Bab 26Air Mata Kehidupan"Alhamdulillah, kamu sudah sadar," ucap Tamam saat melihat kelopak mata istrinya terbuka. Tarfi'ah merasakan kepalanya pusing dan berat. Ia pegangi kepalanya dengan tangan. Benar-benar ia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tamam sendiri suasana hatinya sudah tak karu-karuan. Tapi dia sendiri nggak tahu harus bagaimana di depan istrinya yang baru saja sadar itu. "Aku di mana, Mas? Aku kenapa?" tanya Tarfi'ah dengan nada yang sangat berat. Lupa? Ya, Tarfi'ah tak ingat apa-apa lagi, setelah matanya melihat Nabilla penuh darah, seketika dia pingsan lagi dan lagi. Entah sudah berapa kali dia pingsan. Setiap bangun, jika mengingat darah yang mengalir segar di badan anaknya, dia seketika histeris dan pingsan lagi. "Kamu pingsan dan sekarang ada di rumah sakit," jelas Tamam dengan nada suara yang sangat pelan. Nada suara itu sangat berat. Tapi dia tetap berusaha menyampaikan dengan pelan. Dengan penuh hati-hati. Dia tak ingin keadaan istrinya semakin memb
Bab 27Luka Kehidupan"Kita tadi kelamaan muter-muter, jadi nggak ketemu lagi dengan mereka, ya Allah ...." gerutu Razmi. Merasa kesal nggak jelas. Sesak sekali hatinya dengan keadaan ini. Benar-benar dalam keadaan zona tak nyaman."Ya namanya kita juga bukan orang sini. Nggak hapal jalan," balas Teguh. Dia sendiri juga sebenarnya kesal, tapi tak mungkin dia nampakan di depan istrinya. Agar keadaan tak semakin runyam. Nathan masih terdiam. Badannya lemas seolah tak kuat untuk bangkit. Razmi menoleh ke arah anaknya. Mengambil anaknya yang kecil, yang memang masih dalam dekapan Nathan. Anaknya yang kecil pun nurut saja saat Razmi mengambilnya. Mendengar Nabilla meninggal, Nathan masih berharap itu hanya mimpi. "Nathan?" sapa Razmi lirih. Tapi Nathan tak menjawab. Tatapan matanya kosong dengan air mata yang terus bergulir dengan sendirinya. Rasa sesak di dadanya, cukup mampu menarik air mata keluar dari sarangnya. Cukup membuat dunianya hancur berkeping-keping saat mendengar kabar it
Bab 28Penuh Tanya"Nathan! Jangan dikejar!" teriak Teguh. Seketika Nathan menghentikan langkahnya dengan napas yang sudah ngos-ngosan. Teriakan Teguh cukup terdengar jelas di telinga Nathan. "Iya, Nak! Kita ke rumah Nabilla dulu saja!" teriak Razmi juga. Nathan menelan ludahnya sejenak. Mengatur napas yang masih tersengal-sengal. Memejamkan matanya sejenak, untuk mengontrol dirinya. "Benar juga kata Ayah dan Mama!" ucap Nathan dalam hati. Kemudian dia segera membalikan badannya. Dengan cepat dia mendekati mobil orang tuanya itu. Melihat keadaan anaknya seperti itu, membuat hati Razmi semakin tak karu-karuan. Begitu juga dengan Teguh. Walau hanya ayah tiri, tapi dia sangat menyayangi Nathan seperti anak sendiri. Tak ada bedanya. "Kenapa aku datang ke sini, malah seperti ini keadaannya? Ya Allah ...." ucap Razmi dalam hati. Semakin tak jelas rasa yang ia rasakan. "Tadi siapa? Teman kamu?" tanya Teguh setelah Nathan duduk di kursi semula. Nathan segera menganggukkan kepalanya pelan
Bab 29Detik Akhir"Nathan ke mana, ya? Nggak diangkat aku telpon!" tanya Razmi yang mulai khawatir dengan keadaan anaknya. Karena sudah sekian jam, dia tak melihat sosok anaknya. Bukan hanya Razmi saja yang Khawatir, tapi Teguh juga. Walau dalam keadaan penuh duka, melihat mereka khawatir dengan Nathan, cukup membuat Tamam khawatir juga. "Mungkin sudah kembali ke tempat dia menginap. Kalian tahu kan di mana tempat nginapnya kan?" tanya Tamam. Razmi menggeleng dengan cepat. Karena dia memang tak tahu. Sampai kota langsung menuju ke rumah Tamam. Begitu juga dengan Teguh, dia sendiri juga tak tahu, di mana anak-anak tirinya itu menginap. "Nggak tahu. Tadi sampai sini langsung menuju ke sini," jawab Razmi. Tamam menelan ludah sejenak. Bisa memahami bagaimana perasaan mereka. Karena yang namanya anak, tetap saja membuat kepikiran kalau tak lagi bersama. "Sabar, Dek! Mereka sudah besar. Yakin bisa jaga diri mereka sendiri! Jangan terlalu dipikirkan!" ucap Teguh untuk menenangkan hati
Bab 30ENDING"Nathan, kamu dari mana saja?" tanya Razmi saat melihat anaknya. Nathan memutuskan untuk kembali ke rumah Nabilla, bersama dengan Zahira."Maaf, Ma!" Hanya kata maaf yang bisa Nathan lontarkan. Karena dia bisa menilai kalau mamanya itu memang sangat cemas akan Keadaannya."Loh, dia kan perempuan yang minta tolong kita tadi bukan?" tanya Teguh dengan menunjuk ke arah Zahira. Nathan segera menganggukkan kepalanya. Zahira hanya bisa nyengir nggak jelas."Iya, Yah. Senagaja Nathan mencari dia. Karena ... dia ... emm ... saksi atas kematian Nabilla," jawab Nathan terbata-bata. Seketika Teguh dan Razmi terkejut mendengarnya. Tercengang dengan mata membulat dan bibir menganga. Tak percaya begitu saja, dengan apa yang mereka dengar."Hah? Kamu serius?" tanya Teguh untuk lebih memastikan apa yang dia dengar. Nada suara syok terlontar dengan jelas."Iya, kamu serius?" tanya Razmi juga. Nathan menganggukkan kepalanya cepat dengan ekspresi yang sangat meyakinkan.Area mata Nathan su
Bab 1Kehidupan lanjutan"Kenapa Nando tak angkat telpon aku, ya? Semakin ke sini dia nampaknya semakin menjauh dariku? Kenapa, ya? Apa aku ada salah sama dia?" ucap Nabilla ngomong sendiri. Semakin tak enak dengan keadaan yang ia rasakan.Dia ada di kamar sekarang. Memainkan gawainya. Ingin menelpon teman dekatnya. Nando. Tapi entah sudah berapa kali dia telpon, tak ada tanggapan. Bahkan sudah Nabilla chat juga, tak ada balasan.Nabilla hanya ingin sedikit bercerita saja. Tapi telponnya itu memang tak ada tanggapan. Cukup membuatnya semakin menjadi tidak nyaman.Nabilla menarik napasnya panjang. Karena merasa dijauhi, cukup membuat hatinya sesak dan tak nyaman. Berkali-kali dia membuang napasnya, berharap rasa sesak dan tak enak itu, bisa berubah menjadi tenang. "Aku salah apa ya, sama Nando? Perasaan aku nggak punya salah!" Nabilla tetap ngomong sendiri. Ia memejamkan matanya sejenak. Kemudian meletakkan gawainya itu di sebelahnya. Masih dengan perasaan yang penuh dengan tanda tany
Bab 2Sebuah Rencana"Kamu itu nggak bisa bohong sama Ayah," ucap Nathan. Dia merasa anak gadisnya berbeda. Tentu saja Nabilla langsung menatap ke arah ayahnya itu. Saat anaknya menatap tajam serta itu, Nathan pun membalasnya dengan senyum khas seorang ayah."Maksud Ayah apa?" tanya Nabilla. Nathan memainkan ekspresinya. Ekspresi khas seorang ayah yang sangat mencintai anaknya. Cukup membuat tenang siapa pun yang melihatnya."Kamu dari tadi banyak diamnya. Nggak seperti biasanya. Kenapa?" jelas dan tanya balik Nathan. Nabilla memainkan bibirnya sejenak. Menggigit bibir bawahnya. "Masa' iya aku mau cerita kalau Nando tak mau angkat telpon dariku? Nggak mungkin banget kan?" gumam Nabilla dalam hati. "Perasaan ayah saja itu, Nabilla baik-baik saja!" balas Nabilla. Nathan sedikit mencebikan mulutnya. Kemudian menggelengkan kepalanya. Pertanda dia tak percaya begitu saja, dengan apa yang anaknya katakan. "Nggak. Ayah yakin ini tidak karena perasaan ayah, tapi kamu memang lagi ada masal
Bab 3Rasa Bersalah"Cepat jalan! Aku tak mau membuat dia terlalu lama menunggu!" pinta mamanya Nando. Sebelum melajukan mobilnya lagi, dia meminta sopirnya untuk berhenti di salah satu rumah makan. Ingin membelikan makanan kesukaan lelaki yang akan dia jumpai.Perempuan yang suka memakai high heels itu, memang selalu begitu. Jika berjumpa dengan seseorang, apa lagi pernah yang sendang mencuri perhatiannya, selalu dia bawakan sesuatu jika hendak bertemu. "Siap, Bu!" balas sopir itu. Tanpa berlama-lama lagi, mobil itu segera melaju. Tanpa mereka merasa curiga, jika ada yang membuntuti dari jauh."Semoga dia belum makan. Tak mungkin aku bertanya, pokoknya aku belikan saja!" gumam mamanya Nando dalam hati. Matanya fokus menuju ke jalanan. Hatinya selalu berdegup kencang tak menentu, jika ingin bertemu dengan laki-laki itu. Layaknya Buper ke dua, perempuan berparas menor itu, terus menata hatinya untuk menyiapkan mental bertemu dengan lelaki itu. Agar tak terlihat canggung. Ya, selain
Bab 40Ektra Part 2Lamaran berjalan dengan lancar. Selain lamaran, pembahasan pernikahan sekalian sudah di rundingkan. Semuanya setuju, semuanya merestui. Karena mereka sama-sama tahu betul bagaimana perjuangan cinta anak mereka. Dua keluarga sepakat, acara pernikahan akan digelar semeriah mungkin. Kalau Nabilla sendiri, dia menginginkan pernikahan yang sederhana saja. Begitu juga dengan Nando. Tapi, mereka juga tak bisa menolak keinginan keluarga besar. Nabilla anak pertama dan tunggal. Jadi Nathan menginginkan yang terbaik tentunya. Begitu juga dengan Marlina dan Farhan, Nando juga anak tunggal mereka. Tentu saja tak lega, jika pernikahan anak mereka digelar sederhana. Nabilla dan Nando akhirnya nurut saja. Bagi mereka yang penting semuanya merestui. Itu udah lebih dari cukup.*************************"Kamu deg-degan nggak?" tanya Nando lewat sambungan telpon. Mereka sudah tak diijinkan untuk bertemu. Istilah ngomongnya mereka sedang dipingit."Iya. Kamu sendiri gimana? Deg-deg
Bab 39Ekstra Part 1"Kalian masih muda. Yakin mau menikah muda?" tanya Nathan kepada anaknya. Cukup terkejut mendengar pengakuan Nabilla. Ya, Nabilla sudah menceritakan semuanya kepada ayahnya. Nathan tentu saja tercengang mendengar itu. Karena dia pikir, masih banyak yang harus Nabilla kejar. Apalagi, Nabilla termasuk siswa berprestasi. Tapi cinta dia kepada satu laki-laki memang tidak main-main. Itu yang Nathan lihat. "Nabilla yakin ayah, tapi ... kalau Ayah tak mengijinkan, maka Nabilla juga nggak akan mungkin melawan Ayah. Karena bagi Nabilla, ayah segalanya! Tak akan mungkin Nabilla temukan, cinta tulus dari laki-laki selain ayah!" jawab Nabilla. Cukup menyentuh hati yang mendengarnya. Nathan menarik napasnya sejenak. Dia tak menyangka kalau anaknya akan berkata seperti itu. Hatinya terenyuh, saat anaknya bicara seperti itu. Meyakinkan kalau anaknya sangat mencintainya, sangat menghormati dan menghargai keputusannya. Walau keputusannya nanti, mungkin bisa dibilang tak sejala
Bab 38Ending"Seperti itulah ceritanya, kenapa mamamu Amelia sampai sekarang, masih di penjara sampai detik ini! Dia merasa bersalah dan dia menyerahkan diri!" ucap Marlina. Dia menjelaskan semuanya. Di situ juga ada Nathan dan William. Tapi tidak ada Nabilla. Ya, kejadian kecelakaan yang dibuat Amelia di masa lalu, membuat ingatan Nando hilang. Vonis dokter mengatakan memori ingatan Nando hilang. Penyembuhan otak tidak mudah, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih. Walau tidak pulih seutuhnya, seperti sedia kala. Amelia menyerahkan diri, karena terus menerus dihantui rasa bersalah. Apalagi, kalau melihat Nando kesakitan, jika dia ingin mengingat sesuatu. Bukan hanya Amelia yang masuk penjara, tapi Jambrong juga. Polisi berhasil menangkapnya. Amelia sendiri yang melaporkannya. "Jadi Mama kandungku, Mama Marlina?" tanya balik Nando. Marlina menganggukkan kepalanya. Kemudian refleks Nando memeluk perempuan yang telah melahirkannya. "Maafkan aku, jika selama ini aku tak meng
Bab 37Akhirnya."Marlina!" sapa Amelia setelah dia tiba di ruang Nabilla. Tentu saja semua yang ada di ruangan itu menoleh ke arah suara. "Amelia?" balas Marlina. Terkejut dan tak percaya, jika Amelia datang menemuinya.Amelia terkejut melihat Nabilla yang sama dengan Nando. Lemah tak berdaya di pembaringan. "Astaga ... apa yang aku lakukan? Mungkin Nathan perasaannya juga sama yang aku rasakan saat ini. Khawatir dengan keadaan putrinya! Kenapa aku jahat sekali!?" Maki Amelia dalam hati. Ya, dia memaki dirinya sendiri. Dengan langkah pelan dan badan gemetar, Amelia masuk ke ruangan Nabilla. Matanya tak lepas memandang ke arah gadis itu. Gadis yang selama ini dia benci. Gadis yang selama ini, ia inginkan celaka. Nathan dan Marlina bingung melihat tingkah Amelia. Ada rasa was-was juga. Was-was jika Amelia menyerang Nabilla. Ya, pikirkan mereka masih negatif thinking dengannya. "Ada apa, Amelia?" tanya Marlina. Ditanya seperti itu, Amelia terkejut. Dia baru sadar kalau dia datang k
Bab 36Detik-detik Akhir"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Amelia kepada Marlina. Yang ditanya masih terus mengontrol emosinya."Tak penting kamu tahu sejak kapan aku di sini. Kenapa kamu menghilang?" jawab dan tanya balik Marlina. Amelia membuang muka begitu saja. Tak langsung menjawabnya."Bukan urusanmu!" balas Amelia ketus. Cukup membuat Marlina terkejut tentunya."Bukan urusanku kamu bilang? Kamu pergi membawa anakku! Dan kamu bilang itu bukan urusanku? Ternyata kamu tega sekali. Bukan hanya tega tapi juga kejam!" sungut Marlina. Amelia masih membuang muka. Dia tak berani menatap wajah Marlina. "Dia sekarang anakku! Bahkan secara negara dia sudah sah menjadi anakku! Kamu tak ada hak atas dia!" balas Amelia. Mendengar itu tentu saja membuat Marlina sakit hati. "Dia tetap batal jika menyentuhmu Amelia! Karena secara agama dia putraku! Kamu sangat jahat!" Marlina mengingatkan akan takdir yang sesungguhnya. "Persetan! Nando anakku, sampai kapan pun dia anakku! Jangan harap kamu bi
Bab 35Keadaan"Nak, bangun! Nabilla bangun! Ayah mohon!" ucap Nathan. Dia sudah sampai di rumah sakit. Nabilla tak sadarkan diri. Air mata terus berjatuhan. Dadanya sangat sesak. Napasnya seolah tersumbat. Yang ia pikirkan hanyalah keselamatan Nabilla. Hanya itu. Tak ada yang lain lagi.Panggilan telpon dari segala penjuru tak ia respon. Sekarang fokusnya hanya ke Nabilla. Nabilla segalanya baginya. Marlina sudah sampai di rumah sakit. Dia saat ini ada di ruangan Nabilla. Dia baru saja dari ruangan Nando. Nando masih sama keadaannya. Belum sadarkan diri juga. Amelia belum sampai di rumah sakit. Dia masih syok di rumahnya. Syok mendengar Nando kecelakaan. Padahal dia berharap, kabar seperti ini, tidak untuknya. Tapi untuk Nathan dan William. "Nak, bangun!" ucap Marlina lirih di dekat telinga Nabilla. Nathan menoleh ke arah Marlina. Melihat Nabilla melakukan itu, hatinya terasa terenyuh. "Bagaimana keadaan Nando?" tanya Nathan. Yang ditanya menoleh ke arah Nathan. Dia menarik napa
Bab 34Hanya Rencana?"Astagfirullah ...." ucap Nathan saat dia kepleset. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba Nathan terpleset. Cukup membuat rasa nyeri di kaki ia rasakan. Dengan perlahan Nathan bangkit. Seketika degub jantungnya berdegub kencang sekali. "Kok, perasaan aku jadi nggak enak gini, ya?" tanya Nathan pada diri sendiri. Ya, dia merasa hatinya sedang tidak baik-baik saja. "Nabilla dan Nando sudah sampai rumah Bu Marlina belum, ya?" tanya Nathan, dia jadi kepikiran dengan mereka. Nathan segera melangkah menuju ke ruang TV dengan sangat pelan-pelan, karena kakinya masih nyeri, belum nyaman. Dia duduk di sana terlebih dahulu. Menenangkan hatinya sejenak, sambil sedikit menekan-nekan kaki yang terasa nyeri itu. "Aku telpon Bu Marlina saja. Tanya mereka sudah sampai apa belum. Kalau aku telpon Nabilla itu terlalu berbahaya. Dia sedang di jalan," gumam Nathan ngomong sendiri. Setelah hatinya sedikit bisa dia kendalikan, Nathan meraih gawainya. Dia segera mencari nomor Bu Marlina.
Bab 33Lanjutan Rencana"Ayah, hari ini Nabilla mau ke rumah Bu Marlina. Ibu yang menolong Nabilla itu. Boleh?" tanya Nabilla kepada ayahnya. Nathan sendiri baru saja selesai bertemu dengan Marlina. Kisah hidupnya cukup membuatnya sesak saat mendengarnya. Ya, Marlina sudah menceritakan semuanya kepada Nathan, masalah Nando hingga jatuh ke tangan Amelia. Cukup menyakitkan dan tentunya cukup bodoh. Itulah yang Nathan pikir, karena dia tak habis pikir, dengan jalan pikir Marlina kala itu. "Mau ayah antar?" tanya Nathan. Nabilla mengulas senyum tipis. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. Nathan melipat keningnya sejenak."Nggak usah, Ayah! Nabilla nanti dijemput Nando. Boleh, kan?" jawab dan tanya lagi Nabilla. Nada tanya yang ia katakan, cukup membuat Nathan tak kuasa untuk menolaknya. Tak tega lebih tepatnya. Nada suara Nabilla terdengar sangat berharap. Berharap untuk diijinkan. Nathan menarik napasnya sejenak. Sebenarnya dia sangat berat untuk melepas Nabilla pergi tanpa dirinya.
Bab 32Menjalankan Rencana"Kamu bodoh sekali Jambrong! Bisa-bisanya kamu gagal culik anak kecil!" Maki Amelia. Sorot mata menyalang, ia lemparkan ke arah lelaki berbadan kekar itu. Dia sudah bersama Jambrong hari ini. Sengaja dia meminta Jambrong untuk datang menemuinya. Semalaman dia tak bisa tidur, gara-gara ucapan Nando, yang telah mengetahui nama Nando Perkasa. Cukup menyita perhatiannya. "Anak itu tak selugu yang kita lihat. Dia itu licik!" balas Jambrong. Amelia nyengir begitu saja. "Halah ... alasan!" sungut Amelia, dengan mata menyalang murka dan memerah. Jambrong menundukan kepalanya. Dia menyadari kalau dia salah. Wajar jika Amelia marah, dia sudah memberikan uang banyak kepada lelaki berbadan kekar itu. Tapi hasilnya tak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Cukup membuat rasa kecewa dan sesak menjadi satu."Selicik-liciknya dia, dia itu anak kecil ... harusnya malu bisa kalah sama anak kecil? Percuma badan gede, tapi kalah sama anak kecil!" Maki Amelia lagi. Rasanya me