"Kang Malik digerebek warga di masjid, Mah!"
Abdul berteriak kencang dari luar rumah sambil meraup udara dengan rakus karena berlari terbirit-birit dari masjid sampai rumah.
"Ada apa ini teh, Abdul? Kamu jangan ngawur kalau ngomong! Malu atuh didenger tetangga," tegur Bu Santi yang baru saja keluar menghampiri sang putra, ia melirik sekilas tetangga kepo yang juga ikut keluar di sebelah rumah.
Bocah berusia tujuh tahun itu merenggut karena merasa disalahkan. Lalu tangan mungilnya diseret dan diminta duduk di ruang tamu untuk menceritakan keadaan kakak iparnya.
"Jadi gimana, Jang?" tanya Bu Santi tak sabar, sebelumnya ia berlalu ke dapur untuk mematikan kompor karena sedang memasak.
"Warga teh pada bilang kalau Kang Malik melecehkan teteh-teteh di WC masjid, Mah." Abdul berkata keras mengundang seseorang yang tengah rebahan di kamar tamu untuk menguping.
Dialah Rina, perempuan berusia 39 tahun yang tengah hamil besar. Seketika dadanya terasa sesak kala mendengar penuturan sang adik tentang suaminya.
"Stttt! Jangan keras-keras atuh, nanti si teteh denger!" bisik Bu Santi yang membuat Rina mengurungkan langkah untuk memasuki ruang tamu.
Saat Abdul berteriak di luar rumah, Rina sedang tidur siang hingga tak menangkap jelas apa yang dikatakan adiknya. Wanita yang tengah hamil itu terbangunkan suara keras Abdul yang menyebut-nyebut suaminya.
"Mendingan Mamah hayu kesana, soalna Kang Malik lagi digebukin sama warga. Kasian atuh, Abdul takut Kang Malik meninggal." Panik Abdul dengan napas yang masik tak beraturan terus meracau dengan suara lumayan keras.
Sementara Rina yang punya riwayat asma langsung gelagapan mencari udara sebanyak-banyaknya. Jantungnya yang lemah menciptakan degupan dahsyat hingga wanita itu tak kuasa berdiri. Rina lunglai dan tangannya yang mencoba berpegangan malah menjatuhkan gelas kaca yang ada di nakas dekat pintu.
"Astaghfirullahalazim!" Bu Santi berteriak kaget dan segera menuju kamar sang putri.
Ia begitu khawatir mengingat anaknya hamil di usia yang tak lagi muda dengan riwayat penyakit parah menggerogoti tubuhnya.
"Teteh! Mamah si Teteh pingsan!" teriak Abdul yang lebih dulu sampai di kamar kakaknya.
"Allahu Rabbi! Abdul cepetan telepon Bapak!" perintah Bu Santi.
Sayangnya saat ini bapaknya Rina sedang berada di kampung sebelah karena acara hajatan adik bungsunya. Bisa jadi lelaki berusia setengah abad itu baru selesai shalat jum'at dan belum memegang ponsel.
***
3 jam sebelum kejadian ....
"Bapak kenapa kusut gitu mukanya?" tanya Elrima sambil menyuguhkan kopi hitam kesukaan bapaknya.
Gadis itu tampak heran melihat sang bapak tampak kesal setelah pulang dari warung.
"Bapak teh kesel sama Bi Siti. Dia ngusulin yang enggak-enggak hanya karena kamu belum juga menikah," curhat Pak Hamid sambil menghela napas berat.
Matanya menerawang bunga sepatu kesukaan almarhumah istrinya dulu. Andai wanita yang sangat dicintainya itu masih ada, mungkin bisa menjadi pelipur lara. Sayangnya beliau lebih dulu dipanggil Yang Maha Kuasa saat melahirkan Elrima.
"Emangnya dia teh ngomong apa, sampe Bapak semarah ini?" tanya gadis itu hati-hati.
Pasalnya Pak Hamid adalah lelaki yang tak mudah marah dan lebih banyak bersabar dengan apapun. Termasuk saat putrinya dicap perawan tua padahal baru berusia 28 tahun. Namun, hidup di kampung apapun bisa jadi omongan termasuk usia seseorang.
Ditambah kesempurnaan Elrima dalam hal wajah dan postur tubuh, membuat sebagian mereka ketar-ketir takut suaminya tergoda. Meski nyatanya Elrima bukan perempuan murahan, tetapi tetap saja rasa waswas itu ada.
"Dia bilang kamu susah nikah karena terlalu judes sama bujangan sini. Padahal coba kalau digoda dan hamil dulu diluar nikah, pasti kamu cepet-cepet dikawinin tanpa harus persiapan acara lama," terang Pak Hamid lalu mengusap wajah kasar setelahnya.
"Dasar mulut lemes si Siti! Bisa-bisanya dia teh nyuruh aku buat jadi perempuan murahan kaya anaknya yang kegatelan. Rima gak bisa tinggal diam, Pak. Sekarang Neng labrak tuh si mulut lemes!" kesal Elrima sambil mencak-mencak hendak pergi ke warung yang tak terlalu jauh dari rumahnya itu.
"Tahan, Neng! Ini yang bapak gak suka dari kamu yang hobinya grasak-grusuk. Gak semua masalah harus diselesaikan dengan emosi. Hayu duduk dulu!" pinta Pak Hamid yang menarik tangan putrinya untuk duduk di kursi rotan teras rumah.
Elrima memang memiliki sikap keras dan tegas yang menurun dari Ibunya, sedangkan fisiknya mirip bapaknya. Berbanding terbalik dengan Pak Hamid yang lebih penyabar dan lembut.
"Aing sumpahin semoga anak si Siti digerebek warga pas lagi zina!" racau Elrima yang kelewat emosi sampai berkata yang tidak-tidak.
"Hust! Jangan ngomong sembarangan, Neng. Hati-hati kalau bicara jangan seenaknya. Ingat, do'a untuk orang lain ikut diaminkan malaikat, sekarang istighfar. Minta ampun sama Allah karena udah ngomong gak bener," nasihat Pak Hamid sambil terus memegangi tangan putrinya, takut sewaktu-waktu nekad pergi melabrak orang.
"Si Siti yang harus banyak-banyak istighfar. Udah sering ngomong gak bener sama orang dia, arrrggghhh!" Elrima yang tak kuat lagi menahan kekesalan menumpahkan amarah dengan berteriak kencang.
"Nyesel bapak udah curhat ke kamu. Sekarang cepetan siap-siap ikut bapak dengerin ceramah di Masjid Agung deket alun-alun Cianjur. Kalau bisa bapak mau minta kamu dirukiyah, Neng. Soalnya adat kamu itu udah gak normal," ajak Pak Hamid yang mendapat kabar jika di daerah Cianjur akan diadakan tablig akbar sebelum menyambut kemerdekaan nanti.
Meski jarak desanya menuju pusat kota sekitar satu jam. Namun, ia begitu bersemangat karena ingin membuat Elrima berubah menjadi lebih kalem.
Dengan senang hati gadis itu mau ikut, bukan karena ingin mendengarkan ceramah, melainkan tertarik jalan-jalan di sekitar alun-alun. Memburu waktu yang tak banyak, Pak Hamid dan Elrima pergi menggunakan motor vespa yang dinamai Gojes itu.
Mereka tiba di tempat tujuan tepat kala waktu shalat jum'at tiba.
Pak Hamid langsung menuju masjid, sementara Elrima lebih memilih mencari bakso di seputaran tempat itu. Dia yang tak biasa mengenakan hijab dan baju gombrang merasakan gerah yang luar biasa, tetapi malu untuk membuka pashmina di tempat umum, ditambah kancing kemeja yang dikacingkan full sampai atas, membuat lehernya tidak nyaman.
Puas makan bakso Elrima bersiap menuju masjid untuk ngadem dan berniat melepas hijabnya di sana. Sementara di tempat lain, Malik yang mendadak sembelit saat tengah melaksanakan shalat jum'at akhirnya undur mencari toilet karena sudah tak kuat. Namun, sialnya closet di WC pria ada yang mampet dan ada juga yang belum disiram, ditambah bau tujuh rupa yang membuat perut Malik bergejolak.
Mengingat jum'at biasanya jarang ada perempuan di masjid, akhirnya Malik memutuskan pergi ke toilet wanita yang nampak sepi. Ia mengucap syukur dalam hati, tanpa sadar kejadian apa yang akan menimpanya setelah ini.
"Dengar, Pak! Saya sudah beristri dan kejadian hari ini hanya salah paham belaka. Jadi hentikan kegilaan kalian!" rutuk Malik karena sudah tak tahan lagi.Pak Hamid membeku dengan tatapan nanar. Sementara yang lainnya mulai kasak-kusuk."Tapi kamu sudah melecehkan anak saya. Sudah dicap perawan tua, saya tak mau dia dipandang sebelah mata oleh laki-laki. Saya tidak peduli Elrima dijadikan yang kedua asal tetap dinikahi," panjang lebar Pak Hamid memberikan pendapatnya dengan berbagai pertimbangan tentunya. Ia tak ingin Elrima semakin menjadi bahan gunjingan selepas kejadian ini. Mungkin juga Bi Siti akan lebih keras mengoloknya dan disangka mengikuti usulan wanita itu agar sang putri menggoda laki-laki. Tak ada seorang Bapak yang rela anaknya berbagi kasih meski statusnya seorang madu. Namun, ia takut suatu saat Elrima kembali dilecehkan bahkan bisa jadi lebih parah. Pak Hamid banyak mendengar diluaran sana korban kebejatan laki-laki yang terungkap malah semakin direndahkan, sungguh
"Pasien kritis, Dok!" seru salah satu perawat. Abdul memalingkan wajah dari paras mungil keponakannya menuju sang kakak. "Teteh!" pekik bocah itu yang mulai paham kakaknya sedang tidak baik-baik saja, sebab ia sering melihat keadaan gawat semacam ini dari sinetron yang ditontonnya di televisi. Salah satu perawat menyuruh Abdul agar keluar ruangan, tetapi anak itu bersikeras ingin melihat sang kakak yang jantungnya tengah dialiri kejut listrik. Ia memberontak karena takut setelah ini tak bisa melihat Rina lagi. Dengan sedikit dipaksa akhirnya Abdul keluar dari ruangan itu, lantas sang perawat mengunci dari dalam karena khawatir terlalu banyak orang yang tidak berkepentingan bisa memperburuk keadaan pasien."Sabar, Jang. InsyaAllah si Teteh baik-baik aja, kita do'akan semoga ia bisa melewati masa kritisnya," nasihat Bu Santi sambil sesenggukan memeluk anak bujangnya."Mah, Abdul takut Teteh meninggal kaya di tivi-tivi itu. Soalnya tadi alat yang deket Teteh bunyi nyaring. Mah, giman
"Silahkan kamu laporkan saya ke polisi, tapi siap-siap aja netizen ngamuk kalau video pelecehan itu tersebar luas," sanggah Elrima yang tak sedikitpun merasakan gentar. Kematian bertubi-tubi yang merenggut calon suaminya membuat gadis itu semakin kuat. Tak ada yang ditakutinya di dunia ini, sebab celaka tak celaka, ada masalah ataupun tidak, semua yang bernyawa pasti akan mati.Malik terperangah mendengar ucapan Elrima yang tak terlihat terintimidasi sedikitpun, tetapi ia segera menguasai suasana dengan memasang tampang dinginnya kembali. Malik Al-Faqruq memang cukup berkuasa di negeri ini. Ia adalah salah satu pengusaha muslim yang sukses tetapi tak tersorot media. Tampan, kaya dan memiliki keluarga bahagia, hidupnya seolah sempurna, tetapi ada satu hal yang menjadi kelemahan lelaki itu, yaitu sosial media. Saat ini media masa dikuasai pemerintah, bisa saja ia ikut bergabung membangun citra di layar kaca, tetapi tentu dana yang digelontorkan tak sedikit. Sementara lelaki itu tentu
"Jangan-jangan itu si Rina yang tadi dibawa ke rumah sakit," celetuk Bu Riska--salah seorang tetangga yang tadi melihat keluarga Bu Santi pergi membawa Rina yang tampak tak sadarkan diri."Rina istri saya, Bu?" tanya Malik yang merasakan dentuman di dada bersama keringat dingin bercucuran."Innalillahi, dari sirine-nya sih, itu kayaknya meninggal. Kasian banget mana lagi hamil lagi," lanjut perempuan paruh baya itu tanpa memikirkan perasaan pria di sampingnya yang tadi pertanyaannya tak dijawab.Perasaan Malik semakin tak karuan mendengar monolog dari wanita seusia Ibu mertuanya itu, langkahnya seperti terpaku dan tak siap melihat bagaimana keadaan Rina.Seolah udara tak mampu ia hirup, napas Malik rasanya sesak. Namun, tak mungkin ia diam saja tanpa berbuat sesuatu. Sampai tak lama tenaga medis keluar dari dalam ambulans untuk memindahkan mayat yang sekujur tubuhnya ditutup kain.&n
Jenazah Rahmat juga Nenes akan dishalatkan bersama di Masjid Agung Cianjur. Tepat sebelum kedatangan rombongan pembawa keranda, Pak Hamid dan Elrima mulai gelisah karena Malik tak kunjung kembali.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikir Pak Rusdi. Ia yang dari kejauhan melihat Pak Hamid dan putrinya tengah duduk di teras masjid, langsung tersulut emosi. Berjalan tergesa seorang Bapak yang baru saja kehilangan putranya itu mendekat ke arah Elrima.Plak!"Belum puas maneh bikin si Reza mati, sekarang si Rahmat nyusul Kakaknya. Semua ini pasti ada kaitannya sama kamu!" bentak Pak Rusdi yang baru saja mendamprat pipi Elrima.Gadis yang sedang melamun memikirkan Malik, tentu kaget dengan serangan mendadak dari mantan calon mertuanya itu."Kurang ajar sia geus nyabok anak aing. Kadieu wani gelut jeung bapakna, lain ngan saukur wani ka awewe, dasar lalaki teu boga ced
"Allahu Ahad ya Rabbul Ghafur. Jadi Rina sudah mendengar fitnah keji itu, Pak?" Suara Malik begitu lirih bersama luruhnya tubuh kekar yang bersimpuh di dekat kaki Pak Maman.Tak bisa Malik bayangkan bagaimana perasaan Rina yang tengah hamil tua dengan kondisi sakit-sakitan, harus menerima kabar dirinya yang melecehkan seorang gadis. Benar adanya jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kini lelaki itu merasakan sendiri bagaimana sebuah fitnah bersiap menghancurkan rumah tangganya."Jadi gimana kabar gadis itu, Jang?" tanya Pak Maman dengan nada tenang, berharap Malik menceritakan segalanya dengan jelas supaya hatinya tak lagi diliputi was-was andai berita itu benar adanya."Dia gak papa, Pak. Semuanya cuma salah paham," jelas lelaki yang masih setia berjongkok di dekat kaki mertuanya, lantas Malik menceritakan semua hal persis adanya kecuali bagian di
"Dasar lalaki brengsek! Ngomongna bakalan balik lagi secepatnya, tapi buktinya apa?!" umpat Pak Hamid yang membuat Elrima terlonjak kaget seketika.Pasalnya lelaki paruh baya itu biasa menahan lisan dan amarah, tetapi sang putri seolah melihat sosok lain dari Bapaknya sendiri kali ini. Sebegitu besar kah, harapan Pak Hamid agar Elrima bisa berumah tangga dengan tenang.Mata indah wanita itu mengembun, ia bukan perempuan cengeng, tetapi melihat Pak Hamid begitu ingin memperjuangkan kebahagiaannya, Elrima merasa terenyuh. Ah, andai tak ada yang menghabisi nyawa belasan calon suaminya, mungkin sang bapak akan selalu manis dan tak menunjukkan sisi lain dirinya.Namun, kehidupan kadang kala tak sesuai harapan. Kebahagiaan disyukuri, cobaan dijalani dengan sabar, tetapi Pak Hamid sudah merasa di ambang batas lapang dada, hingga kini menjadi sempit hati dan pikirannya memikirkan masa depan sang putri yang teru
"Kalian pasti mau minta tanggung jawab, kan? Ayo saya bantu buat labrak ke rumah sakit!" seru Bu Riska menggebu-gebu, tak sabar ingin melihat kehancuran keluarga Rina yang tak lain keponakannya sendiri."Bu apa-apaan! Rina itu keponakan kita. Apa Ibu gak mikirin keadaan dia yang lagi drop, terus kita mau bikin rusuh di sana gitu? Istighfar Bu, nyebut!" sentak Pak Ujang mencoba menyadarkan istrinya yang seperti kesetanan.Ia sedikit paham bagaimana Bu Riska masih kehilangannya Nenes, begitupun dirinya. Namun, tak lantas harus melampiaskan rasa tak terima dengan menghancurkan rumah tangga keponakannya sendiri."Diam!" teriak Bu Riska dengan mata nyalang menatap sang suami."Ibu udah capek ngalah terus sama si Santi. Saya sudah kehilangan anak, maka diapun harus merasakan hal yang sama!" raung wanita paruh baya dengan daster lusuh itu sembari memukul-mukul dadanya.Sejak pernikahan