Bolak-balik Angkara memangku tumpukan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Bagian Meydisha menyiapkan perlengkapan dan perbekalan, termasuk makanan, minuman, obat-obatan dan P3K.Keduanya telah meninjau pulau pribadi berhari-hari. Pulau itu memang menjadi hak milik Angkara dan Meydisha, tapi yang menjaganya tidak berubah. Ialah keluarga Luthers, ada Pak James Luther, Bu Kareen Luther, dan—satu-satunya bayi laki-laki berusia enam bulan—Jake Luther.Mereka adalah imigran legal yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk merawat pulau-pulau tak berpenghuni. Tentunya dibantu fasilitas lengkap berikut tempat tinggal, sandang, pangan, dan keamanan. Serta ada tim yang akan melakukan pemeriksaan berkala setiap tahunnya.Meski baru berkomunikasi secara virtual dengan Pak Luther, Angkara mendapat kesan baik dari obrolan mereka.Bagi Angkara, Pak Luther adalah sosok yang bersahaja. Tidak, sebenarnya Reyvan pribadi suka tampang pria tua itu yang terlihat lemah.Meydisha menggeser gorden raksasa
Pesawat melesat di atas ketinggian 1000 kaki. Menyewa pesawat pribadi adalah hal yang baru dicoba sekali oleh Meydisha seumur hidupnya. Sekaligus momen terbaik dari yang pernah dilewati. Angkara bisa saja membuat mereka berangkat dengan helikopter, itu sudah lebih dari cukup. Tapi katanya, kalau dia mampu melakukan hal yang lebih besar untuk Meydisha, dia akan melakukannya.Ini sempurna! Benak Meydisha.Bayangkan, hanya ada Angkara, dua pramugari, dan kru pilot. Tidak ada kursi penuh. Tidak ada suara dengkuran. Tidak ada tangis anak kecil. Tidak ada orang yang muntah. Tidak ada pramugara atau pramugari yang sibuk mondar-mandir.Meydisha mencondongkan lehernya ke jendela. Gumpalan awan terlihat amat dekat, dan itu menakjubkan. Agak pegal, dia menunduk. Di bawah sana perasaannya campur aduk—dalam konotasi positif.Menjulangnya pegunungan dan bukit yang hijau menerpakan efek ketenangan. Namun, ketika melewati samudera lepas, Meydisha bergidik ngeri. Mata birunya meneropong jauh pada dala
Cheers!Terkejut. Dada Loey terlonjak ketika sorak bahagia tercampur dalam denting 4 kaleng dan satu cangkir air putih. Perayaan kecil-kecilan ini untuk kesembuhan Loey, tapi pria itu lupa caranya berpesta. Dia sering diam dan hanya berbicara kalau ditanya.Yang paling banyak mengoceh adalah Hanin. Tangannya aktif menyambar ayam, lalu pindah ke camilan, kemudian ke kaleng soda, dan mengulanginya lagi. Berkali-kali, sampai pipinya mengembung penuh.“Sayang sekali, Kak Loey tidak bebas makan,” kata Hanin tak berhenti mengunyah.“Pelan-pelan ... tidak akan ada yang merebut makananmu,” tegur Angkara.Dia mencabut tisu dan mengelap sisa-sisa saus dan remahan di pinggir mulur Hanin.“Jadi, Angkara bilang kalian sedang simulasi pacaran. Apa seperti ini tampaknya?” goda Hanin.Angkara dan Hanin saling berpandangan. Salah tingkah, Angkara menjejalkan tisu itu ke hidung Hanin. “Aaaa!” ringis gadis itu.Hanin membelalak. “Apa-apaan? Kenapa berubah genre jadi komedi?”“Komedian apanya Kak! Kalau
Sekeresek penuh eskrim ditenteng Loey. Dia menyelaraskan langkahnya dengan Hanin. Gadis yang sibuk menatap bintang-bintang itu tampak berjalan pelan. Udara malam amat sejuk dan sayang untuk dilewatkan.“Apa Ayah merindukanku di atas sana?”Loey terkesiap akan pertanyaan Hanin. Padahal tadinya, dia tengah menghitung berapa banyak eskrim yang dibawa. Takut kalau kurang karena beberapa anak AUSTIC di tongkrongan juga menitip.Eskrim-eskrim itu dikesampingkannya. “Sudah jelas jawabannya, dia juga merindukanmu.”“Lalu, kenapa Ayah tidak pernah lagi muncul di mimpiku? Padahal aku sangat ingin melihat wajahnya,” keluh Hanin.“Dia khawatir kamu akan sedih,” ujar Loey.Hanin terkekeh pilu. Menendang kerikil di depannya.“Sedih? Cuma dengan melihat Ayah, aku bisa bahagia.”“Pembohong,” gumam Loey memicingkan mata.“Apa?” Hanin berhenti melangkah. Menunggu Loey mengulang bicara agar omelan-omelan di mulutnya bisa lepas kandang. Namun, pria itu justru memandang Hanin lembut. Omelan-omelan itu tak
Kayu-kayu jembatan kecil itu basah. Riak sungai di bawahnya cukup membuat Meydisha ngeri. Dia berhati-hati supaya tidak tergelincir, sementara pandangan di hadapannya kabur karena derasnya hujan.Kalau saja rumah Pak Luther jauh, dia tidak akan sudi menerjang dinginnya pulau. Namun dari jembatan, terlihat sedikit bagian dinding belakang kantor pusat. Artinya dekat. Artinya dia tidak perlu kerepotan. Namun, nyatanya ini merepotkan. Setelah jembatan, masih ada tanah becek dan semak belukar di kedua sisi.Dan, Meydisha amat membencinya.Ujung celana perempuan itu dipastikan tergulung agar tidak basah. Dinding kantor pusat makin dekat. Namun, Meydisha memilih untuk berhenti sebelum sampai karena sesuatu menggugah perhatiannya. Racauan kegelisahan menggumul bersama gemuruh petir berjejal masuk ke telinga Meydisha.Ia memicingkan mata pada sosok gadis sebaya Meydisha di bawah jendela belakang. Wajahnya pucat dengan lutut ditekuk. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Sedikit khawatir, Meydisha me
Saling bertautnya tangan Loey dan Hanin menambah kelegitan pada malam itu. Mereka mencoba beradaptasi pada hubungan ini sebaik mungkin. Semburat merah muda kerap kali muncul di kedua bilah pipi Hanin. Gadis itu mendadak seperti putri malu yang menguncup disentuh senyuman Loey.Sementara untuk Loey, ini merupakan hal baru baginya. Setelah melewati puluhan purnama, akhirnya dia membuka diri untuk orang lain—tepatnya, teman; sahabat; kerabat kerja. Dia bingung sendiri menentukan peran Hanin sebelum dia memilihnya menjadi yang teristimewa. Karena dulu di mata Loey, semua orang yang berada di sekelilingnya berada dalam satu garis lurus. Orang-orang asing yang punya tujuan ketika berkomunikasi dengannya.Mereka sekadar bertemu. Melakukan tugas dan tujuan, lalu berpisah. Kemudian dia akan mendapati dirinya seorang diri—di kamar kosong dan sepi—selepas bekerja seharian.Menyingkirkan perasaan canggung dari status pertemanan jadi tantangan tersendiri untuk keduanya.“Loey?” celetuk Hanin.“Hm?
Stik eskrim masih betah bertengger di mulut kecil nan tipis Hanin. Tidak tersisa lagi perisa susu di permukaan kayu, lidahnya tinggal mengecap rasa pahit. Di teras, gadis itu termenung lesu menatap langit malam. Kakinya terus mengayun lambat.Merasa sebal, Jasper merebut paksa stik dan melemparkannya ke tanah.“Astaga, buang saja! Bisa-bisa benda itu menusuk tenggorokanmu!”“Kak Jasper!” protes Hanin memajukan bibirnya.“Kenapa, sih? Apa yang membuat suasana hatimu buruk,” tanya Jasper selalu dengan senyum tengilnya. Pergelangan tangan kekarnya menekan sebelah bahu Hanin sampai membuatnya miring.Entah sejak kapan kebiasaan itu dimulai. Akhir-akhir ini Hanin sering jadi topangan bagi Jasper. Sadar tidak sadar, pria itu refleks melakukan skinship seakan-akan ada magnet di dalam tubuh Hanin.Si gadis berkuncir bergeser. “Jauhkan tanganmu! Berat tahu!” gerutunya.“Kakak pikir, kamu cukup kuat untuk nahan beban,” ledek Jasper.“Bisa diem nggak? Aku lagi badmood ....”“Kasih tahu dulu, ken
“Ya, Loey. Kirimkan semua yang sudah kusebutkan tadi ke markas AUSTIC. Ingat! Ambil jalan yang berbeda dari lokasi, jangan sampai helikopter kita diketahui massa. Mereka akan segera menyembunyikan para sandera karena mengira ada penertiban lewat udara,” terang Hanin. Ia menelepon sambil terus-menerus mondar-mandir di tanah lapang bagian belakang markas. Mereka sudah mendapat dukungan penuh dari induk perusahaan yaitu PYRAMID. Hanin mengelola perusahaan teknologi itu dan memanfaatkannya untuk membentuk organisasi.Kini, AUSTIC bukan sekadar rumah bagi anak-anak tanpa orang tua. Melainkan di dalamnya, terbentuk sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial dan keamanan berbasis teknologi. Tujuannya biar anak-anak AUSTIC bisa hidup terjamin di bawah naungan PYRAMID.Lapangan sebesar stadion bola itu tembus lewat garasi kediaman mendiang Pak Letto. Dikelilingi ratusan mes yang jadi tempat tinggal anggota AUSTIC, kecuali Angkara, Sam, dan Hanin. Ketiganya memenuhi permintaan khusus Hani