Sudah tiga puluh menit berlalu sejak pertama kali Arkan memarkirkan mobilnya tak jauh dari gedung kantor Hana bekerja. Hana tak juga muncul padahal paginya Arkan berpesan kalau dia akan menjemput di tempat yang sama. Ponsel wanita itu tak juga bisa dihubungi. Karena kalut, tak lagi bisa berpikir akhirnya Arkan memutuskan untuk turun dan bermaksud menyusul istrinya di dalam sana. "Apa? Izin pulang sebelum jam makan siang?" Arkan terkejut mendengar penuturan petugas keamanan yang sedang berjaga. Pria berseragam khusus itu bilang Hana telah meninggalkan kantor sejak jam makan siang, tentu saja perasaan Arkan menjadi bertambah cemas apalagi Hana tak mengabarinya sama sekali. Arkan memutar kemudi dan melajukan kereta besinya kencang, tak sabar untuk segera sampai di rumah dan mengetahui penyebab istrinya izin pulang setengah hari. Tergesa dia mengayunkan kaki ke rumah sementara mobilnya Arkan parkir asal di teras. "Han, sayang? Kenapa izin pulang setengah hari kok nggak ngabari aku. Ka
"Mas. Mas Arkan!" Hana menyibak kerumunan manusia yang menghalangi langkahnya. Dia yakin sekali kalau yang dilihatnya adalah benar Arkan, lelaki yang sangat dicintainya sekaligus pria yang hingga detik ini masih menjadi suaminya. "Mohon maaf, Mbaknya siapa?" Petugas medis yang baru saja selesai memindahkan Arkan ke mobil ambulans mencegah Hana yang hendak ikut masuk. "Saya istrinya, Pak. Izinkan saya ikut."Hana naik begitu melihat pria berseragam putih itu mengangguk. Tangisnya semakin menjadi saat di depan matanya dengan jelas dia melihat separah apa kondisi suaminya. Sepanjang perjalanan Hana terus menggenggam tangan Arkan, tak lupa barisan do'a dipanjatkan dalam hati memohon Sang Pencipta berkenan mengabulkan pintanya. "Kenapa jadi begini, Mas? Aku baru saja mau menemuimu. Aku bawakan kopi dan roti favorit kamu, Mas. Buka matamu dan lihat ini."Tanpa sadar Hana mengangkat tangannya, ia mencari-cari keberadaan kantong yang sejak tadi dia bawa. Hana tak ingat kalau dia membuang
[Terima kasih, Mas. Besok uangnya mau langsung aku pakai buat beli keperluan dede bayi. Hati-hati kerjanya, jangan lupa makan. Sering-sering datang buat jenguk aku sama dede ya.]Tubuh Lea gemetar hebat begitu selesai membaca sebaris pesan yang dikirim nomor asing tanpa nama di ponsel suaminya. Jantungnya bergemuruh seiring dengan butir peluh merembes di sekujur tubuhnya. Perempuan muda itu menoleh ke arah kamar mandi, bunyi air yang berbenturan dengan lantai terdengar riuh menandakan aktivitas di dalam sana masih belum selesai. Dua hari lalu Riko, suaminya berpamitan padanya hendak pergi mengawal Sakti yang kebetulan ada pekerjaan di luar kota. Pikiran Lea bercabang usai membaca pesan itu. Mungkinkah suaminya berbohong? Derit pintu yang terdengar membuat Lea mengakhiri lamunannya. Beruntung benda pipih milik suaminya sudah dia kembalikan ke meja, sayang Lea tak sempat mendapatkan informasi apa pun dari sana setelah mengutak-atik benda itu. "Bajunya sudah Lea siapkan, Kak. Tehnya d
Lea menarik napas dalam-dalam, rasa pening yang menyergap kepalanya belum sepenuhnya hilang, tapi berusaha ia tahan karena tak ingin merusak kebersamaannya dengan Chava. Belum lagi harum butter yang mendadak membuatnya mual. "Kenapa, Le?" Chava mengusap bahu adik sepupu suaminya. "Kamu sakit?" Beberapa kali memergoki Lea menutup mulut, juga tubuhnya yang berkeringat membuat Chava curiga. "Enggak apa-apa, Kak. Kayaknya masuk angin soalnya dua malam nggak bisa tidur.""Kenapa? Mikirin Bang Riko yang ikut Mas Sakti ke luar kota? Kan cuma sehari di Bandung, Le. Oh, ya. Malam keduanya tentu saja begadang untuk hal lain, iya kan?" Chava terkekeh sedang Lea tersenyum kecut. Seandainya saja Chava tahu alasannya tak bisa tidur, bahkan semalam dia hanya tidur satu jam lebih. Lea memang pemikir, dia tak bisa tidur jika ada hal kecil yang mengganjal di hatinya. "Dapat oleh-oleh apa dari suami, Kak?" Sengaja Lea mengalihkan pembicaraan agar tak melulu ingat tentang kejanggalan suaminya. "Bias
"Jangan sentuh!"Riko tersentak saat Lea mendorong tubuhnya kasar. Pria itu bergeming melihat istrinya terduduk dengan wajah bersimbah air mata. Apa yang Riko takutkan akhirnya menjadi kenyataan. Dia telah menyakiti Lea. "Saya bisa jelaskan, Le.""Cukup!" Lea mengangkat tangannya meminta suaminya tak lagi bicara. "Aku tau aku nggak ada hak sepenuhnya atas uangmu, Kak. Tapi bolehkah aku tanya, kepada siapa kamu mengirim uang dua puluh lima juta setiap bulannya? Lalu perempuan yang mengirim pesan padamu mengucapkan terima kasih dan menggunakan uangmu untuk membeli keperluan bayi. Dia juga mengingatkanmu untuk selalu menjaga diri, dia melakukan hal yang seharusnya menjadi tugasku sebagai istri. Sekarang katakan dengan jujur, sejak kapan kamu selingkuh, Kak?"Tubuh Riko menegang. Dia benar-benar ketahuan sekarang. Lea bahkan tahu perkara uang yang setiap bulan dia alokasikan untuk orang lain. Apalagi saat tahu Lea sempat membaca pesan dari seseorang di ponselnya. Sungguh, Riko sudah t
Lea tak dapat menghindar ketika Riko memenjarakannya dalam dekapan. Usai mengakhiri percintaan panas untuk kedua kalinya, wanita muda itu berniat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tetapi Riko tak juga mau melepasnya bahkan setelah Lea sempat memberontak tadi. "Kak?""Heum?" Masih dengan mata memejam, Riko mengusap lembut punggung telanjang istrinya. "Ada apa?"Lea menarik napas mencoba mencari kekuatan. Dia ingin menanyakan hal yang belakangan ini mengganjal di hati, tetapi juga bersiap untuk kemungkinan terburuk seandainya jawaban Riko menyakitinya. "Siapa pengirim pesan tanpa nama yang waktu itu mengucapkan terima kasih setelah Kak Riko mentransfer sejumlah uang padanya. Dia bilang uangnya mau dipakai beli keperluan bayi."Riko tak langsung menjawab, hal itu menimbulkan gemuruh di dada Lea seakan meluap. "Jawab jujur, atau ...,""Dia istri salah satu anak buahku, Lea." Riko menjawab setelah cukup lama membisu. "Istrinya Ilham."Lea dapat menerima jawaban itu karena me
"Saya nggak selingkuh, berapa kali saya harus bilang, Lea? Saya sudah berkata jujur, kenapa kamu masih saja meragukan saya?" Riko menatap istrinya frustasi. "Mau ribuan kali Kakak menyangkal, aku tetap nggak akan percaya sebelum aku bertemu dengan wanita itu. Sejak awal aku curiga. Kalau memang hubungan kalian sebatas karena kamu atasan suaminya, dia nggak mungkin dengan lancarnya manggil kamu 'mas'. Nada pesannya seakan dia memiliki kedekatan denganmu, malah terkesan seperti seorang istri yang sedang berpesan pada suaminya. Bukan kamu kan, Kak, ayah dari bayi yang sering dia sebut?""Lea! Astaga, kamu keterlaluan.""Dia minta kamu untuk sering datang buat jenguk anaknya. Apa maksudnya itu? Jangan salahkan aku, karena sikapmu yang tak terbuka itu yang bikin aku curiga sama kamu, Kak." Sekuat tenaga Lea mencoba menahan diri untuk tak meninggikan suara di depan suaminya. Tubuhnya sampai gemetaran karena menahan emosi bercampur kecewa yang sejak kemarin ia coba pendam sendirian. "Oke
Riko menahan napas melihat sosok yang sedang menjadi lawan bicara istrinya, jantungnya serasa berhenti sejenak. Tak mau mengulur waktu lebih lama, gegas ia hampiri Lea. "Lea, maaf nunggu lama, tadi ada sedikit masalah. Ayo pulang," ajak pria itu seraya menuntun istrinya agar masuk ke mobil. "Kak, kamu nggak nyapa Mbak Nelly dulu." Lea berbalik menahan diri sebelum Riko benar-benar membawanya masuk mobil. "Apa kabar, Mas Riko?"Lea membeku, darahnya tersirap mendengar sosok yang cukup lama menjadi pengasuh omanya itu memanggil suaminya dengan panggilan yang cukup akrab menurut Lea. Padahal, seingatnya dulu Nelly selalu memanggil Riko dengan sebutan 'pak'. Panggilan itu entah mengapa membuat Lea mengingat pesan tanpa nama yang kapan hari masuk di ponsel suaminya. "Baik. Aku duluan." Riko kembali menggamit lengan istri kecilnya, tapi seruan Nelly sukses menahan langkah sepasang suami istri itu. "Kenapa terburu-buru begitu? Kita sudah lama nggak ada ketemu, memang nggak pengen ngob
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan