"Pasien kritis, Dok!" seru salah satu perawat.
Abdul memalingkan wajah dari paras mungil keponakannya menuju sang kakak.
"Teteh!" pekik bocah itu yang mulai paham kakaknya sedang tidak baik-baik saja, sebab ia sering melihat keadaan gawat semacam ini dari sinetron yang ditontonnya di televisi.
Salah satu perawat menyuruh Abdul agar keluar ruangan, tetapi anak itu bersikeras ingin melihat sang kakak yang jantungnya tengah dialiri kejut listrik. Ia memberontak karena takut setelah ini tak bisa melihat Rina lagi.
Dengan sedikit dipaksa akhirnya Abdul keluar dari ruangan itu, lantas sang perawat mengunci dari dalam karena khawatir terlalu banyak orang yang tidak berkepentingan bisa memperburuk keadaan pasien.
"Sabar, Jang. InsyaAllah si Teteh baik-baik aja, kita do'akan semoga ia bisa melewati masa kritisnya," nasihat Bu Santi sambil sesenggukan memeluk anak bujangnya.
"Mah, Abdul takut Teteh meninggal kaya di tivi-tivi itu. Soalnya tadi alat yang deket Teteh bunyi nyaring. Mah, gimana kalau Teteh gak ada, siapa yang nanti ngurus dedek lucu." Abdul berkata tersendat-sendat bersama air mata yang mengalir kian deras.
Sampai tak lama Pak Maman--suami Bu Santi datang dengan tergesa. Pria paruh baya itu semakin didera cemas kala melihat keluarganya menangis sesenggukan.
"Bapaak! Si teteh, Pak!" pekik Abdul yang langsung menghambur ke pelukan lelaki yang selalu menjadi panutannya itu.
"Kumaha sekarang si Rina, Mah?" tanya Pak Maman sambil memeluk putranya yang masih sesenggukan.
"Anak kita sedang kritis, Pak. Ini semua gara-gara si Malik, dia yang udah bikin anak kita jadi kaya gini," racau Bu Santi sambil memukul-mukul dadanya yang kian sesak, sama seperti Rina wanita paruh baya itu juga memiliki riwayat asma tetapi tak terlalu parah.
"Gimana ini maksudnya, Mah? Bapak gak paham, terus Jang Malik-nya ada di mana sekarang?" cecar Pak Maman yang tentu belum tahu duduk permasalahannya, sebab dari kampung seberang langsung meluncur menuju rumah sakit.
Bu Santi tak kuasa menceritakan aib menantunya, bibirnya hanya mampu bergetar tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari lidahnya yang mendadak kelu. Ia berhenti meraung, tetapi air mata yang deras terus saja keluar tanpa mampu dicegah.
"Jang, aya naon ieu teh? Sok ceritain semuanya ke bapak," pinta Pak Maman pada Abdul yang mulai tenang dalam pelukannya.
"Kang Malik digerebek warga di masjid, Pak." Bocah lelaki itu menjawab dengan suara lemah, ingatannya masih tentang bayi mungil dan sang kakak.
Tentu ia tak begitu mengerti apa arti penggerebekan dan masalah lainnya, Abdul hanya mengatakan apa yang dia dengar dari warga.
"Digerebek kumaha ieu teh? Kakang iparmu maling kotak amal apa gimana? Jangan-jangan malah salah ngambil kotak kritik dan saran kaya yang viral di tiktok itu," ucap Pak Mamat dengan mimik wajah serius.
"Bapak tong sok ngabodor, mana ada menantu kita yang kaya maling kotak amal. Dia teh udah maling anak gadis orang," sanggah Bu Santi yang kesal karena suaminya malah membahas lagi berita viral di tiktok.
Padahal wacana itu pernah menjadi perdebatan di antara mereka. Pak Maman yang keukeuh kalau itu cuma hoax, sementara Bu Santi yang sedang PMS menghujat si pencuri.
"Nu bener ini teh, Mah? Lain fitnah?" tanya Pak Maman yang agar ragu sebab menantunya terkenal baik dan tak pernah macam-macam selama menjalankan rumah tangga dengan Rina.
"Beneran, Pak. Sampe Kang Malik digebukin warga abis jum'atan," ujar Abdul yang lagi-lagi hanya mendengar dari orang dewasa tanpa tahu yang sebenernya.
"Bapak teh sama sekali gak percaya kalau Jang Malik bisa berbuat sebejad itu, sebagai sesama lelaki bapak tahu dia tak pernah macam-macam dan terkenal dingin sama perempuan, mungkin cuma salah paham aja. Setelah ini kita harus cari tahu dulu kebenarannya." Pak Maman berkata bijak sambil mencoba mengatur napas, pandangnya beralih pada ruang operasi yang didalamnya Rina masih ditangani tenaga medis.
"Mamah gak peduli mau bener atau hoax beritanya, yang pasti mamah teh gak akan pernah maafin si Malik yang udah buat anak kita kritis kaya gini." Bu Santi kembali menangis tersedu sambil sesekali mengelap matanya dengan ujung hijab.
"Mah, jangan dulu baper atuh. Bapak yakin semuanya sudah ketentuan Allah. Jikapun menantu kita memang bersalah, kita hanya bisa mendo'akan semoga Rina baik-baik saja. Tak ada gunanya sekarang emosi malah membuang-buang energi. Sekarang Rina butuh kita, Mah. Kalau salah satu dari kita sakit, nanti siapa yang akan jaga Rina," nasihat Pak Maman demi meredam suasana.
Meski dalam sudut hatinya ada rasa was-was bisa jadi berita itu nyata adanya. Namun, tugasnya sebagai kepala keluarga saat ini adalah menenangkan yang lainnya.
Tak lama dokter yang mengani Rina datang dengan wajah sedih, hal itu membuat keluarga pasien menerka hal yang bisa jadi kabar buruk bagi mereka.
"Beruntung pasien sudah bisa melewati masa kritis, tetapi ...," jeda dokter dengan kacamata tebal itu untuk menghela napas berat, "pasien saat ini mengalami koma dan perlu dirawat sampai sadar dan pulih kembali," lanjutnya sambil menatap Pak Maman dengan sorot sayu.
Bu Santi kembali melanjutkan tangisnya yang tadi terjeda dan kini lebih kencang, ia menukul dadanya yang begitu sesak sampai nyaris kehabisan napas.
"Astaghfirullah! Eling, Mah. Semoga Rina bisa cepat sadar," nasihat Pak Maman sambil menopang tubuh istrinya yang mulai lunglai dan langsung tak sadarkan diri di pelukan suaminya.
"Mamahhh! Pak mamah kenapa, Pak?" Abdul bertanya sambil sesenggukan.
Pak Maman melepaskan istrinya untuk dibawa perawat wanita menuju ruang pemeriksaan, lalu lelaki paruh baya itu berjongkok dan memeluk putranya.
"Mamah kamu cuma kaget, Jang. Ayo do'akan Mamah dan Teteh agar cepat pulih biar kita bisa pulang ke rumah," bujuk Pak Maman yang juga diam-diam meneteskan air mata di bahu anaknya.
Di tempat lain di waktu yang sama, akhirnya Malik mengucap akad dengan terpaksa setelah beberapa kali mendapat desakan. Hatinya tak ada sedikitpun niat mendua, tetapi keadaan saat ini begitu memojokkannya, padahal Malik tak seutuhnya salah.
Pria itu sejak masa bubar terus saja merenung, bingung harus bagaimana pada istri barunya. Kini Malik, Pak Hamid dan Elrima tengah duduk bertiga dalam kebisuan.
"Jang Malik, bapak titip Rima. Dia mungkin masih banyak kekurangan dan keadaan ini sungguh tidak ada yang mengharapkan. Banyak hal yang ingin bapak sampaikan--"
"Cukup! Bagaimana bisa kalian semua memperlakukan saya seperti ini?! Kalian pasti tak tahu siapa saya." Malik menjeda kalimatnya untuk menunjukkan sebuah seringai menakutkan.
"Saya pastikan kalian semua yang terlibat dalam masalah ini akan saya jebloskan ke penjara, " lanjutkan dengan nada dingin tetapi menusuk.
Meski terlihat arogan tetapi hati Malik dipenuhi penyesalan karena tak mengambil langkah tegas ini sebelum akad digaungkan.
Lalu setelah ini bagaimana?
"Silahkan kamu laporkan saya ke polisi, tapi siap-siap aja netizen ngamuk kalau video pelecehan itu tersebar luas," sanggah Elrima yang tak sedikitpun merasakan gentar. Kematian bertubi-tubi yang merenggut calon suaminya membuat gadis itu semakin kuat. Tak ada yang ditakutinya di dunia ini, sebab celaka tak celaka, ada masalah ataupun tidak, semua yang bernyawa pasti akan mati.Malik terperangah mendengar ucapan Elrima yang tak terlihat terintimidasi sedikitpun, tetapi ia segera menguasai suasana dengan memasang tampang dinginnya kembali. Malik Al-Faqruq memang cukup berkuasa di negeri ini. Ia adalah salah satu pengusaha muslim yang sukses tetapi tak tersorot media. Tampan, kaya dan memiliki keluarga bahagia, hidupnya seolah sempurna, tetapi ada satu hal yang menjadi kelemahan lelaki itu, yaitu sosial media. Saat ini media masa dikuasai pemerintah, bisa saja ia ikut bergabung membangun citra di layar kaca, tetapi tentu dana yang digelontorkan tak sedikit. Sementara lelaki itu tentu
"Jangan-jangan itu si Rina yang tadi dibawa ke rumah sakit," celetuk Bu Riska--salah seorang tetangga yang tadi melihat keluarga Bu Santi pergi membawa Rina yang tampak tak sadarkan diri."Rina istri saya, Bu?" tanya Malik yang merasakan dentuman di dada bersama keringat dingin bercucuran."Innalillahi, dari sirine-nya sih, itu kayaknya meninggal. Kasian banget mana lagi hamil lagi," lanjut perempuan paruh baya itu tanpa memikirkan perasaan pria di sampingnya yang tadi pertanyaannya tak dijawab.Perasaan Malik semakin tak karuan mendengar monolog dari wanita seusia Ibu mertuanya itu, langkahnya seperti terpaku dan tak siap melihat bagaimana keadaan Rina.Seolah udara tak mampu ia hirup, napas Malik rasanya sesak. Namun, tak mungkin ia diam saja tanpa berbuat sesuatu. Sampai tak lama tenaga medis keluar dari dalam ambulans untuk memindahkan mayat yang sekujur tubuhnya ditutup kain.&n
Jenazah Rahmat juga Nenes akan dishalatkan bersama di Masjid Agung Cianjur. Tepat sebelum kedatangan rombongan pembawa keranda, Pak Hamid dan Elrima mulai gelisah karena Malik tak kunjung kembali.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikir Pak Rusdi. Ia yang dari kejauhan melihat Pak Hamid dan putrinya tengah duduk di teras masjid, langsung tersulut emosi. Berjalan tergesa seorang Bapak yang baru saja kehilangan putranya itu mendekat ke arah Elrima.Plak!"Belum puas maneh bikin si Reza mati, sekarang si Rahmat nyusul Kakaknya. Semua ini pasti ada kaitannya sama kamu!" bentak Pak Rusdi yang baru saja mendamprat pipi Elrima.Gadis yang sedang melamun memikirkan Malik, tentu kaget dengan serangan mendadak dari mantan calon mertuanya itu."Kurang ajar sia geus nyabok anak aing. Kadieu wani gelut jeung bapakna, lain ngan saukur wani ka awewe, dasar lalaki teu boga ced
"Allahu Ahad ya Rabbul Ghafur. Jadi Rina sudah mendengar fitnah keji itu, Pak?" Suara Malik begitu lirih bersama luruhnya tubuh kekar yang bersimpuh di dekat kaki Pak Maman.Tak bisa Malik bayangkan bagaimana perasaan Rina yang tengah hamil tua dengan kondisi sakit-sakitan, harus menerima kabar dirinya yang melecehkan seorang gadis. Benar adanya jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kini lelaki itu merasakan sendiri bagaimana sebuah fitnah bersiap menghancurkan rumah tangganya."Jadi gimana kabar gadis itu, Jang?" tanya Pak Maman dengan nada tenang, berharap Malik menceritakan segalanya dengan jelas supaya hatinya tak lagi diliputi was-was andai berita itu benar adanya."Dia gak papa, Pak. Semuanya cuma salah paham," jelas lelaki yang masih setia berjongkok di dekat kaki mertuanya, lantas Malik menceritakan semua hal persis adanya kecuali bagian di
"Dasar lalaki brengsek! Ngomongna bakalan balik lagi secepatnya, tapi buktinya apa?!" umpat Pak Hamid yang membuat Elrima terlonjak kaget seketika.Pasalnya lelaki paruh baya itu biasa menahan lisan dan amarah, tetapi sang putri seolah melihat sosok lain dari Bapaknya sendiri kali ini. Sebegitu besar kah, harapan Pak Hamid agar Elrima bisa berumah tangga dengan tenang.Mata indah wanita itu mengembun, ia bukan perempuan cengeng, tetapi melihat Pak Hamid begitu ingin memperjuangkan kebahagiaannya, Elrima merasa terenyuh. Ah, andai tak ada yang menghabisi nyawa belasan calon suaminya, mungkin sang bapak akan selalu manis dan tak menunjukkan sisi lain dirinya.Namun, kehidupan kadang kala tak sesuai harapan. Kebahagiaan disyukuri, cobaan dijalani dengan sabar, tetapi Pak Hamid sudah merasa di ambang batas lapang dada, hingga kini menjadi sempit hati dan pikirannya memikirkan masa depan sang putri yang teru
"Kalian pasti mau minta tanggung jawab, kan? Ayo saya bantu buat labrak ke rumah sakit!" seru Bu Riska menggebu-gebu, tak sabar ingin melihat kehancuran keluarga Rina yang tak lain keponakannya sendiri."Bu apa-apaan! Rina itu keponakan kita. Apa Ibu gak mikirin keadaan dia yang lagi drop, terus kita mau bikin rusuh di sana gitu? Istighfar Bu, nyebut!" sentak Pak Ujang mencoba menyadarkan istrinya yang seperti kesetanan.Ia sedikit paham bagaimana Bu Riska masih kehilangannya Nenes, begitupun dirinya. Namun, tak lantas harus melampiaskan rasa tak terima dengan menghancurkan rumah tangga keponakannya sendiri."Diam!" teriak Bu Riska dengan mata nyalang menatap sang suami."Ibu udah capek ngalah terus sama si Santi. Saya sudah kehilangan anak, maka diapun harus merasakan hal yang sama!" raung wanita paruh baya dengan daster lusuh itu sembari memukul-mukul dadanya.Sejak pernikahan
"Silahkan kamu berbuat seenaknya tanpa memikirkan perasaan Rima, tetapi lihat nanti bagaimana tanggapan istri pertamamu jika kuperkenalkan anakku sebagai istri kedua suaminya?" ancam Pak Hamid dengan nada tenang tetapi membuat emosi Malik tersulut karena tersudut.Lelaki dengan pakaian sama sedari siang itu mengacak rambut frustasi. Benaknya kembali terbang kala sebuah permintaan menyakitkan meluncurkan dari mulut sang istri."Ceraikan aku dan nikahi perempuan itu!"Mungkin lelaki tak bertanggungjawab di luar sana akan bersuka ria saat istrinya meminta meninggalkan perempuan yang tengah sekarat demi istri kedua. Namun, tidak dengan Malik yang setia dan terlampau mencintai Rina."Hatiku takan pernah menduakanmu, Rin."'Ya, hatiku takan pernah mendua meski raga sudah menikahi perempuan lain'Ucapan Malik bukan dusta, ia memang tak pernah
"Pak! Jangan sampai Rina drop lagi mendengar berita ini," teriak Malik sebelum Pak Maman berbelok menuju ruangan di mana putrinya di rawat.Lelaki yang diliputi amarah pada sang menantu itu akhirnya menghentikan langkah. Tentu saat ini kondisi Rina yang paling utama. Tak terbayang andai putrinya tahu jika sang suami menikah lagi."Saya akan diam untuk saat ini karena si Neng. Tapi kalau kamu bertingkah sampai si Neng tahu semuanya, bapak gak akan tinggal diam," ancam Pak Maman sambil menunjuk wajah Malik yang langsung memucat tetapi sedikit lega."Semoga Bapak suatu saat bisa tahu yang sebenarnya dan mengerti kenapa saya melakukan ini," sanggah Malik sambil terus mengatur napas karena kesal.Posisinya kali ini memang serba salah. Melepaskan Elrima, tentu Pak Hamid tak akan tinggal diam. Lalu melanjutkan perni
Posisi Sadam sudah terjepit, lelaki itu menghentikan laju mobil. Begitupun dengan mobil di depannya yang berhenti dengan jarak satu meter.Tak lama beberapa pria bertopeng perak dengan pakaian serba hitam keluar dari kuda besi yang tadi melukai kendaraan milik Sadam.Sadam yang pernah dilatih di akademi pengawal profesional, tentu punya strategi jitu dalam menghadapi situasi terjepit semacam itu. Tanpa rasa gentar, lelaki itu menyeringai dan sedikit terkikik menertawai kebodohan lawan.Sekuat tenaga Sadam menginjak pedas gas, hingga mobilnya nyaris menabrak beberapa pasukan bertopeng sampai ada yang terjengkang."See you the next time!" teriak lelaki berkulit bersih itu, disusul gelak tawa yang berubah sayup di telinga lawannya, karena incarannya sudah pergi jauh.Tak ada kemarahan di wajah si pria bertopeng emas. Sikapnya dingin seperti es yang menggelincir di permukaan kulit, tetapi mampu memberikan aura beku di sekeliling.Sat
"Nggak usah! Mending urus Ali aja sana!" bentak Malik tanpa sengaja meninggikan suara saking gugupnya. Ia merasa bersalah sendiri, di saat harusnya berduka, justru terpikirkan untuk tidur bersama istri keduanya. Itulah alasan kenapa Malik terus mengurung diri selama seminggu. Lelaki itu tak ingin tergoda dan semakin tersiksa perasaan bersalah pada Rina. Namun, mengingat Ali sangat membutuhkannya, Malik berusaha keluar dari kesendirian dan mencoba menjadi Ayah yang terbaik. Tak pernah terpikir pakaian Elrima akan sangat menggoda dan membuat tubuhnya menggila. "Oh, ya udah atuh, Kang. Dari kemarin juga saya yang urusin Ali. Gak usah bentak-bentak segala," kesal Elrima sambil berlalu menghentakan kaki menuju lantai bawah membawa botol susu. Persediaan susu Ali sudah habis di lantai dua, Elrima ingin mencuci botol yang lama, sekalian mengambil botol lain untuk diisi susu. Tak pernah ia sangka, Malik akan berbuat kasar hanya dengan ditawari sebuah
"Tapi kamu yakin nggak, Dek. Kalau bunda kayak gitu Ayah kamu bakalan luluh. Jangan-jangan malah makin ngamuk lagi?" celoteh Elrima pada bayi polos yang tak tahu apa yang dikatakan bundanya itu.Melihat Bunda El memanyunkan bibir, Ali malah terus membuka mulut sembari tersenyum. Matanya menyipit persis Rina saat tertawa."Ah, kamu malah ngejekin bunda, Dek. Tega banget ih, awas ya!" Elrima menjawil pelan dagu bayi yang harum minyak telon itu. Sebelumnya sang bunda lebih dulu memandikan dan mendandani Baby Ali sebelum bertemu ayahnya.Namun, sayangnya Malik sepertinya belum siap bertemu malaikat kecil yang tak berdosa itu.Di lantai bawah, tepatnya di kamar ujung kanan rumah. Malik baru saja menyelesaikan shalat sunnah taubat. Saat Elrima menggedor pintu, lelaki itu tengah khusyuk bersujud memohon keikhlasan hatinya setelah kehilangan Rina.Ia mendengar omelan Elrima tentang Ali. Malik merasa menjadi Ayah yang buruk unt
"Kang ...," panggil Rina dengan suara lirih. Suaminya baru saja duduk di kursi besi dekat bed pasien. "Neng." Malik segera menggenggam erat jemari istrinya yang terasa dingin. "Neng udah gak kuat, Kang. Neng capek ... capek pisan, " cicit perempuan itu. Matanya berkali memejam lama dan terbuka sesaat, seolah kelopak yang tampak layu itu dihimpit beban besar. "Astaghfirullah, Neng! tolong jangan bicara yang aneh-aneh. Akang di sini akan selalu menunggu kamu sembuh. Anak kita menunggu di rumah, Sayang." Malik berkata lirih sembari mengecup bagian wajah istrinya berkali-kali.Lelaki itu berharap mengalirkan banyak kekuatan agar istrinya mau berjuang bersama-sama untuk sembuh. "Kang ... tolong ridhoi, Rina. Ikhlaskan agar jalan pulang neng gak sulit." Wanita itu kembali terpejam untuk memeras air mata. Napas yang kian sesak serasa akan menghilang sebentar lagi. Malik yang panik segera menepuk pelan pipi istrinya. Rina meringis menahan sesuatu yang sangat menyakitkan. "Neng, tahan se
"Teh Rina kenapa, Kang?" tanya Elrima. Perempuan itu tengah duduk di kursi tunggu."Keracunan kayaknya, Neng. Soalnya keluar busa dari mulutnya," sahut Malik lesu sambil duduk di samping istri mudanya."Ya Allah, Kang. Kok bisa sampe keracunan dalem rumah. Emangnya makan apa?" cerocos Elrima yang benar-benar syok, kakak madunya bisa sampai terkena racun."Akang juga gak tahu, Neng. Mungkin nanti ditanyain langsung setelah orangnya sadar." Ekspresi Malik semakin muram.Elrima tak tega melihat suaminya berwajah sendu seperti itu. Ingin ia merengkuh Malik dan menenangkan lelaki itu dalam pelukannya. Namun perempuan itu sadar posisi dirinya siapa."Semoga si Teteh gak kenapa-napa ya, Kang. Kasian Dedek Ali," lirih Elrima yang duduk berjarak dua jengkal di kursi tunggu."Semoga, Neng."Keheningan sesaat menguasai keduanya. Mereka terpekur dengan pikiran masing-masing.Saat tak ada obro
Malik masih tidur siang. Baby Ali sedang di lantai atas diasuh Elrima. Hari minggu Rina menyuruh adik angkatnya itu keluar untuk jalan-jalan, tetapi wanita itu menolak dan memilih membantu menjaga Ali.Tentu Elrima tak mungkin berkeliaran di luar, saat berita yang menyudutkan dirinya masih belum punah dari ingatan netizen. Bisa-bisa ia kembali menjadi sasaran lelaki hidung belang.Membayangkannya saja, Elrima sudah bergidik ketakutan. Ia masih ingat bagaimana sakitnya ditusuk bertubi-tubi menggunakan senjata tajam.Rina yang merasa bosan, mengecek ponsel Malik. Tak ada yang mencurigakan di sana, sebab Elrima dan suaminya belum pernah bertukar pesan. Isi pesan whatsapp hanya seputar pekerjaan, sementara sosial media jarang dibuka si empunya.Rina iseng membuka instagram milik suaminya. Ada akun baru yang mem-f
"Tidak ada!" ketus sang dokter karena merasa dirinya memiliki backing yang lebih kuat dari seorang Malik Al-Faruq."Saya akan menghentikan donasi ke rumah sakit ini dan mencari rumah sakit lain yang lebih profesional," ancam Malik dengan nada dingin. Matanya menyorot tajam kaca mata tebal sang dokter yang kemudian tersenyum mengejek."Silahkan, Pak. Jika sudah basa-basinya, saya permisi harus menjalankan tugas," pungkas lelaki yang dijuluki dokter Rangga itu, lalu berdiri dan hendak keluar ruangannya. Ia meninggalkan Malik yang kemudian menghempaskan punggung di kursi.Malik tak habis pikir, kenapa ada oknum rumah sakit yang menyembunyikan data pasien. Padahal lelaki itu hanya ingin menguburkan Zain dengan layak demi Elrima, kenapa semuanya jadi sulit begini.Kepala lelaki itu rasanya berdenyut mau pecah. Ia memikirkan bagaimana sedihnya Elrima andai tahu kejadian ini, juga tanda tanya yang pasti memenuhi benak Rina. Istri pertaman
"Kang Zain itu suami saya, Teh." Akhirnya jawaban paling masuk akal bagi Elrima itu yang meluncur dari bibir tipisnya.Mata Malik melebar tak percaya, seperti ada sesuatu yang meremas jantungnya hingga menyebabkan rasa terkejut yang menyakitkan.Elrima tersenyum canggung ke arah Malik. Ia lantas memasang wajah sendu saat bersirobok dengan kakak madunya.Sekarang Rina paham kenapa Malik memperlakukan Elrima dengan begitu spesial. Mungkin suaminya merasa bersalah karena sudah mencelakai Zain, ditambah sekarang lelaki itu sudah tak ada lagi di dunia ini. Tentu penebus rasa bersalah itu, hanyalah dengan memberikan segala yang terbaik untuk baby sitter-nya sekaligus istri dari korban yang ditabrak suaminya."Gimana ceritanya, kok bisa serba kebetulan gini?" tanya Rina yang ingin semakin diyakinkan jika Elrima dan suaminya tak memiliki hubungan spesial apa-apa."Kami janjian mau pindah kostan yang gak terlalu jauh sama rumah
"D--dia ...," ucapan Zain terputus napas yang sudah benar-benar hilang dari tubuhnya.Lelaki itu terpejam dengan tubuh yang kian memucat. Malik lantas memegang nadi Zain yang sudah tak berdetak."Innalillahi wa innalillahi rojiun," ucap Malik dengan dada yang bergemuruh hebat. Satu kalipun ia tak pernah menyangka, seorang Zain yang pernah Malik benci, bisa meninggal setelah menyelamatkan nyawa seisi mobil yang dikendarainya."Z--Zain ... Akang ngomong apa? Jangan bercanda, Kang." Elrima berkata dengan suara mencicit seperti tikus. Demi apapun seolah ada yang menyerabut paksa segala rasa yang ada dalam hatinya.Elrima merasakan kaki yang seperti tak berpijak lagi pada bumi. Juga pandangan yang seperti berputar di sekelilingnya. Berita yang teramat menyakitkan itu tak mampu lagi ia tahan, hingga perlahan kesadarannya menghilang bersama dekapan Malik di tubuhnya.Malik segera membopong tubuh Elrima agar segera ditangani tenaga