"Dengar, Pak! Saya sudah beristri dan kejadian hari ini hanya salah paham belaka. Jadi hentikan kegilaan kalian!" rutuk Malik karena sudah tak tahan lagi.
Pak Hamid membeku dengan tatapan nanar. Sementara yang lainnya mulai kasak-kusuk.
"Tapi kamu sudah melecehkan anak saya. Sudah dicap perawan tua, saya tak mau dia dipandang sebelah mata oleh laki-laki. Saya tidak peduli Elrima dijadikan yang kedua asal tetap dinikahi," panjang lebar Pak Hamid memberikan pendapatnya dengan berbagai pertimbangan tentunya.
Ia tak ingin Elrima semakin menjadi bahan gunjingan selepas kejadian ini. Mungkin juga Bi Siti akan lebih keras mengoloknya dan disangka mengikuti usulan wanita itu agar sang putri menggoda laki-laki.
Tak ada seorang Bapak yang rela anaknya berbagi kasih meski statusnya seorang madu. Namun, ia takut suatu saat Elrima kembali dilecehkan bahkan bisa jadi lebih parah. Pak Hamid banyak mendengar diluaran sana korban kebejatan laki-laki yang terungkap malah semakin direndahkan, sungguh ironi memang.
"Biar saya jelaskan dulu yang sebenarnya," sanggah Malik dengan wajah tegas nan dingin yang terlihat misterius di mata Elrima.
Lantas lelaki dengan rahang tegas itu menceritakan kejadian yang sebenarnya dari awal sampai akhir tanpa ada yang ditutup-tutupi. Mereka yang sudah menghakimi Malik tanpa tabayyun lebih dulu, wajahnya mendadak pucat dan saling sikut.
"Betul apa yang dikatakan lelaki itu, Neng?" tanya Pak Hamid dengan kecemasan mendera hatinya, memikirkan bagaimana nasib Elrima setelah berita ini santer.
"Kejadiannya cepet, Pak. Yang Neng inget waktu lagi ngaca, tiba-tiba ada laki-laki yang keluar dari WC terus nyeruduk," lirih gadis itu hampir berupa bisikan, tetapi tetap dapat didengar sebagian orang.
Elrima juga sebenarnya bingung dan masih syok, hingga yang ia ceritakan berdasarkan apa yang dilihatnya saja.
"Jangan-jangan mereka sengaja janjian buat berbuat gak pantes di WC masjid. Saya tahu kamu sudah cukup umur untuk menikah, makanya sudah ingin menikmati hubungan suami istri," celetuk Pak Rusdi sambil menatap sinis Elrima. Sungguh api dendam di dadanya sulit sekali dipadamkan.
"Kurang ajar siah, Rusdi. Anak aing perempuan baik-baik, saya tahu sendiri pergaulan dia seperti apa," kesal Pak Hamid sambil menunjuk wajah mantan calon besannya yang seketika merah padam.
Bapaknya Elrima bisa tahan jika dia yang dihina atau direndahkan, tapi tidak dengan keluarganya. Ia bersedia menjadi tameng terdepan bagi anak gadis kesayangannya itu. Sebab, Pak Hamid sangat yakin, walaupun anaknya agak bebal, tapi tak suka bergaul sembarangan.
"Heh! Denger Hamid. Aing moal pernah ngahampura anak sia, samemeh si Reza bangkit tina kubur," rutuk Pak Rusdi sambil berlalu berdiri meninggalkan sekumpulan orang yang menatapnya dengan pandangan berbeda-beda.
[Heh! Dengar Hamid. Saya gak akan pernah memaafkan anak kamu, sebelum si Reza bangkit dari kubur]
Pak Hamid mengurut dada seraya menggumamkan istighfar. Sampai suasana hening sejenak, lalu Pak lurah yang pro poligami tanpa ilmu itu bersiap memulai wejangannya. Kebetulan hari ini, lelaki dengan badan tambun yang memiliki tiga istri itu menjadi imam shalat jum'at, sekaligus pencitraan karena sebentar lagi pemilu akan diadakan.
"Menurut saya tidak ada solusi lain untuk masalah ini selain si Neng mau dinikahi, entah itu oleh Jang Malik yang akan menjadikannya istri kedua, atau dengan saya yang tentunya lebih segala-galanya," jelas Pak Kardi yang sejak tadi terus memperhatikan wajah cantik Elrima.
Sementara yang ditatap sedari tadi memikirkan langkah apa yang harus ditempuhnya. Elrima sedikit berpikir licik untuk memanfaatkan Malik.
Selama ini calon suami yang akan menghalalkannya selalu tumbang di tengah jalan. Entah apa yang menyebabkan mereka tiada, tapi rasanya tak mungkin hanya sekedar takdir jika korbannya bukan hanya satu dua orang melainkan belasan.
Mungkin dengan menikah pura-pura ini, ia mampu memancing keluar seseorang yang selama ini bisa jadi mengawasinya dari dekat. Meskipun Elrima tahu jika pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan tak bisa dipermainkan, tetapi gadis itu merasa lelah dengan teror yang menghantuinya selama ini.
Walaupun mereka tak pernah mengganggu Elrima secara langsung, tetap saja ia merasakan banyak kehilangan yang seolah tak ada habisnya. Lagipula Malik sudah memiliki istri, jadi gadis itu pikir tak akan terlalu sakit hati jika suatu saat dicampakkan Elrima.
"Pak Hamid kumaha?" tanya Pak lurah yang baru mengetahui nama lelaki paruh baya itu beberapa saat yang lalu.
"Saya serahkan keputusan sama si Neng. Karena dia sendiri yang akan menjalani rumah tangga itu," ucap Pak Hamid selepas menghela napas berat.
"Bismillah, saya bersedia menikah dengan Kang Malik, Pak." Mantap Elrima mengucap, ia jadi teringat sebuah film berjudul Bismillah kunikahi suamimu.
Ah, secara kebetulan gadis itu berada dalam garis hidup yang sama. Biarlah jadi istri kedua pikiran Elrima, daripada seumur hidup harus penasaran dengan mereka yang mencoba melenyapkan calon suaminya.
Sementara Malik terperangah mendengar jawaban Elrima, ia mengusap kasar wajahnya yang lebam mengingat istrinya yang tengah hamil besar dalam keadaan lemah. Entah bagaimana reaksi Rina nanti, jika tahu suaminya menikah lagi.
Jauh di tempat lain dalam waktu bersamaan, Rina tengah berjuang antara hidup dan mati melahirkan buah hati tercinta. Wanita itu mengalami preeklamsia dan kini sedang tak sadarkan diri dalam meja operasi.
Sampai tak lama, suara tangisan bayi yang sangat kencang menggema di ruangan bersalin. Sayangnya tangisan itu tak mampu didengar Ibunya yang masih tak sadarkan diri. Seorang perawat keluar dari ruangan menghampiri Bu Santi yang duduk sambil mengucap syukur bersama Abdul.
"Alhamdulillah dedeknya sehat dan berat badannya bagus walaupun lahir prematur. Mohon segera kabarkan kepada suami Bu Rina untuk mengadzhani dedeknya. Saya tunggu di dalam ruangan," ucap perawat yang langsung berlalu kembali menuju tempat yang dimaksudnya.
"Abdul gimana Bapakmu sama Kang Malik?" tanya Bu Santi kepada putranya yang sejak tadi menghubungi dua laki-laki penting yang seharusnya ada di sana.
"Bapak teh katanya segera nyusul, tapi Kang Malik gak tahu gimana soalnya gak diangkat-angkat telponnya, Mah." Abdul menjelaskan dengan wajah nelangsa memikirkan nasib kakaknya.
"Ya sudah gak papa, kita gak bisa berharap sama manusia yang suatu saat bisa bikin kecewa. Cukup Allah yang kita andalkan sekarang. Ayo kamu saja yang masuk ke ruangan dokter dan adzhani keponakanmu," perintah Bu Santi yang langsung diangguki oleh anak lelakinya.
Sepeninggal Abdul, wanita paruh baya itu diam-diam menumpahkan tangisnya dalam kebisuan. Meratapi nasib sang putri yang sungguh malang.
Adzhan dan iqamah terdengar merdu dari mulut Abdul, bocah itu memang memiliki suara yang indah dan juga terbiasa melakukan panggilan shalat di masjid.
"Laa ilaha illallah," bacaan iqamah terakhir bersama monitor pendeteksi alat vital yang langsung bersuara kencang juga, alarm yang berubah menjadi warna merah.
"Pasien kritis, Dok!" seru salah satu perawat.
"Pasien kritis, Dok!" seru salah satu perawat. Abdul memalingkan wajah dari paras mungil keponakannya menuju sang kakak. "Teteh!" pekik bocah itu yang mulai paham kakaknya sedang tidak baik-baik saja, sebab ia sering melihat keadaan gawat semacam ini dari sinetron yang ditontonnya di televisi. Salah satu perawat menyuruh Abdul agar keluar ruangan, tetapi anak itu bersikeras ingin melihat sang kakak yang jantungnya tengah dialiri kejut listrik. Ia memberontak karena takut setelah ini tak bisa melihat Rina lagi. Dengan sedikit dipaksa akhirnya Abdul keluar dari ruangan itu, lantas sang perawat mengunci dari dalam karena khawatir terlalu banyak orang yang tidak berkepentingan bisa memperburuk keadaan pasien."Sabar, Jang. InsyaAllah si Teteh baik-baik aja, kita do'akan semoga ia bisa melewati masa kritisnya," nasihat Bu Santi sambil sesenggukan memeluk anak bujangnya."Mah, Abdul takut Teteh meninggal kaya di tivi-tivi itu. Soalnya tadi alat yang deket Teteh bunyi nyaring. Mah, giman
"Silahkan kamu laporkan saya ke polisi, tapi siap-siap aja netizen ngamuk kalau video pelecehan itu tersebar luas," sanggah Elrima yang tak sedikitpun merasakan gentar. Kematian bertubi-tubi yang merenggut calon suaminya membuat gadis itu semakin kuat. Tak ada yang ditakutinya di dunia ini, sebab celaka tak celaka, ada masalah ataupun tidak, semua yang bernyawa pasti akan mati.Malik terperangah mendengar ucapan Elrima yang tak terlihat terintimidasi sedikitpun, tetapi ia segera menguasai suasana dengan memasang tampang dinginnya kembali. Malik Al-Faqruq memang cukup berkuasa di negeri ini. Ia adalah salah satu pengusaha muslim yang sukses tetapi tak tersorot media. Tampan, kaya dan memiliki keluarga bahagia, hidupnya seolah sempurna, tetapi ada satu hal yang menjadi kelemahan lelaki itu, yaitu sosial media. Saat ini media masa dikuasai pemerintah, bisa saja ia ikut bergabung membangun citra di layar kaca, tetapi tentu dana yang digelontorkan tak sedikit. Sementara lelaki itu tentu
"Jangan-jangan itu si Rina yang tadi dibawa ke rumah sakit," celetuk Bu Riska--salah seorang tetangga yang tadi melihat keluarga Bu Santi pergi membawa Rina yang tampak tak sadarkan diri."Rina istri saya, Bu?" tanya Malik yang merasakan dentuman di dada bersama keringat dingin bercucuran."Innalillahi, dari sirine-nya sih, itu kayaknya meninggal. Kasian banget mana lagi hamil lagi," lanjut perempuan paruh baya itu tanpa memikirkan perasaan pria di sampingnya yang tadi pertanyaannya tak dijawab.Perasaan Malik semakin tak karuan mendengar monolog dari wanita seusia Ibu mertuanya itu, langkahnya seperti terpaku dan tak siap melihat bagaimana keadaan Rina.Seolah udara tak mampu ia hirup, napas Malik rasanya sesak. Namun, tak mungkin ia diam saja tanpa berbuat sesuatu. Sampai tak lama tenaga medis keluar dari dalam ambulans untuk memindahkan mayat yang sekujur tubuhnya ditutup kain.&n
Jenazah Rahmat juga Nenes akan dishalatkan bersama di Masjid Agung Cianjur. Tepat sebelum kedatangan rombongan pembawa keranda, Pak Hamid dan Elrima mulai gelisah karena Malik tak kunjung kembali.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikir Pak Rusdi. Ia yang dari kejauhan melihat Pak Hamid dan putrinya tengah duduk di teras masjid, langsung tersulut emosi. Berjalan tergesa seorang Bapak yang baru saja kehilangan putranya itu mendekat ke arah Elrima.Plak!"Belum puas maneh bikin si Reza mati, sekarang si Rahmat nyusul Kakaknya. Semua ini pasti ada kaitannya sama kamu!" bentak Pak Rusdi yang baru saja mendamprat pipi Elrima.Gadis yang sedang melamun memikirkan Malik, tentu kaget dengan serangan mendadak dari mantan calon mertuanya itu."Kurang ajar sia geus nyabok anak aing. Kadieu wani gelut jeung bapakna, lain ngan saukur wani ka awewe, dasar lalaki teu boga ced
"Allahu Ahad ya Rabbul Ghafur. Jadi Rina sudah mendengar fitnah keji itu, Pak?" Suara Malik begitu lirih bersama luruhnya tubuh kekar yang bersimpuh di dekat kaki Pak Maman.Tak bisa Malik bayangkan bagaimana perasaan Rina yang tengah hamil tua dengan kondisi sakit-sakitan, harus menerima kabar dirinya yang melecehkan seorang gadis. Benar adanya jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kini lelaki itu merasakan sendiri bagaimana sebuah fitnah bersiap menghancurkan rumah tangganya."Jadi gimana kabar gadis itu, Jang?" tanya Pak Maman dengan nada tenang, berharap Malik menceritakan segalanya dengan jelas supaya hatinya tak lagi diliputi was-was andai berita itu benar adanya."Dia gak papa, Pak. Semuanya cuma salah paham," jelas lelaki yang masih setia berjongkok di dekat kaki mertuanya, lantas Malik menceritakan semua hal persis adanya kecuali bagian di
"Dasar lalaki brengsek! Ngomongna bakalan balik lagi secepatnya, tapi buktinya apa?!" umpat Pak Hamid yang membuat Elrima terlonjak kaget seketika.Pasalnya lelaki paruh baya itu biasa menahan lisan dan amarah, tetapi sang putri seolah melihat sosok lain dari Bapaknya sendiri kali ini. Sebegitu besar kah, harapan Pak Hamid agar Elrima bisa berumah tangga dengan tenang.Mata indah wanita itu mengembun, ia bukan perempuan cengeng, tetapi melihat Pak Hamid begitu ingin memperjuangkan kebahagiaannya, Elrima merasa terenyuh. Ah, andai tak ada yang menghabisi nyawa belasan calon suaminya, mungkin sang bapak akan selalu manis dan tak menunjukkan sisi lain dirinya.Namun, kehidupan kadang kala tak sesuai harapan. Kebahagiaan disyukuri, cobaan dijalani dengan sabar, tetapi Pak Hamid sudah merasa di ambang batas lapang dada, hingga kini menjadi sempit hati dan pikirannya memikirkan masa depan sang putri yang teru
"Kalian pasti mau minta tanggung jawab, kan? Ayo saya bantu buat labrak ke rumah sakit!" seru Bu Riska menggebu-gebu, tak sabar ingin melihat kehancuran keluarga Rina yang tak lain keponakannya sendiri."Bu apa-apaan! Rina itu keponakan kita. Apa Ibu gak mikirin keadaan dia yang lagi drop, terus kita mau bikin rusuh di sana gitu? Istighfar Bu, nyebut!" sentak Pak Ujang mencoba menyadarkan istrinya yang seperti kesetanan.Ia sedikit paham bagaimana Bu Riska masih kehilangannya Nenes, begitupun dirinya. Namun, tak lantas harus melampiaskan rasa tak terima dengan menghancurkan rumah tangga keponakannya sendiri."Diam!" teriak Bu Riska dengan mata nyalang menatap sang suami."Ibu udah capek ngalah terus sama si Santi. Saya sudah kehilangan anak, maka diapun harus merasakan hal yang sama!" raung wanita paruh baya dengan daster lusuh itu sembari memukul-mukul dadanya.Sejak pernikahan
"Silahkan kamu berbuat seenaknya tanpa memikirkan perasaan Rima, tetapi lihat nanti bagaimana tanggapan istri pertamamu jika kuperkenalkan anakku sebagai istri kedua suaminya?" ancam Pak Hamid dengan nada tenang tetapi membuat emosi Malik tersulut karena tersudut.Lelaki dengan pakaian sama sedari siang itu mengacak rambut frustasi. Benaknya kembali terbang kala sebuah permintaan menyakitkan meluncurkan dari mulut sang istri."Ceraikan aku dan nikahi perempuan itu!"Mungkin lelaki tak bertanggungjawab di luar sana akan bersuka ria saat istrinya meminta meninggalkan perempuan yang tengah sekarat demi istri kedua. Namun, tidak dengan Malik yang setia dan terlampau mencintai Rina."Hatiku takan pernah menduakanmu, Rin."'Ya, hatiku takan pernah mendua meski raga sudah menikahi perempuan lain'Ucapan Malik bukan dusta, ia memang tak pernah