"Lea!"Riko menyusul istrinya tak lama setelah gadis itu berlari ke kamar mandi. Di depan matanya, Riko melihat sendiri bagaimana Lea memuntahkan seluruh isi perutnya sampai tak bersisa, padahal Lea baru saja selesai makan. "Kita ke dokter saja, Le. Saya nggak tega lihatnya. Jelas kamu sakit ini, bukan cuma masuk angin biasa."Sampai terasa pahit lidah Lea, perutnya tak nyaman padahal seluruh isinya telah terkuras, ditambah lagi kepalanya yang seperti ditusuk ribuan jarum. Lea menangis. Rasa sakit yang dialami Lea saat ini masih bisa dia tahan, tetapi perasaan yang berkecamuk dalam dada yang membuatnya sakit hati hingga tak sanggup menahan diri. "Katakan yang mana yang sakit?" Mendengar pertanyaan suaminya, bukannya membuat suasana hati Lea membaik, yang ada malah pecah tangis gadis itu. Lea tersedu sehingga membuat suaminya tak tega. Riko mendekapnya erat. "Katakan yang mana yang sakit? Jangan hanya diam, kamu membuatku takut."Lea tak menjawab, tetapi tangisannya makin kencang
"Mas Riko, aduh!" Lea memejamkan mata. Bagaimana wanita itu bersuara sungguh membuatnya mual. Sengaja menarik perhatian dengan mendulang rasa iba, menjual tampang memelas dan suara yang terdengar dibuat-buat. "Sakit, Mas." Lagi, Nelly merintih seolah gerakan Lea barusan begitu menyakitinya. Air matanya mulai berjatuhan. Lea muak, tapi ia mencoba menahan diri. Lea ingin melihat sejauh mana suaminya merespon Nelly. Andai benar ada sesuatu di antara mereka berdua, semua akan terbukti dengan sikap yang ditunjukkan Riko. Sikap pria itu juga yang akan dijadikan Lea sebagai tolak ukur. Dia mendecih sinis teringat suaminya ber'aku kamu' dengan wanita lain. Lea tersenyum miris. Riko menatap istrinya ragu, tetapi Lea menyorotnya tajam penuh peringatan. Dalam hati ada ketakutan tersendiri, Lea takut suaminya benar-benar peduli pada Nelly. Artinya, dugaan Riko ada hubungan dengan wanita hamil itu terbukti benar adanya. "Ayo, Le. Sepertinya giliran kita."Jauh di luar dugaan, Riko justru deng
Tak hanya Lea, Riko pun hampir dibuat frustasi dengan kekacauan yang terjadi. Terlebih setelah mengetahui kabar kehamilan Lea, pria itu tak mau menanggung resiko jika sampai sesuatu yang buruk menimpa istri dan calon anak yang masih dalam kandungan. Riko melihat sendiri bagaimana emosi Lea tak stabil sejak memergoki pesan masuk tanpa nama bernada romantis di gawainya. "Matikan saja," ujar Riko setelah diam beberapa saat. Dia benar-benar harus ekstra hati-hati ketika berbicara dengan Lea karena tak mau membuat masalah semakin meruncing. "Kenapa harus dimatikan? Takut ketauan kalau ada se ...,""Lea, kamu selalu saja berpikiran buruk sama suami sendiri." Pria itu memotong perkataan istrinya. "Kalau memang mau diangkat ya angkat saja, bicara saja dengannya," imbuh Riko dengan suara yang jauh lebih lembut didengar. Niat baik pria itu rupanya dianggap berbeda oleh Lea, Riko serba salah. Akan tetapi sebisa mungkin dia berusaha tak terpancing emosi, biar bagaimanapun juga, sikap Lea yang
Riko mengusap lembut kepala istrinya, seketika perasaan bersalah mengepung dari segala arah, membuat pria itu kesulitan bernapas. Seandainya waktu bisa diulang kembali, ingin Riko melepaskan diri dari keputusan yang dibuatnya di masa lalu. Keputusan yang membuatnya menjadi pecundang karena telah mencurangi istrinya diam-diam. "Pelan-pelan saja makannya, di dapur masih banyak, saya ambilkan kalau kurang."Lea tampak begitu lahap menyantap makanannya, padahal nasi goreng jawa dengan potongan petai buatan suaminya terasa asin. Mungkin benar adanya bayi di dalam kandungan yang menginginkan masakan sang ayah. "Habis ini vitaminnya diminum, lanjut tidur siang. Biar saya temani."Riko menyingkirkan piring kotor di meja, membantu Lea menelan beberapa pil sebelum kemudian keduanya saling merebah di peraduan. Rinai gerimis yang turun berubah deras, angin kencang yang berhembus membawa titik embun menciptakan hawa dingin. "Sehat-sehat di perut mama, jangan nakal. Papa sayang dede bayi, tumbuh
Ribuan kata maaf tak akan cukup menebus kesalahan yang telah dilakukan Riko pada istrinya. Pria itu terisak di sisi pembaringan, tempat di mana Lea tergolek lemah dengan wajah pias. Teringat penjelasan dokter terkait kondisi Lea, Riko dikepung perasaan bersalah tak berkesudahan. "Maaf, Le. Kumohon maafkan aku." Titik bening yang luruh di wajah Riko berpindah sebagian ke tangan Lea yang sedang digenggamnya. Lea sempat sadar sebentar sebelum akhirnya wanita muda itu histeris begitu mengingat hal yang membuatnya berakhir di rumah sakit itu. Dengan sangat terpaksa, dokter menyuntikkan penenang agar istri kecil Riko itu bisa beristirahat. Lea mengalami pendarahan, beruntung janinnya bisa diselamatkan. Makin bertumpuk saja rasa takut kehilangan dalam diri pria itu. Membayangkan jika harus kehilangan salah satu, atau bahkan dua sekaligus orang yang paling dekat dengannya. Sama seperti Lea yang hanya memiliki dia seorang, pun dengan Riko. Lea adalah satu-satunya keluarga yang Riko punya.
Selama beberapa hari ini Lea benar-benar mematuhi saran dokter yang memintanya untuk beristirahat total. Jiwanya boleh rapuh, tapi dia tak bisa egois mengesampingkan hak anak dalam kandungannya. Hidup terus berjalan, Lea sadar dia tak bisa berlama-lama dalam keadaan seperti ini. Bukan Lea mengulur waktu, dia hanya sedang memulihkan kondisinya, mengumpulkan kekuatan agar begitu tiba saatnya nanti dia benar-benar akan pergi dari kehidupan Riko. "Makan dulu, Non. Dari pagi Non Lea belum makan." Kedatangan Asih tak membuat Lea kehilangan atensinya, hamparan bunga yang merekah berwarna-warni di taman lebih menarik minatnya. Sejak tahu semua orang di rumah itu kompak membohonginya, Lea menjadi lebih pendiam. Berhari-hari Lea sibuk mengurung diri. "Non." Wanita itu memanggil sekali lagi. "Lea kan sudah sering bilang sama Bibi, Lea bisa turun untuk ambil makan sendiri kalau memang lapar. Jangan terus mengasihani Lea, Bi. Lea masih punya kelu
Sebesar cinta yang dirasakan Lea saat pertama kali melihat calon buah hatinya di layar monitor, rasa sakit kehilangan pun Lea rasakan tak sebanding. Belum kering luka yang ditinggalkan akibat pengkhianatan sang suami, kini bertambah semakin parah. Wanita itu menangis dalam diam setelah puas meluapkan rasa kecewanya. Lea sempat sadar setelah dokter selesai memberikan tindakan, histeris membabi buta melemparkan apa saja yang ada di dekatnya, meraung meminta tolong agar calon bayinya dikembalikan. Dokter bisa apa? Lea kalah, tubuhnya perlahan lemah seiring dengan kesadaran yang menurun. Obat penenang membuatnya lupa akan kedukaan yang baru saja menghampirinya, walau sesaat. "Berhenti menangis dan jangan terus menerus menyalahkan dirimu atas apa yang terjadi. Ini semua salahku." Riko menggenggam tangan dingin istrinya. Balasan yang sama ingin Riko rasakan, tetapi tak dia dapatkan. Separah itu luka yang dia torehkan sehingga Lea benar-benar mati rasa. "Maaf. Kumohon, maafkan aku."Set
Langkah Lea tertahan, Riko bersimpuh dengan memeluk kedua kakinya. Pria itu tersedu, musnah sudah image tegas, garang dan dingin yang selama ini melekat dalam diri suami Lea itu. Nyatanya, sama seperti lelaki pada umumnya, Riko memiliki sisi lemah juga. Rasa takut akan kehilangan membuat kewarasan Riko nyaris tergadai. "Jangan, Le. Jangan begini. Kumohon jangan tinggalkan aku! Biar kujelaskan semuanya.""Sudah cukup, Kak. Kak Riko nggak perlu repot membuang tenaga untuk menjelaskan. Toh, Lea sudah tau semuanya.""Tapi ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan, Lea."Rasa perih kembali datang, Lea menutup telinga teringat setiap kata yang diucapkan Nelly padanya. Bagaimana wanita itu begitu membanggakan suaminya, seketika membuat kuduk Lea meremang. Menjijikkan! Hingga rasanya Lea mual dibuatnya. "Tentu saja. Aku saja tak menyangka kamu bisa setega ini sama aku, Kak.""Sejak awal aku sama sekali nggak berniat mengkhianatimu, Le.""Kenyataannya begitu. Sekeras apa pun Kak Riko meng