Malik berbalik dengan wajah dingin bergegas menghampiri Pak Hamid. Sangat berbeda dengan ekspresi lelaki paruh baya itu yang terlihat lega bercampur syukur.
"Ada apa lagi, Pak?" tanya Malik tanpa basa-basi karena takut dicecar banyak pertanyaan oleh Bu Santi, yang pasti bisa melihat mereka dari jauh.
Terlihat sungkan tetapi maklum dengan sikap dingin Malik. Tanpa mengucapkan apapun, Pak Hamid merogoh sesuatu dalam dompetnya lalu menyerahkan pada menantunya.
"Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas perlakuan saya kemarin, Pak Malik. Saya tidak akan menuntut apapun lagi selain sebuah permintaan.
Tolong Pak Malik istikharah dulu sebelum meninggalkan Elrima. Agar hati saya lega jikapun Anda memang tak ingin melanjutkan pernikahan dengan anak saya. Saya pasrahkan segalanya pada Allah." Pak Hamid berucap tulus sambil menyerahkan KTP Malik, beserta secarik kertas bertuliskan nomor telepon Pak Hamid dan E
"Pak, Malik pulang dulu. Nanti ke sini lagi bareng Mang Ujang," pamit Malik pada mertuanya yang tengah terbaring lemah di atas bed pasien.Pak Maman mengangguk dan mengantar kepergian menantunya itu dengan ekor mata. Namun, langkah Malik terhenti kala mendapati seseorang dibalik pintu yang menatap sayu bapak mertuanya."Ma ...," panggil Malik pada Bu Santi yang ternyata diam-diam mengekori kepergiannya."Bapak!" pekik perempuan yang baru sadar dari syok, menghambur menuju suaminya."Kenapa Bapak bisa ada di sini, Pak?! Ini ceritanya gimana sampe Bapak bisa kaya gini?" raung Bu Santi, sesekali mengusap kasar lelehan air mata yang keluar begitu deras."Bu, tolong tenang dulu!" pinta Malik yang berbalik
"Ada apa ya, Bi? Tumben ke sini?" ucap Elrima dingin, setelah turun dari motor dan menghampiri Bi Siti yang sejak tadi menunggunya di luar pagar rumah."Ini saya bagi-bagi beras ke semua tetangga, soalnya baru aja panen banyak banget. Allah itu emang baik sama saya, makannya dikasih harta banyak dan--""Iya udah tau, Bu." Elrima menyambar omongan Bi Siti karena sudah bosan mendengar kalimat yang terus diulang-ulang itu."Dasar gak sopan! Kolot lagi bicara ya dihargai, dengerin sampe beres, baru maneh ngomong. Kang Hamid ini gimana sih, dididik gak anak gadisnya, kok kaya gak punya sopan santun, pantesan gak ada yang mau nikahin kamu," cerocos Bu Siti panjang lebar."Denger Mak Siti! Kamu jangan lagi komenin hidup saya. Urus aja sana! anakmu yang hamil di luar nikah itu, biar segera cari suaminya yang kabur!" kesal Elrima
"Akang kenapa?" tanya Rina pada Malik yang segera menonaktifkan ponsel, karena video masih diputar dan mengeluarkan suara."Ng-nggak apa-apa, Neng. Cuma kaget aja, barusan liat video hantu. Lagi serius nonton, eh Neng malah nongol," dusta Malik sambil mengurut dada yang di dalam sana sedang riuh, bahkan ia seperti bisa mendengar detak jantungnya sendiri saking kagetnya."Ada-ada aja, si Akang. Kirain neng teh kenapa," kekeh Rina sambil mengeringkan rambut yang basah, ia baru saja mandi wiladah.Malik hanya tersenyum tipis sembari mengatur napas, agar irama jantungnya kembali normal."Emang hantu apaan kitu, Kang. Meni sampe kaget kitu?" kepo Rina sambil berjalan mendekat ke arah sang suami, lalu mengambil pouch skincare di dalam tas besar.Perempuan itu sudah jauh-jauh hari menyiapkan tas persalinan, isinya lengkap dan sesuai kebutuhan.
"Mau kemana Neng 47 detik," goda salah satu pemuda yang kemudian mendekati Elrima dengan seringai liciknya."Lu deket-deket. Lu mampus!" ancam perempuan itu dengan gestur tubuh di tenang-tenangkan. Padahal hatinya tengah ketar-ketir.Elrima sengaja mengulur waktu. Berharap ada motor atau mobil yang lewat, yang bisa dimintai bantuan. Sekuat apapun perempuan, tentu dua lawan satu tetap kalah tenaga."Aih! Cantik-cantik kok, galak Neng? Giliran di grepe-grepe di toilet aja, malah pasrah." Lelaki dengan jaket denim berwarna pudar itu terpingkal, diikuti temannya.Elrima menelan saliva. Ia menebak jika dua pemuda di hadapan sudah menonton videonya di tok tak. Segera perempuan itu meraih masker di tas selempang, lalu memakainya dengan tergesa.
"Rima Jang ... Anak bapak sekarat," lirih Pak Hamid sembari menyeka air matanya."Innalillahi, kok bisa Pak?" Malik mengusap wajah kasar. Tak menyangka Elrima benar-benar celaka seperti dalam pikirannya."Dia mau dilecehkan, Jang. Pas Rima kabur, mereka gak terima dan menikam anak bapak dari belakang," cicit Pak Hamid tersendat-sendat di sela tangis."Allahu Rabbi. Sekarang Rima di mana Pak?""Ini lagi di mobil mau dirujuk ke rumah sakit sayang. Soalnya pihak puskesmas gak kuat menangani si Neng yang terluka parah."Hati Malik semakin ketar-ketir mendengar kondisi sang istri. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang dari biasanya."Malik juga masih di rumah sakit, Pak. Kabari lagi kalau udah nyampe ya. Bapak gak usah khawatir. Rima nanti di rawat di ruangan kelas I, semua biaya biar Malik yang tanggung," jelas Malik panjang leb
"Kang gimana kabar Javana Group? Katanya saham turun gara-gara ada video syur ya?" ucap Zain tiba-tiba.Kening Malik berkerut."Gak usah gitu juga reaksinya kali, Kang. Sekarang info saham atau apapun bisa dilihat di internet." Zain menyemburkan tawa, saat melihat keterkejutan di wajah suami Elrima.Malik lupa jika dirinya belum mengecek pekerjaan apapun selepas pulang kampung bersama Rina. Semua tugas sudah ia delegasikan kepada Ridwan---sepupu sekaligus wakilnya."Kang Zain emang ngerti saham?" tanya Malik meremehkan."Emang zaman kiwari siapa yang gak tau saham, Kang. Kecuali emang orangnya kudet." Lelaki itu berkata dengan nada ramah."Wah, berarti bapak kudet dong. Soalnya gak ngerti-ngerti masalah kaya gitu. HP juga masih cinitnit, Jang. Asal bisa nelpon sama SMS aja udah bersyukur," ucap Pak Hamid merendah.
"Neng gak mau terus dikasihani, Pak. Lagian Kang Malik juga punya kehidupan sendiri yang gak bisa dibagi sama Rima," lirih perempuan itu. Meski dadanya sesak ia mencoba untuk rela.Sebab tak mungkin menggenggam sesuatu yang memang bukan miliknya. Di saat ada perempuan lain yang memiliki Malik seutuhnya, baik raga maupun hatinya.Lebih baik mundur sebelum perasaan itu kian mengakar. Daripada harus dicabut saat sudah menjadi pohon yang menjulang. Tentu akan lebih sakit dan menyesakkan.Zain diam menyaksikan drama yang menciptakan dua kubu di hatinya. Satu sisi bahagia melihat Elrima ingin meninggalkan suaminya. Satu lagi terluka, sebab ia melihat sorot cinta saat perempuan itu menatap Malik."Neng, minta cerai sama suami itu dosa. Istighfar Neng." Pak Hamid mengingatkan.Walau hatinya juga bimbang antara merestui kelanjutan pernikahan putrinya. Atau me
"Akang lagi ngapain di sini?" tanya Rina yang langsung membuat suaminya terlonjak kaget."Eh, Neng sejak kapan ada di sini?" Malik balik bertanya demi menutupi kegugupannya."Baru aja, Kang. Akang abis jenguk siapa sih?" Rina penasaran."Eh, ruangan ini kosong, Neng. Akang rencananya mau pindahin Neng ke sini, makannya akang cekin dulu barusan," dusta Malik sembari menggaruk belakang kepala yang tak gatal."Akang aneh deh." Rina mencebik."Aneh gimana, Neng?" Perasaan Malik mulai tak enak. Keringat dingin membanjiri kaos biru tua yang saat ini ia kenakan."Ya aneh aja, tiba-tiba nyuruh neng pindah kamar. Padahal hari ini juga udah bisa pulang kata suster." Rina terus menyelidiki gelagat Malik.Lelaki itu bersyukur Rina sudah dibolehkan pulang. Itu artinya, kemungkinan perempuan itu bertemu Elrima, sangatlah kecil."Ga