"Saya nggak selingkuh, berapa kali saya harus bilang, Lea? Saya sudah berkata jujur, kenapa kamu masih saja meragukan saya?" Riko menatap istrinya frustasi. "Mau ribuan kali Kakak menyangkal, aku tetap nggak akan percaya sebelum aku bertemu dengan wanita itu. Sejak awal aku curiga. Kalau memang hubungan kalian sebatas karena kamu atasan suaminya, dia nggak mungkin dengan lancarnya manggil kamu 'mas'. Nada pesannya seakan dia memiliki kedekatan denganmu, malah terkesan seperti seorang istri yang sedang berpesan pada suaminya. Bukan kamu kan, Kak, ayah dari bayi yang sering dia sebut?""Lea! Astaga, kamu keterlaluan.""Dia minta kamu untuk sering datang buat jenguk anaknya. Apa maksudnya itu? Jangan salahkan aku, karena sikapmu yang tak terbuka itu yang bikin aku curiga sama kamu, Kak." Sekuat tenaga Lea mencoba menahan diri untuk tak meninggikan suara di depan suaminya. Tubuhnya sampai gemetaran karena menahan emosi bercampur kecewa yang sejak kemarin ia coba pendam sendirian. "Oke
Riko menahan napas melihat sosok yang sedang menjadi lawan bicara istrinya, jantungnya serasa berhenti sejenak. Tak mau mengulur waktu lebih lama, gegas ia hampiri Lea. "Lea, maaf nunggu lama, tadi ada sedikit masalah. Ayo pulang," ajak pria itu seraya menuntun istrinya agar masuk ke mobil. "Kak, kamu nggak nyapa Mbak Nelly dulu." Lea berbalik menahan diri sebelum Riko benar-benar membawanya masuk mobil. "Apa kabar, Mas Riko?"Lea membeku, darahnya tersirap mendengar sosok yang cukup lama menjadi pengasuh omanya itu memanggil suaminya dengan panggilan yang cukup akrab menurut Lea. Padahal, seingatnya dulu Nelly selalu memanggil Riko dengan sebutan 'pak'. Panggilan itu entah mengapa membuat Lea mengingat pesan tanpa nama yang kapan hari masuk di ponsel suaminya. "Baik. Aku duluan." Riko kembali menggamit lengan istri kecilnya, tapi seruan Nelly sukses menahan langkah sepasang suami istri itu. "Kenapa terburu-buru begitu? Kita sudah lama nggak ada ketemu, memang nggak pengen ngob
"Lea!"Riko menyusul istrinya tak lama setelah gadis itu berlari ke kamar mandi. Di depan matanya, Riko melihat sendiri bagaimana Lea memuntahkan seluruh isi perutnya sampai tak bersisa, padahal Lea baru saja selesai makan. "Kita ke dokter saja, Le. Saya nggak tega lihatnya. Jelas kamu sakit ini, bukan cuma masuk angin biasa."Sampai terasa pahit lidah Lea, perutnya tak nyaman padahal seluruh isinya telah terkuras, ditambah lagi kepalanya yang seperti ditusuk ribuan jarum. Lea menangis. Rasa sakit yang dialami Lea saat ini masih bisa dia tahan, tetapi perasaan yang berkecamuk dalam dada yang membuatnya sakit hati hingga tak sanggup menahan diri. "Katakan yang mana yang sakit?" Mendengar pertanyaan suaminya, bukannya membuat suasana hati Lea membaik, yang ada malah pecah tangis gadis itu. Lea tersedu sehingga membuat suaminya tak tega. Riko mendekapnya erat. "Katakan yang mana yang sakit? Jangan hanya diam, kamu membuatku takut."Lea tak menjawab, tetapi tangisannya makin kencang
"Mas Riko, aduh!" Lea memejamkan mata. Bagaimana wanita itu bersuara sungguh membuatnya mual. Sengaja menarik perhatian dengan mendulang rasa iba, menjual tampang memelas dan suara yang terdengar dibuat-buat. "Sakit, Mas." Lagi, Nelly merintih seolah gerakan Lea barusan begitu menyakitinya. Air matanya mulai berjatuhan. Lea muak, tapi ia mencoba menahan diri. Lea ingin melihat sejauh mana suaminya merespon Nelly. Andai benar ada sesuatu di antara mereka berdua, semua akan terbukti dengan sikap yang ditunjukkan Riko. Sikap pria itu juga yang akan dijadikan Lea sebagai tolak ukur. Dia mendecih sinis teringat suaminya ber'aku kamu' dengan wanita lain. Lea tersenyum miris. Riko menatap istrinya ragu, tetapi Lea menyorotnya tajam penuh peringatan. Dalam hati ada ketakutan tersendiri, Lea takut suaminya benar-benar peduli pada Nelly. Artinya, dugaan Riko ada hubungan dengan wanita hamil itu terbukti benar adanya. "Ayo, Le. Sepertinya giliran kita."Jauh di luar dugaan, Riko justru deng
Tak hanya Lea, Riko pun hampir dibuat frustasi dengan kekacauan yang terjadi. Terlebih setelah mengetahui kabar kehamilan Lea, pria itu tak mau menanggung resiko jika sampai sesuatu yang buruk menimpa istri dan calon anak yang masih dalam kandungan. Riko melihat sendiri bagaimana emosi Lea tak stabil sejak memergoki pesan masuk tanpa nama bernada romantis di gawainya. "Matikan saja," ujar Riko setelah diam beberapa saat. Dia benar-benar harus ekstra hati-hati ketika berbicara dengan Lea karena tak mau membuat masalah semakin meruncing. "Kenapa harus dimatikan? Takut ketauan kalau ada se ...,""Lea, kamu selalu saja berpikiran buruk sama suami sendiri." Pria itu memotong perkataan istrinya. "Kalau memang mau diangkat ya angkat saja, bicara saja dengannya," imbuh Riko dengan suara yang jauh lebih lembut didengar. Niat baik pria itu rupanya dianggap berbeda oleh Lea, Riko serba salah. Akan tetapi sebisa mungkin dia berusaha tak terpancing emosi, biar bagaimanapun juga, sikap Lea yang
Riko mengusap lembut kepala istrinya, seketika perasaan bersalah mengepung dari segala arah, membuat pria itu kesulitan bernapas. Seandainya waktu bisa diulang kembali, ingin Riko melepaskan diri dari keputusan yang dibuatnya di masa lalu. Keputusan yang membuatnya menjadi pecundang karena telah mencurangi istrinya diam-diam. "Pelan-pelan saja makannya, di dapur masih banyak, saya ambilkan kalau kurang."Lea tampak begitu lahap menyantap makanannya, padahal nasi goreng jawa dengan potongan petai buatan suaminya terasa asin. Mungkin benar adanya bayi di dalam kandungan yang menginginkan masakan sang ayah. "Habis ini vitaminnya diminum, lanjut tidur siang. Biar saya temani."Riko menyingkirkan piring kotor di meja, membantu Lea menelan beberapa pil sebelum kemudian keduanya saling merebah di peraduan. Rinai gerimis yang turun berubah deras, angin kencang yang berhembus membawa titik embun menciptakan hawa dingin. "Sehat-sehat di perut mama, jangan nakal. Papa sayang dede bayi, tumbuh
Ribuan kata maaf tak akan cukup menebus kesalahan yang telah dilakukan Riko pada istrinya. Pria itu terisak di sisi pembaringan, tempat di mana Lea tergolek lemah dengan wajah pias. Teringat penjelasan dokter terkait kondisi Lea, Riko dikepung perasaan bersalah tak berkesudahan. "Maaf, Le. Kumohon maafkan aku." Titik bening yang luruh di wajah Riko berpindah sebagian ke tangan Lea yang sedang digenggamnya. Lea sempat sadar sebentar sebelum akhirnya wanita muda itu histeris begitu mengingat hal yang membuatnya berakhir di rumah sakit itu. Dengan sangat terpaksa, dokter menyuntikkan penenang agar istri kecil Riko itu bisa beristirahat. Lea mengalami pendarahan, beruntung janinnya bisa diselamatkan. Makin bertumpuk saja rasa takut kehilangan dalam diri pria itu. Membayangkan jika harus kehilangan salah satu, atau bahkan dua sekaligus orang yang paling dekat dengannya. Sama seperti Lea yang hanya memiliki dia seorang, pun dengan Riko. Lea adalah satu-satunya keluarga yang Riko punya.
Selama beberapa hari ini Lea benar-benar mematuhi saran dokter yang memintanya untuk beristirahat total. Jiwanya boleh rapuh, tapi dia tak bisa egois mengesampingkan hak anak dalam kandungannya. Hidup terus berjalan, Lea sadar dia tak bisa berlama-lama dalam keadaan seperti ini. Bukan Lea mengulur waktu, dia hanya sedang memulihkan kondisinya, mengumpulkan kekuatan agar begitu tiba saatnya nanti dia benar-benar akan pergi dari kehidupan Riko. "Makan dulu, Non. Dari pagi Non Lea belum makan." Kedatangan Asih tak membuat Lea kehilangan atensinya, hamparan bunga yang merekah berwarna-warni di taman lebih menarik minatnya. Sejak tahu semua orang di rumah itu kompak membohonginya, Lea menjadi lebih pendiam. Berhari-hari Lea sibuk mengurung diri. "Non." Wanita itu memanggil sekali lagi. "Lea kan sudah sering bilang sama Bibi, Lea bisa turun untuk ambil makan sendiri kalau memang lapar. Jangan terus mengasihani Lea, Bi. Lea masih punya kelu