Hari terakhir Angkara bekerja sebelum cuti. Enam bulan sejak insiden itu, Reyvan membuat sosok Angkara terlihat pulih lebih cepat. Selama ia menetap di Sydney, proyek syutingnya masih sama, soal Fantasia. Daniel memberitahunya kalau temannya alias seorang sutradara asli yang punya proyek ini siap mengambil alih untuk musim kedua.Memang benar, koneksi Daniel yanng cuma seorang dokter bedah bukan main luasnya. Namun bagi Reyvan, itu wajar. Sejak kecil, bocah itu memang suka sekali mengobrol. Kembali lagi ke mode Angkara yang semangatnya membumbung tinggi. Dilihat dari binar gembira dan senyuman lebar yang ditorehkan sejak bangun pagi. Caranya melahap roti bakar pun sambil berseri-seri. Otaknya memutar ulang aksi semalem. Puas sekali ia melempar Meydisha yang hanya mengenakan satu kain selimut hingga membentur lantai. Sialan, gadis itu sangat sesuatu.Hebatnya, dia hanya terdengar meringis sedikit. Apa dia begitu pasrah ketika sedang bersama Angkara asli?“Kamu tahu? Aku seperti melade
“Hai, Bro, long time no see.” Reyvan yang pertama kali menyambut Daniel dengan pelukan pria jantan di lorong belakang teater. Mereka bertemu dalam rangka simulasi drama Fantasia di depan para pejabat pemerintahan. Simulasi ini bertujuan sebagai sosialisasi dan pendekatan, sebelum proyek tersebut benar-benar diimplementasikan ke dunia nyata.“Wah! Beberapa bulan sejak aku mengoperasimu dan hasilnya makin terlihat sempurna sekarang,” bisik Daniel.“Tentu saja, aku mengakui hasil kerjamu tiada duanya,” puji Reyvan. “Ayo. Kau harus menonton aksiku. Oh, iya kebetulan namamu persis ada dalam naskah. Kudedikasikan untukmu.”Sebenarnya, tidak ada namanya dedikasi. Hati Reyvan telanjur mati untuk memiliki keputusan. Hal itu dilakukannya agar mereka impas. Reyvan tidak suka berutang budi, tapi kini Daniel telah selesai jadi bonekanya. Jikalau suatu saat nanti dia membahayakan perannya apalagi sampai mendekati Meydisha, Reyvan tidak akan segan menebas kepala pria itu.“Apa wajahmu memengaruhi pl
Bolak-balik Angkara memangku tumpukan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Bagian Meydisha menyiapkan perlengkapan dan perbekalan, termasuk makanan, minuman, obat-obatan dan P3K.Keduanya telah meninjau pulau pribadi berhari-hari. Pulau itu memang menjadi hak milik Angkara dan Meydisha, tapi yang menjaganya tidak berubah. Ialah keluarga Luthers, ada Pak James Luther, Bu Kareen Luther, dan—satu-satunya bayi laki-laki berusia enam bulan—Jake Luther.Mereka adalah imigran legal yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk merawat pulau-pulau tak berpenghuni. Tentunya dibantu fasilitas lengkap berikut tempat tinggal, sandang, pangan, dan keamanan. Serta ada tim yang akan melakukan pemeriksaan berkala setiap tahunnya.Meski baru berkomunikasi secara virtual dengan Pak Luther, Angkara mendapat kesan baik dari obrolan mereka.Bagi Angkara, Pak Luther adalah sosok yang bersahaja. Tidak, sebenarnya Reyvan pribadi suka tampang pria tua itu yang terlihat lemah.Meydisha menggeser gorden raksasa
Pesawat melesat di atas ketinggian 1000 kaki. Menyewa pesawat pribadi adalah hal yang baru dicoba sekali oleh Meydisha seumur hidupnya. Sekaligus momen terbaik dari yang pernah dilewati. Angkara bisa saja membuat mereka berangkat dengan helikopter, itu sudah lebih dari cukup. Tapi katanya, kalau dia mampu melakukan hal yang lebih besar untuk Meydisha, dia akan melakukannya.Ini sempurna! Benak Meydisha.Bayangkan, hanya ada Angkara, dua pramugari, dan kru pilot. Tidak ada kursi penuh. Tidak ada suara dengkuran. Tidak ada tangis anak kecil. Tidak ada orang yang muntah. Tidak ada pramugara atau pramugari yang sibuk mondar-mandir.Meydisha mencondongkan lehernya ke jendela. Gumpalan awan terlihat amat dekat, dan itu menakjubkan. Agak pegal, dia menunduk. Di bawah sana perasaannya campur aduk—dalam konotasi positif.Menjulangnya pegunungan dan bukit yang hijau menerpakan efek ketenangan. Namun, ketika melewati samudera lepas, Meydisha bergidik ngeri. Mata birunya meneropong jauh pada dala
Cheers!Terkejut. Dada Loey terlonjak ketika sorak bahagia tercampur dalam denting 4 kaleng dan satu cangkir air putih. Perayaan kecil-kecilan ini untuk kesembuhan Loey, tapi pria itu lupa caranya berpesta. Dia sering diam dan hanya berbicara kalau ditanya.Yang paling banyak mengoceh adalah Hanin. Tangannya aktif menyambar ayam, lalu pindah ke camilan, kemudian ke kaleng soda, dan mengulanginya lagi. Berkali-kali, sampai pipinya mengembung penuh.“Sayang sekali, Kak Loey tidak bebas makan,” kata Hanin tak berhenti mengunyah.“Pelan-pelan ... tidak akan ada yang merebut makananmu,” tegur Angkara.Dia mencabut tisu dan mengelap sisa-sisa saus dan remahan di pinggir mulur Hanin.“Jadi, Angkara bilang kalian sedang simulasi pacaran. Apa seperti ini tampaknya?” goda Hanin.Angkara dan Hanin saling berpandangan. Salah tingkah, Angkara menjejalkan tisu itu ke hidung Hanin. “Aaaa!” ringis gadis itu.Hanin membelalak. “Apa-apaan? Kenapa berubah genre jadi komedi?”“Komedian apanya Kak! Kalau
Sekeresek penuh eskrim ditenteng Loey. Dia menyelaraskan langkahnya dengan Hanin. Gadis yang sibuk menatap bintang-bintang itu tampak berjalan pelan. Udara malam amat sejuk dan sayang untuk dilewatkan.“Apa Ayah merindukanku di atas sana?”Loey terkesiap akan pertanyaan Hanin. Padahal tadinya, dia tengah menghitung berapa banyak eskrim yang dibawa. Takut kalau kurang karena beberapa anak AUSTIC di tongkrongan juga menitip.Eskrim-eskrim itu dikesampingkannya. “Sudah jelas jawabannya, dia juga merindukanmu.”“Lalu, kenapa Ayah tidak pernah lagi muncul di mimpiku? Padahal aku sangat ingin melihat wajahnya,” keluh Hanin.“Dia khawatir kamu akan sedih,” ujar Loey.Hanin terkekeh pilu. Menendang kerikil di depannya.“Sedih? Cuma dengan melihat Ayah, aku bisa bahagia.”“Pembohong,” gumam Loey memicingkan mata.“Apa?” Hanin berhenti melangkah. Menunggu Loey mengulang bicara agar omelan-omelan di mulutnya bisa lepas kandang. Namun, pria itu justru memandang Hanin lembut. Omelan-omelan itu tak
Kayu-kayu jembatan kecil itu basah. Riak sungai di bawahnya cukup membuat Meydisha ngeri. Dia berhati-hati supaya tidak tergelincir, sementara pandangan di hadapannya kabur karena derasnya hujan.Kalau saja rumah Pak Luther jauh, dia tidak akan sudi menerjang dinginnya pulau. Namun dari jembatan, terlihat sedikit bagian dinding belakang kantor pusat. Artinya dekat. Artinya dia tidak perlu kerepotan. Namun, nyatanya ini merepotkan. Setelah jembatan, masih ada tanah becek dan semak belukar di kedua sisi.Dan, Meydisha amat membencinya.Ujung celana perempuan itu dipastikan tergulung agar tidak basah. Dinding kantor pusat makin dekat. Namun, Meydisha memilih untuk berhenti sebelum sampai karena sesuatu menggugah perhatiannya. Racauan kegelisahan menggumul bersama gemuruh petir berjejal masuk ke telinga Meydisha.Ia memicingkan mata pada sosok gadis sebaya Meydisha di bawah jendela belakang. Wajahnya pucat dengan lutut ditekuk. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Sedikit khawatir, Meydisha me
Saling bertautnya tangan Loey dan Hanin menambah kelegitan pada malam itu. Mereka mencoba beradaptasi pada hubungan ini sebaik mungkin. Semburat merah muda kerap kali muncul di kedua bilah pipi Hanin. Gadis itu mendadak seperti putri malu yang menguncup disentuh senyuman Loey.Sementara untuk Loey, ini merupakan hal baru baginya. Setelah melewati puluhan purnama, akhirnya dia membuka diri untuk orang lain—tepatnya, teman; sahabat; kerabat kerja. Dia bingung sendiri menentukan peran Hanin sebelum dia memilihnya menjadi yang teristimewa. Karena dulu di mata Loey, semua orang yang berada di sekelilingnya berada dalam satu garis lurus. Orang-orang asing yang punya tujuan ketika berkomunikasi dengannya.Mereka sekadar bertemu. Melakukan tugas dan tujuan, lalu berpisah. Kemudian dia akan mendapati dirinya seorang diri—di kamar kosong dan sepi—selepas bekerja seharian.Menyingkirkan perasaan canggung dari status pertemanan jadi tantangan tersendiri untuk keduanya.“Loey?” celetuk Hanin.“Hm?