Pintu bagasi dibanting keras. Terkunci. Mayat Nyonya Willy terbungkus koper dan sudah dipastikan aman. Black menepuk-nepuk kedua tangannya untuk membersihkan salju yang menempel. Tatapannya menelusur ke segala penjuru tempat. Meski pandangannya berkabut, dia pastikan jalanan itu kosong.Black kembali ke dalam. Meski dingin, Black merasa berkeringat karena melakukan rangkaian aksi memusnahkan bukti. Merembukkan ponsel Nyonya Willy. Membuka sarung tangannya dengan kasar dan buru-buru disembunyikan di bawah jok mobil. Batu besar itu juga telah dikubur bersama timbunan salju. Black meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana.“Halo, 911?” Puji syukur. Badai yang tak sedahsyat tadi mempermudah Black menelepon bantuan. Walau diperkirakan cuacanya naik-turun alias tidak stabil.“Ya, ya, ya. Ini Joseph Black. Mobil saya terjebak di badai salju sejak satu jam terakhir,” lontar Black.[Apakah Anda seorang diri? Tidak ada yang dalam kondisi serius? Seperti terluka atau terserang
Hari terakhir Angkara bekerja sebelum cuti. Enam bulan sejak insiden itu, Reyvan membuat sosok Angkara terlihat pulih lebih cepat. Selama ia menetap di Sydney, proyek syutingnya masih sama, soal Fantasia. Daniel memberitahunya kalau temannya alias seorang sutradara asli yang punya proyek ini siap mengambil alih untuk musim kedua.Memang benar, koneksi Daniel yanng cuma seorang dokter bedah bukan main luasnya. Namun bagi Reyvan, itu wajar. Sejak kecil, bocah itu memang suka sekali mengobrol. Kembali lagi ke mode Angkara yang semangatnya membumbung tinggi. Dilihat dari binar gembira dan senyuman lebar yang ditorehkan sejak bangun pagi. Caranya melahap roti bakar pun sambil berseri-seri. Otaknya memutar ulang aksi semalem. Puas sekali ia melempar Meydisha yang hanya mengenakan satu kain selimut hingga membentur lantai. Sialan, gadis itu sangat sesuatu.Hebatnya, dia hanya terdengar meringis sedikit. Apa dia begitu pasrah ketika sedang bersama Angkara asli?“Kamu tahu? Aku seperti melade
“Hai, Bro, long time no see.” Reyvan yang pertama kali menyambut Daniel dengan pelukan pria jantan di lorong belakang teater. Mereka bertemu dalam rangka simulasi drama Fantasia di depan para pejabat pemerintahan. Simulasi ini bertujuan sebagai sosialisasi dan pendekatan, sebelum proyek tersebut benar-benar diimplementasikan ke dunia nyata.“Wah! Beberapa bulan sejak aku mengoperasimu dan hasilnya makin terlihat sempurna sekarang,” bisik Daniel.“Tentu saja, aku mengakui hasil kerjamu tiada duanya,” puji Reyvan. “Ayo. Kau harus menonton aksiku. Oh, iya kebetulan namamu persis ada dalam naskah. Kudedikasikan untukmu.”Sebenarnya, tidak ada namanya dedikasi. Hati Reyvan telanjur mati untuk memiliki keputusan. Hal itu dilakukannya agar mereka impas. Reyvan tidak suka berutang budi, tapi kini Daniel telah selesai jadi bonekanya. Jikalau suatu saat nanti dia membahayakan perannya apalagi sampai mendekati Meydisha, Reyvan tidak akan segan menebas kepala pria itu.“Apa wajahmu memengaruhi pl
Bolak-balik Angkara memangku tumpukan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Bagian Meydisha menyiapkan perlengkapan dan perbekalan, termasuk makanan, minuman, obat-obatan dan P3K.Keduanya telah meninjau pulau pribadi berhari-hari. Pulau itu memang menjadi hak milik Angkara dan Meydisha, tapi yang menjaganya tidak berubah. Ialah keluarga Luthers, ada Pak James Luther, Bu Kareen Luther, dan—satu-satunya bayi laki-laki berusia enam bulan—Jake Luther.Mereka adalah imigran legal yang dipekerjakan oleh pemerintah untuk merawat pulau-pulau tak berpenghuni. Tentunya dibantu fasilitas lengkap berikut tempat tinggal, sandang, pangan, dan keamanan. Serta ada tim yang akan melakukan pemeriksaan berkala setiap tahunnya.Meski baru berkomunikasi secara virtual dengan Pak Luther, Angkara mendapat kesan baik dari obrolan mereka.Bagi Angkara, Pak Luther adalah sosok yang bersahaja. Tidak, sebenarnya Reyvan pribadi suka tampang pria tua itu yang terlihat lemah.Meydisha menggeser gorden raksasa
Pesawat melesat di atas ketinggian 1000 kaki. Menyewa pesawat pribadi adalah hal yang baru dicoba sekali oleh Meydisha seumur hidupnya. Sekaligus momen terbaik dari yang pernah dilewati. Angkara bisa saja membuat mereka berangkat dengan helikopter, itu sudah lebih dari cukup. Tapi katanya, kalau dia mampu melakukan hal yang lebih besar untuk Meydisha, dia akan melakukannya.Ini sempurna! Benak Meydisha.Bayangkan, hanya ada Angkara, dua pramugari, dan kru pilot. Tidak ada kursi penuh. Tidak ada suara dengkuran. Tidak ada tangis anak kecil. Tidak ada orang yang muntah. Tidak ada pramugara atau pramugari yang sibuk mondar-mandir.Meydisha mencondongkan lehernya ke jendela. Gumpalan awan terlihat amat dekat, dan itu menakjubkan. Agak pegal, dia menunduk. Di bawah sana perasaannya campur aduk—dalam konotasi positif.Menjulangnya pegunungan dan bukit yang hijau menerpakan efek ketenangan. Namun, ketika melewati samudera lepas, Meydisha bergidik ngeri. Mata birunya meneropong jauh pada dala
Cheers!Terkejut. Dada Loey terlonjak ketika sorak bahagia tercampur dalam denting 4 kaleng dan satu cangkir air putih. Perayaan kecil-kecilan ini untuk kesembuhan Loey, tapi pria itu lupa caranya berpesta. Dia sering diam dan hanya berbicara kalau ditanya.Yang paling banyak mengoceh adalah Hanin. Tangannya aktif menyambar ayam, lalu pindah ke camilan, kemudian ke kaleng soda, dan mengulanginya lagi. Berkali-kali, sampai pipinya mengembung penuh.“Sayang sekali, Kak Loey tidak bebas makan,” kata Hanin tak berhenti mengunyah.“Pelan-pelan ... tidak akan ada yang merebut makananmu,” tegur Angkara.Dia mencabut tisu dan mengelap sisa-sisa saus dan remahan di pinggir mulur Hanin.“Jadi, Angkara bilang kalian sedang simulasi pacaran. Apa seperti ini tampaknya?” goda Hanin.Angkara dan Hanin saling berpandangan. Salah tingkah, Angkara menjejalkan tisu itu ke hidung Hanin. “Aaaa!” ringis gadis itu.Hanin membelalak. “Apa-apaan? Kenapa berubah genre jadi komedi?”“Komedian apanya Kak! Kalau
Sekeresek penuh eskrim ditenteng Loey. Dia menyelaraskan langkahnya dengan Hanin. Gadis yang sibuk menatap bintang-bintang itu tampak berjalan pelan. Udara malam amat sejuk dan sayang untuk dilewatkan.“Apa Ayah merindukanku di atas sana?”Loey terkesiap akan pertanyaan Hanin. Padahal tadinya, dia tengah menghitung berapa banyak eskrim yang dibawa. Takut kalau kurang karena beberapa anak AUSTIC di tongkrongan juga menitip.Eskrim-eskrim itu dikesampingkannya. “Sudah jelas jawabannya, dia juga merindukanmu.”“Lalu, kenapa Ayah tidak pernah lagi muncul di mimpiku? Padahal aku sangat ingin melihat wajahnya,” keluh Hanin.“Dia khawatir kamu akan sedih,” ujar Loey.Hanin terkekeh pilu. Menendang kerikil di depannya.“Sedih? Cuma dengan melihat Ayah, aku bisa bahagia.”“Pembohong,” gumam Loey memicingkan mata.“Apa?” Hanin berhenti melangkah. Menunggu Loey mengulang bicara agar omelan-omelan di mulutnya bisa lepas kandang. Namun, pria itu justru memandang Hanin lembut. Omelan-omelan itu tak
Kayu-kayu jembatan kecil itu basah. Riak sungai di bawahnya cukup membuat Meydisha ngeri. Dia berhati-hati supaya tidak tergelincir, sementara pandangan di hadapannya kabur karena derasnya hujan.Kalau saja rumah Pak Luther jauh, dia tidak akan sudi menerjang dinginnya pulau. Namun dari jembatan, terlihat sedikit bagian dinding belakang kantor pusat. Artinya dekat. Artinya dia tidak perlu kerepotan. Namun, nyatanya ini merepotkan. Setelah jembatan, masih ada tanah becek dan semak belukar di kedua sisi.Dan, Meydisha amat membencinya.Ujung celana perempuan itu dipastikan tergulung agar tidak basah. Dinding kantor pusat makin dekat. Namun, Meydisha memilih untuk berhenti sebelum sampai karena sesuatu menggugah perhatiannya. Racauan kegelisahan menggumul bersama gemuruh petir berjejal masuk ke telinga Meydisha.Ia memicingkan mata pada sosok gadis sebaya Meydisha di bawah jendela belakang. Wajahnya pucat dengan lutut ditekuk. Sekujur tubuhnya gemetar hebat. Sedikit khawatir, Meydisha me
Akhirnya Tovan dapat bernapas lega. Setelah lima belas menit berlalu, ia bisa melihat Meydisha berkedip meski pergerakan sangat pelan. Sementara dokter sibuk memeriksa kondisinya secara keseluruhan, Meydisha menatap langit-langit rumah sakit dengan tenang. Barangkali, dia belum sadar kehadiran Tovan di sana. “Untuk sekarang ini, tanda-tanda vital menunjukkan respon baik. Tidak ada masalah pada semua jahitan. Kami akan membuka jahitan begitu ia mengering,” jelas dokter wanita bernama Raisa. Setelah mendapat ucapan terima kasih dari Tovan, dokter bersama suster pergi meninggalkan ruangan. Seperti biasa, kamar VIP itu cuma ada Tovan dan Meydisha. Tovan berdeham. Meski begitu, suasananya lebih canggung karena gadis itu tahu kehadiran Tovan. “Kamu yang nyelametin aku? Nama kamu siapa?” tanya Meydisha parau. “Tovan Adipati, gue anaknya—” Keraguan dan rasa bersalah menyeruak di relung hati. Tovan tidak tahu apa yang Meydisha lakukan bila dia tahu semuanya. Apa Meydisha bakal melarikan d
Tetes demi tetes darah bercucuran. Muncul dari teririsnya urat nadi leher Angkara. Angkara? Suamiku yang kucintai? Meydisha berdecih, mengertakkan giginya. Berusaha tak acuh dengan erang kematian dari pria busuk yang perlahan runtuh, lalu ambruk ke tanah bebatuan.“Aku tahu semuanya, Reyvan Purnama,” ucap Meydisha, sangat jelas sekaligus getir.“O-oh-ohok, tol—tol—”Nyawa Reyvan berada di ujung tenggorokan dan tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Reyvan memegangi lehernya sekuat tenaga dengan dua kaki menggesek-gesek tanah. Satu tangannya kini lepas, mencoba menyentuh kaki Meydisha. Di detik-detik yang tersisa, ia memohon pengampunan. Berharap Meydisha masih memiliki belas kasih untuk menyelamatkan dirinya.“Selamat karena berhasil hidup bersamaku dalam waktu yang singkat, Reyvan. Tapi, asal kamu tahu, di hari aku sadar kepalsuanmu, kamu tidak pernah menggantikan suamiku, Angkara Langit Putra. Dia tidak pernah sekali pun hilang dari lubuk hatiku. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan
Hardikan Angkara membuat burung-burung yang bertengger terbang ketakutan. Wajah pria itu memerah sepenuhnya. Rahangnya mengeras bagai batu dan gemetar hebat ketika dipaksa berbicara. Urat syaraf menjalar seperti akar di pelipisnya. Kesabaran Angkara sudah meledak habis. Api yang paling jahat adalah yang membakar jiwa raga. Ia membumi-hanguskan perasaan tanpa meninggalkan asap. Yang artinya, bekas luka akan abadi mengepul kehidupan Angkara. “Sudah terlambat, Angkara,” ungkap Black memecah akal sehat pria yang menggila di atasnya. “Asal kau tahu, aku tak berniat sampai membunuhnya. Hingga sialnya—oopss! Kami ketahuan bakal membunuhmu. Kamu mau melihatnya terakhir kali?” Hening menyeruak, tapi batin Angkara menjerit. Telinganya mendadak tuli, terbawa arus duka yang luar biasa menyakitkan. Ia tak sadar kapan anak buah Black yang pitak itu memberikan ponsel ke bosnya. Potongan Fot
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Angkara yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Angkara maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Angkara menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita tentang rumor jahat bahwa ketika kecil Anda sempat membunuh psikopat. Rupanya media paling gesit menyebar
“Halo, Lia? Pak Luther? Bu Angel?” Meydisha mengetuk pintu ruang keluarga Pak Luther. Tidak ada jawaban. Dari halaman kantor, lobi, dan kediaman keluarga itu sepi sekali. Apa mereka sudah tidur? Benak Meydisha. Akan tetapi, kalau benar, pintu kaca biasanya terkunci. Itu pun di atas jam sembilan malam. Gagang pintu tak sengaja ditekan Meydisha, engsel berderit. Benda itu terdorong. Membuka portal dunia yang jauh lebih sunyi daripada di luar. “Lia? Bu Angel? Pak Luther?” panggil Meydisha lagi, lebih mengeraskan suara. Kakinya melangkah maju, sedikit demi sedikit masuk ke dalam rumah setelah menutup rapat pintu. Sejauh mata memandang, pintu-pintu kamar terbuka, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. “Ke mana mereka semua pergi?” gumamnya sendirian. Kekosongan rumah keluarga itu seolah mengaktifkan jiwa ala ‘detektif’ Meydisha. Benaknya digebu-gebu rasa penasaran. Feeling-nya membisikkan ada yang salah di sini. Mereka harusnya lapor pada Angkara lebih dulu jika bepergian. Teledor sekal
“Nangis? Angkara! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Meydisha, berusaha menengadah di leher Angkara. Angkara menggesek dagunya ke puncak kepala Meydisha. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien. Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri. Angkara mempererat dekapannya pada Meydisha, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan. “Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Angkara. Meydisha memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.” “Loh, kenapa? Mereka rela mati unt
Sam gaduh bahkan sebelum masuk ke dalam rumah Pak Letto. Menggendong tas di sebelah bahu selagi mengunci sebelah tangan Angkara. Sementara di sisi yang lain, Loey melakukan hal sama—bedanya bibir pria itu terkunci rapat. Walau sesekali tersungging karena peringatan protektif Sam pada Angkara. Dokter bilang memang Angkara sudah bisa dibawa pulang sebab kondisinya stabil, tapi Sam tetap khawatir. Anak laki-laki itu menjadi yang tersigap dalam menjaga orang nomor satu se-AUSTIC. Parno kalau kepalanya memunculkan efek vertigo yang membuat pria itu kehilangan keseimbangan. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit, Sam terus saja berkata, awas!—di setiap langkah Angkara. Takut tersandunglah, takut menginjak kacalah, dan tak berhenti bertanya di bagian mana Angkara merasa sakit, dan seperti apa rasanya. “Sam, sudahlah. Kau ini berisik sekali, mengalahkan nenek-nenek!” dengus Angkara. Mereka meniti tangga-tangga kecil menuju ke teras rumah. Sementara itu, Hanin mengemudikan mobil dan hendak
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Meydisha. Kesadaran Meydisha tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering. “Angkara di mana, Bu?” tanyanya parau. “Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Angkara, langsung bersimpuh di bawah ranjang. Satu tangan Meydisha yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Angkara. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Angkara cemas. Meski yang sebenarnya Meydisha rasakan adalah dingin yang menusuk. Angkara Meydishagis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?” “Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Meydisha, pita suaranya setipis desau angin. Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Meydisha sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol,
Tumit Hanin menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Hanin kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Hanin tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas. Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Hanin dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet. Dia semangat menemani Loey lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana. Seperti orang bodoh, Hanin cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Hanin. Namun ketika memandang Loey dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu. Hanin merangkapk