Jenazah Rahmat juga Nenes akan dishalatkan bersama di Masjid Agung Cianjur. Tepat sebelum kedatangan rombongan pembawa keranda, Pak Hamid dan Elrima mulai gelisah karena Malik tak kunjung kembali.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikir Pak Rusdi. Ia yang dari kejauhan melihat Pak Hamid dan putrinya tengah duduk di teras masjid, langsung tersulut emosi. Berjalan tergesa seorang Bapak yang baru saja kehilangan putranya itu mendekat ke arah Elrima.
Plak!
"Belum puas maneh bikin si Reza mati, sekarang si Rahmat nyusul Kakaknya. Semua ini pasti ada kaitannya sama kamu!" bentak Pak Rusdi yang baru saja mendamprat pipi Elrima.
Gadis yang sedang melamun memikirkan Malik, tentu kaget dengan serangan mendadak dari mantan calon mertuanya itu.
"Kurang ajar sia geus nyabok anak aing. Kadieu wani gelut jeung bapakna, lain ngan saukur wani ka awewe, dasar lalaki teu boga cedo!," (Kurang ajar kamu sudah menampar anak saya. Sini lawan bapaknya, bukan cuma berani sama perempuan, dasar laki-laki gak punya etika) rutuk Pak Hamid sambil mencengkram kemeja Pak Rusdi.
Sebelum bapak Rima menghajar lelaki paruh baya itu, Pak Ustadz dan yang lainnya lebih dulu datang melerai perkelahian.
"Istighfar Bapak-Bapak! Ada apa ini teh ribut-ribut. Kalian gak lihat ada mayit yang harus segera diurus?" tegur seorang ustadz seusia Pak Hamid itu menasihati keduanya.
"Dia yang sudah menyebabkan anak saya mati, Pak. Perawan tua pembawa sial ini yang membuat kedua putra saya meninggal," kesal Pak Rusdi sambil menunjuk wajah Elrima penuh emosi, tangannya bergetar hebat memperlihatkan urat-urat hijau yang menonjol.
"Astaghfirullah! Jangan menyalahkan orang lain atas meninggalnya almarhum, Pak. Ini semua sudah takdir Allah, tak ada istilah pembawa sial dalam Islam, semua tak akan terjadi tanpa seijin-Nya." Pak Ustadz berkata tenang sambil mengusap punggung Pak Rusdi agar emosinya mereda.
Jenazah Rahmat dan Nenes sudah berada di dalam masjid, seseorang memanggil Pak Ustadz agar segera melakukan prosesi shalat jenazah. Mendengar nama putranya disebut seketika Pak Rusdi terduduk lemas, ia menangis sesenggukan sambil membenamkan wajah di antara lutut.
"Kalian pasti gak tahu rasanya kehilangan anak dengan cara tragis. Kalian gak akan ngerti gimana saya yang sendirian mengurus Reza dan Rahmat dengan tangan ini," lirih lelaki paruh baya itu sambil melihat dua telapak tangannya yang bergetar dengan pandangan mengembun.
Masih terekam jelas di benak Pak Rusdi, kala Rahmat baru saja berhenti menyusu di usia dua tahun, istrinya pamit pergi bekerja di luar negeri karena himpitan ekonomi. Sayangnya setelah itu Ibu dari dua anaknya tak pernah lagi memberi kabar hingga kini.
Pak Rusdi membesarkan dua putranya seorang diri, banting tulang menjadi sopir angkot. Tak mudah membesarkan dua anak lelaki di tengah ekonomi seadanya, tetapi saat mereka dewasa justru Sang Maha Pemilik mengambilnya kembali.
Awan hitam berarak-arak menggumpal di sekitar Cianjur. Seolah semesta ikut berduka, sampai tak lama rintik gerimis mulai berjatuhan terbawa angin. Mata lelaki paruh baya itu berubah nanar, mengingat kembali Rahmat yang sangat menyukai hujan.
"Kamu yang tenang di sana, Jang. Do'a kan semoga bapak bisa membalas semua perbuatan orang yang sudah menghilangkan nyawamu." Suara Pak Rusdi begitu lirih bagai desauan angin di musim penghujan.
"Pak, ayo kita shalatkan jenazah, mumpung hujan masih gerimis dan semoga saja setelah ini langit cerah," ajak Pak Ustadz yang lebih dulu berdiri, ia memutuskan dengan ataupun tanpa Pak Rusdi, tentu mayit harus segera dishalati dan dimakamkan.
Akhirnya para lelaki itu memasuki masjid untuk melaksanakan shalat jenazah, menyisakan Elrima yang memandang hujan dengan tatapan sendu. Kepalanya terus berputar mengingat berbagai kehilangan yang menimpanya bertubi-tubi.
"Kenapa begini Tuhan? Kenapa harus ada kematian di setiap rencana pernikahan yang kujalani?" gumam perempuan itu dengan mata yang mulai basah mengandung tangis.
Di tempat lain di waktu yang sama. Malik baru saja tiba di RSUD Sayang di mana istrinya di rawat. Pria itu segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan pasien bernama Rina Nurjanah.
Seorang suster lalu mengantar Malik menuju ruangan di mana wanita yang sangat dicintainya itu berada. Sampai beberapa meter sebelum tiba di tempat Rina dirawat, pria itu melihat Pak Maman juga Abdul yang wajahnya terlihat penuh duka.
Keringat dingin bercucuran membasahi kemeja Malik, ketukan sepatu suster bersahutan dengan degup jantung lelaki itu yang berpacu dua kali lipat. Sampai di dekat Pak Maman ia mengucap salam.
"Waalaikumsalam. Allahu Akbar! Jang Malik kenapa bisa babak belur begini, suster apa bisa menantu saja diperiksa dulu," sambut Bapak mertua yang sekilas memeriksa wajah menantunya yang dipenuhi lebam.
Pak Maman memang begitu menyanyangi Malik seperti putranya sendiri, tentu mertua mana yang tak akan menyayangi menantu yang sangat baik juga dermawan, nyaris tiap bulan suami Rina itu selalu mengirim uang dengan jumlah yang tak sedikit.
Bukan karena materi yang membuat Pak Maman begitu menghormati Malik, melainkan setiap pujian Rina yang selalu bercerita pada kedua orang tua, betapa baiknya sang suami.
Maka ketika ada masalah, Pak Maman tak buru-buru menghakimi melainkan memberikan kesempatan pada Malik untuk menjelaskan masalahnya setelah ini.
"Bisa, Pak. Mari ikut saya," ajak suster yang belum beranjak itu.
"Nanti saja, Sus. Saat ini saya ingin bertemu istri dulu," tolak Malik yang kemudian diangguki sang suster yang langsung pamit undur diri.
"Rina sekarang gimana, Pak?" tanya pria bertubuh tinggi itu tak sabar setelah punggung suster tak lagi terlihat.
"Alhamdulillah bayimu lahir sehat, Jang. Selamat karena sudah menjadi seorang Bapak," ucap Pak Maman yang lebih dulu memberikan kabar bahagia agar Malik lebih bisa berlapang dada dengan keadaan istrinya.
"Bukannya kandungan Rina belum cukup bulan ya, Pak? Kok bisa melahirkan secepat ini?" cecar pria yang begitu mencintai istrinya itu, membuat Pak Maman hanya mampu menghela napas berat.
"Itu dia masalahnya, Jang. Rina denger kamu kena musibah, dia langsung syok dan terpaksa bayinya harus segera dikeluarkan," jelas Pak Maman yang tak tega membicarakan secara gamblang di mana menantunya itu disangka melecehkan seorang gadis, biarlah nanti Malik sendiri yang bercerita, pikirnya.
"Allahu Ahad ya Rabbul Ghafur. Jadi Rina sudah mendengar fitnah keji itu, Pak?" Suara Malik begitu lirih bersama luruhnya tubuh kekar yang bersimpuh di dekat kaki Pak Maman.
"Allahu Ahad ya Rabbul Ghafur. Jadi Rina sudah mendengar fitnah keji itu, Pak?" Suara Malik begitu lirih bersama luruhnya tubuh kekar yang bersimpuh di dekat kaki Pak Maman.Tak bisa Malik bayangkan bagaimana perasaan Rina yang tengah hamil tua dengan kondisi sakit-sakitan, harus menerima kabar dirinya yang melecehkan seorang gadis. Benar adanya jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, kini lelaki itu merasakan sendiri bagaimana sebuah fitnah bersiap menghancurkan rumah tangganya."Jadi gimana kabar gadis itu, Jang?" tanya Pak Maman dengan nada tenang, berharap Malik menceritakan segalanya dengan jelas supaya hatinya tak lagi diliputi was-was andai berita itu benar adanya."Dia gak papa, Pak. Semuanya cuma salah paham," jelas lelaki yang masih setia berjongkok di dekat kaki mertuanya, lantas Malik menceritakan semua hal persis adanya kecuali bagian di
"Dasar lalaki brengsek! Ngomongna bakalan balik lagi secepatnya, tapi buktinya apa?!" umpat Pak Hamid yang membuat Elrima terlonjak kaget seketika.Pasalnya lelaki paruh baya itu biasa menahan lisan dan amarah, tetapi sang putri seolah melihat sosok lain dari Bapaknya sendiri kali ini. Sebegitu besar kah, harapan Pak Hamid agar Elrima bisa berumah tangga dengan tenang.Mata indah wanita itu mengembun, ia bukan perempuan cengeng, tetapi melihat Pak Hamid begitu ingin memperjuangkan kebahagiaannya, Elrima merasa terenyuh. Ah, andai tak ada yang menghabisi nyawa belasan calon suaminya, mungkin sang bapak akan selalu manis dan tak menunjukkan sisi lain dirinya.Namun, kehidupan kadang kala tak sesuai harapan. Kebahagiaan disyukuri, cobaan dijalani dengan sabar, tetapi Pak Hamid sudah merasa di ambang batas lapang dada, hingga kini menjadi sempit hati dan pikirannya memikirkan masa depan sang putri yang teru
"Kalian pasti mau minta tanggung jawab, kan? Ayo saya bantu buat labrak ke rumah sakit!" seru Bu Riska menggebu-gebu, tak sabar ingin melihat kehancuran keluarga Rina yang tak lain keponakannya sendiri."Bu apa-apaan! Rina itu keponakan kita. Apa Ibu gak mikirin keadaan dia yang lagi drop, terus kita mau bikin rusuh di sana gitu? Istighfar Bu, nyebut!" sentak Pak Ujang mencoba menyadarkan istrinya yang seperti kesetanan.Ia sedikit paham bagaimana Bu Riska masih kehilangannya Nenes, begitupun dirinya. Namun, tak lantas harus melampiaskan rasa tak terima dengan menghancurkan rumah tangga keponakannya sendiri."Diam!" teriak Bu Riska dengan mata nyalang menatap sang suami."Ibu udah capek ngalah terus sama si Santi. Saya sudah kehilangan anak, maka diapun harus merasakan hal yang sama!" raung wanita paruh baya dengan daster lusuh itu sembari memukul-mukul dadanya.Sejak pernikahan
"Silahkan kamu berbuat seenaknya tanpa memikirkan perasaan Rima, tetapi lihat nanti bagaimana tanggapan istri pertamamu jika kuperkenalkan anakku sebagai istri kedua suaminya?" ancam Pak Hamid dengan nada tenang tetapi membuat emosi Malik tersulut karena tersudut.Lelaki dengan pakaian sama sedari siang itu mengacak rambut frustasi. Benaknya kembali terbang kala sebuah permintaan menyakitkan meluncurkan dari mulut sang istri."Ceraikan aku dan nikahi perempuan itu!"Mungkin lelaki tak bertanggungjawab di luar sana akan bersuka ria saat istrinya meminta meninggalkan perempuan yang tengah sekarat demi istri kedua. Namun, tidak dengan Malik yang setia dan terlampau mencintai Rina."Hatiku takan pernah menduakanmu, Rin."'Ya, hatiku takan pernah mendua meski raga sudah menikahi perempuan lain'Ucapan Malik bukan dusta, ia memang tak pernah
"Pak! Jangan sampai Rina drop lagi mendengar berita ini," teriak Malik sebelum Pak Maman berbelok menuju ruangan di mana putrinya di rawat.Lelaki yang diliputi amarah pada sang menantu itu akhirnya menghentikan langkah. Tentu saat ini kondisi Rina yang paling utama. Tak terbayang andai putrinya tahu jika sang suami menikah lagi."Saya akan diam untuk saat ini karena si Neng. Tapi kalau kamu bertingkah sampai si Neng tahu semuanya, bapak gak akan tinggal diam," ancam Pak Maman sambil menunjuk wajah Malik yang langsung memucat tetapi sedikit lega."Semoga Bapak suatu saat bisa tahu yang sebenarnya dan mengerti kenapa saya melakukan ini," sanggah Malik sambil terus mengatur napas karena kesal.Posisinya kali ini memang serba salah. Melepaskan Elrima, tentu Pak Hamid tak akan tinggal diam. Lalu melanjutkan perni
"Jangan-jangan Akang emang beneran udah nikah lagi?" tebak perempuan yang sudah melepas hijabnya di hadapan sang suami.Malik langsung salah tingkah dengan dentuman jantung yang nyaris serasa akan meledak saking kagetnya dengan pertanyaan Rina."Akang kenapa sampe pucet gitu, padahal neng teh cuma bercanda," kekeh Rina sambil mengunyel-unyel cambang tipis lelaki di hadapan.Malik tersenyum lega melihat keceriaan sang istri, matanya menatap lekat sepasang netra berbentuk hazel itu begitu dalam. Ia mengusap punggung tangan Rina yang berada di pipinya dengan lembut."Apapun yang terjadi, cinta akang untukmu takan pernah berubah, Neng. Kamu adalah istri terbaik yang akang miliki," ucap lelaki itu penuh kejujuran terlihat dari sepasang maniknya yang coba Rina selami.Tentu istri mana yang tak terenyuh mendengar kata-kata manis dari sang suami. Semakin ber
Malik Al-Faruq : Tewas dalam keadaan menggelepar selepas terlindas truk.Tubuh Elrima lunglai kala membaca sederet nama dan peristiwa yang membuat dadanya ngilu. Ia terduduk dengan tangan bergetar tepat di samping tong sampah dapur.Buliran kristal berjatuhan menganak sungai di pipinya, hingga cairan bening itu menetes di atas kain kafan yang Elrima geletakan begitu saja di atas lantai."Kang Malik ... Maafin Rima, Kang ... Harusnya Akang gak kaya gini," lirih perempuan yang masih mengenakan celemek dapur, tergugu dalam penyesalan karena telah menyeret lelaki itu dalam pusara kematian.Pak Hamid yang baru selesai ngopi di teras depan, menuju dapur untuk menaruh gelas di wastafel. Namun, segera ia mempergegas langkah kala melihat sang putri terisak sambil menangkupkan wajah di antara lutut yang ditekuk.Lelaki paruh baya itu ikut berjongkok di dekat E
Malik berbalik dengan wajah dingin bergegas menghampiri Pak Hamid. Sangat berbeda dengan ekspresi lelaki paruh baya itu yang terlihat lega bercampur syukur."Ada apa lagi, Pak?" tanya Malik tanpa basa-basi karena takut dicecar banyak pertanyaan oleh Bu Santi, yang pasti bisa melihat mereka dari jauh.Terlihat sungkan tetapi maklum dengan sikap dingin Malik. Tanpa mengucapkan apapun, Pak Hamid merogoh sesuatu dalam dompetnya lalu menyerahkan pada menantunya."Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas perlakuan saya kemarin, Pak Malik. Saya tidak akan menuntut apapun lagi selain sebuah permintaan.Tolong Pak Malik istikharah dulu sebelum meninggalkan Elrima. Agar hati saya lega jikapun Anda memang tak ingin melanjutkan pernikahan dengan anak saya. Saya pasrahkan segalanya pada Allah." Pak Hamid berucap tulus sambil menyerahkan KTP Malik, beserta secarik kertas bertuliskan nomor telepon Pak Hamid dan E