal sama—bedanya bibir pria itu terkunci rapat. Walau sesekali tersungging karena peringatan protektif Sam pada Angkara. Dokter bilang memang Angkara sudah bisa dibawa pulang sebab kondisinya stabil, tapi Sam tetap khawatir. Anak laki-laki itu menjadi yang tersigap dalam menjaga orang nomor satu se-AUSTIC. Parno kalau kepalanya memunculkan efek vertigo yang membuat pria itu kehilangan keseimbangan. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, Sam terus saja berkata, awas!—di setiap langkah Angkara. Takut tersandunglah, takut menginjak kacalah, dan tak berhenti bertanya di bagian mana Angkara merasa sakit, dan seperti apa rasanya. “Sam, sudahlah. Kau ini berisik sekali, mengalahkan nenek-nenek!” dengus Angkara. Mereka meniti tangga-tangga kecil menuju ke teras rumah. Sementara itu, Hanin mengemudikan mobil dan hendak
“Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt