Tak hanya Lea, Riko pun hampir dibuat frustasi dengan kekacauan yang terjadi. Terlebih setelah mengetahui kabar kehamilan Lea, pria itu tak mau menanggung resiko jika sampai sesuatu yang buruk menimpa istri dan calon anak yang masih dalam kandungan. Riko melihat sendiri bagaimana emosi Lea tak stabil sejak memergoki pesan masuk tanpa nama bernada romantis di gawainya. "Matikan saja," ujar Riko setelah diam beberapa saat. Dia benar-benar harus ekstra hati-hati ketika berbicara dengan Lea karena tak mau membuat masalah semakin meruncing. "Kenapa harus dimatikan? Takut ketauan kalau ada se ...,""Lea, kamu selalu saja berpikiran buruk sama suami sendiri." Pria itu memotong perkataan istrinya. "Kalau memang mau diangkat ya angkat saja, bicara saja dengannya," imbuh Riko dengan suara yang jauh lebih lembut didengar. Niat baik pria itu rupanya dianggap berbeda oleh Lea, Riko serba salah. Akan tetapi sebisa mungkin dia berusaha tak terpancing emosi, biar bagaimanapun juga, sikap Lea yang
Riko mengusap lembut kepala istrinya, seketika perasaan bersalah mengepung dari segala arah, membuat pria itu kesulitan bernapas. Seandainya waktu bisa diulang kembali, ingin Riko melepaskan diri dari keputusan yang dibuatnya di masa lalu. Keputusan yang membuatnya menjadi pecundang karena telah mencurangi istrinya diam-diam. "Pelan-pelan saja makannya, di dapur masih banyak, saya ambilkan kalau kurang."Lea tampak begitu lahap menyantap makanannya, padahal nasi goreng jawa dengan potongan petai buatan suaminya terasa asin. Mungkin benar adanya bayi di dalam kandungan yang menginginkan masakan sang ayah. "Habis ini vitaminnya diminum, lanjut tidur siang. Biar saya temani."Riko menyingkirkan piring kotor di meja, membantu Lea menelan beberapa pil sebelum kemudian keduanya saling merebah di peraduan. Rinai gerimis yang turun berubah deras, angin kencang yang berhembus membawa titik embun menciptakan hawa dingin. "Sehat-sehat di perut mama, jangan nakal. Papa sayang dede bayi, tumbuh
Ribuan kata maaf tak akan cukup menebus kesalahan yang telah dilakukan Riko pada istrinya. Pria itu terisak di sisi pembaringan, tempat di mana Lea tergolek lemah dengan wajah pias. Teringat penjelasan dokter terkait kondisi Lea, Riko dikepung perasaan bersalah tak berkesudahan. "Maaf, Le. Kumohon maafkan aku." Titik bening yang luruh di wajah Riko berpindah sebagian ke tangan Lea yang sedang digenggamnya. Lea sempat sadar sebentar sebelum akhirnya wanita muda itu histeris begitu mengingat hal yang membuatnya berakhir di rumah sakit itu. Dengan sangat terpaksa, dokter menyuntikkan penenang agar istri kecil Riko itu bisa beristirahat. Lea mengalami pendarahan, beruntung janinnya bisa diselamatkan. Makin bertumpuk saja rasa takut kehilangan dalam diri pria itu. Membayangkan jika harus kehilangan salah satu, atau bahkan dua sekaligus orang yang paling dekat dengannya. Sama seperti Lea yang hanya memiliki dia seorang, pun dengan Riko. Lea adalah satu-satunya keluarga yang Riko punya.
Selama beberapa hari ini Lea benar-benar mematuhi saran dokter yang memintanya untuk beristirahat total. Jiwanya boleh rapuh, tapi dia tak bisa egois mengesampingkan hak anak dalam kandungannya. Hidup terus berjalan, Lea sadar dia tak bisa berlama-lama dalam keadaan seperti ini. Bukan Lea mengulur waktu, dia hanya sedang memulihkan kondisinya, mengumpulkan kekuatan agar begitu tiba saatnya nanti dia benar-benar akan pergi dari kehidupan Riko. "Makan dulu, Non. Dari pagi Non Lea belum makan." Kedatangan Asih tak membuat Lea kehilangan atensinya, hamparan bunga yang merekah berwarna-warni di taman lebih menarik minatnya. Sejak tahu semua orang di rumah itu kompak membohonginya, Lea menjadi lebih pendiam. Berhari-hari Lea sibuk mengurung diri. "Non." Wanita itu memanggil sekali lagi. "Lea kan sudah sering bilang sama Bibi, Lea bisa turun untuk ambil makan sendiri kalau memang lapar. Jangan terus mengasihani Lea, Bi. Lea masih punya kelu
Sebesar cinta yang dirasakan Lea saat pertama kali melihat calon buah hatinya di layar monitor, rasa sakit kehilangan pun Lea rasakan tak sebanding. Belum kering luka yang ditinggalkan akibat pengkhianatan sang suami, kini bertambah semakin parah. Wanita itu menangis dalam diam setelah puas meluapkan rasa kecewanya. Lea sempat sadar setelah dokter selesai memberikan tindakan, histeris membabi buta melemparkan apa saja yang ada di dekatnya, meraung meminta tolong agar calon bayinya dikembalikan. Dokter bisa apa? Lea kalah, tubuhnya perlahan lemah seiring dengan kesadaran yang menurun. Obat penenang membuatnya lupa akan kedukaan yang baru saja menghampirinya, walau sesaat. "Berhenti menangis dan jangan terus menerus menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi. Ini semua salahku." Riko menggenggam tangan dingin istrinya. Balasan yang sama ingin Riko rasakan, tetapi tak dia dapatkan. Separah itu luka yang dia torehkan sehingga Lea benar-benar mati rasa. "Maaf. Kumohon, maafkan aku."Set
Langkah Lea tertahan, Riko bersimpuh dengan memeluk kedua kakinya. Pria itu tersedu, musnah sudah image tegas, garang dan dingin yang selama ini melekat dalam diri suami Lea itu. Nyatanya, sama seperti lelaki pada umumnya, Riko memiliki sisi lemah juga. Rasa takut akan kehilangan membuat kewarasan Riko nyaris tergadai. "Jangan, Le. Jangan begini. Kumohon jangan tinggalkan aku! Biar kujelaskan semuanya.""Sudah cukup, Kak. Kak Riko nggak perlu repot membuang tenaga untuk menjelaskan. Toh, Lea sudah tau semuanya.""Tapi ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan, Lea."Rasa perih kembali datang, Lea menutup telinga teringat setiap kata yang diucapkan Nelly padanya. Bagaimana wanita itu begitu membanggakan suaminya, seketika membuat kuduk Lea meremang. Menjijikkan! Hingga rasanya Lea mual dibuatnya. "Tentu saja. Aku saja tak menyangka kamu bisa setega ini sama aku, Kak.""Sejak awal aku sama sekali nggak berniat mengkhianatimu, Le.""Kenyataannya begitu. Sekeras apa pun Kak Riko meng
Kesakitan yang Lea rasakan sebesar kekecewaannya pada sang suami. Buah hatinya kehilangan kesempatan untuk hidup, tetapi hal itu seolah hal biasa bagi Riko. Lea kecewa orang yang telah melenyapkan nyawa bayinya masih menghirup udara bebas. Meluahkan kekecewaan pun percuma, setiap kali mencoba berbicara dari hati ke hati, keduanya terlibat perdebatan yang membuat semua berakhir tanpa titik temu. Hawa panas yang tercipta serasa membakar ruangan itu. Sampai kemudian bunyi ponsel yang menjerit nyaring memutus percakapan dua anak manusia yang tengah dilanda badai. Lea tersenyum miris saat netranya tak sengaja menangkap apa yang berpendar pada layar. "Kenapa diam saja? Angkat, istri mudamu itu menelepon. Kenapa setelah ketahuan ada main di belakang malah kamu terkesan seperti ketakutan begitu?"Riko masih terpekur di tempatnya. Sial benar nasibnya, sekadar menjelaskan pada Lea pun tak diberi kesempatan oleh wanita itu. Tak berselang lama setelah dering ponsel tak lagi terdengar, panggi
Hening menjeda sejenak, kebisuan menyelimuti dua anak manusia yang saling berhadapan. Genggaman tangan Riko mengerat, rasa takut kehilangan begitu besar tersirat di matanya. Bibir keduanya saling bungkam, tetapi mereka sibuk berbicara melalui bahasa mata. Lea sibuk mencari kejujuran di kedalaman telaga mata lelakinya, sementara Riko berusaha meraba perasaan gadis itu terhadapnya. Setahun lebih hidup dan bahkan tidur di ranjang yang sama, nyatanya tak mampu membuat mereka mengenal lebih dekat satu sama lain. Pada akhirnya, badai berhasil mengusik ketenangan bahtera yang baru terkembang layarnya karena pondasinya kurang kokoh. "Kamu ingat, sekitar tujuh bulan lalu sewaktu aku pulang tengah malam dengan luka jahit di lengan?"Lea memutar ingatan pada kejadian yang baru disebut suaminya. Beruntung ia masih mengingatnya dengan jelas karena selama mereka menikah, Riko bisa dikatakan sangat jarang pulang tengah malam, pun dengan keadaan terluka cukup parah. Keahlian bela diri Riko tak perl
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan