Langkah Lea tertahan, Riko bersimpuh dengan memeluk kedua kakinya. Pria itu tersedu, musnah sudah image tegas, garang dan dingin yang selama ini melekat dalam diri suami Lea itu. Nyatanya, sama seperti lelaki pada umumnya, Riko memiliki sisi lemah juga. Rasa takut akan kehilangan membuat kewarasan Riko nyaris tergadai. "Jangan, Le. Jangan begini. Kumohon jangan tinggalkan aku! Biar kujelaskan semuanya.""Sudah cukup, Kak. Kak Riko nggak perlu repot membuang tenaga untuk menjelaskan. Toh, Lea sudah tau semuanya.""Tapi ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan, Lea."Rasa perih kembali datang, Lea menutup telinga teringat setiap kata yang diucapkan Nelly padanya. Bagaimana wanita itu begitu membanggakan suaminya, seketika membuat kuduk Lea meremang. Menjijikkan! Hingga rasanya Lea mual dibuatnya. "Tentu saja. Aku saja tak menyangka kamu bisa setega ini sama aku, Kak.""Sejak awal aku sama sekali nggak berniat mengkhianatimu, Le.""Kenyataannya begitu. Sekeras apa pun Kak Riko meng
Kesakitan yang Lea rasakan sebesar kekecewaannya pada sang suami. Buah hatinya kehilangan kesempatan untuk hidup, tetapi hal itu seolah hal biasa bagi Riko. Lea kecewa orang yang telah melenyapkan nyawa bayinya masih menghirup udara bebas. Meluahkan kekecewaan pun percuma, setiap kali mencoba berbicara dari hati ke hati, keduanya terlibat perdebatan yang membuat semua berakhir tanpa titik temu. Hawa panas yang tercipta serasa membakar ruangan itu. Sampai kemudian bunyi ponsel yang menjerit nyaring memutus percakapan dua anak manusia yang tengah dilanda badai. Lea tersenyum miris saat netranya tak sengaja menangkap apa yang berpendar pada layar. "Kenapa diam saja? Angkat, istri mudamu itu menelepon. Kenapa setelah ketahuan ada main di belakang malah kamu terkesan seperti ketakutan begitu?"Riko masih terpekur di tempatnya. Sial benar nasibnya, sekadar menjelaskan pada Lea pun tak diberi kesempatan oleh wanita itu. Tak berselang lama setelah dering ponsel tak lagi terdengar, panggi
Hening menjeda sejenak, kebisuan menyelimuti dua anak manusia yang saling berhadapan. Genggaman tangan Riko mengerat, rasa takut kehilangan begitu besar tersirat di matanya. Bibir keduanya saling bungkam, tetapi mereka sibuk berbicara melalui bahasa mata. Lea sibuk mencari kejujuran di kedalaman telaga mata lelakinya, sementara Riko berusaha meraba perasaan gadis itu terhadapnya. Setahun lebih hidup dan bahkan tidur di ranjang yang sama, nyatanya tak mampu membuat mereka mengenal lebih dekat satu sama lain. Pada akhirnya, badai berhasil mengusik ketenangan bahtera yang baru terkembang layarnya karena pondasinya kurang kokoh. "Kamu ingat, sekitar tujuh bulan lalu sewaktu aku pulang tengah malam dengan luka jahit di lengan?"Lea memutar ingatan pada kejadian yang baru disebut suaminya. Beruntung ia masih mengingatnya dengan jelas karena selama mereka menikah, Riko bisa dikatakan sangat jarang pulang tengah malam, pun dengan keadaan terluka cukup parah. Keahlian bela diri Riko tak perl
Mendengar derit pintu membuat Lea mendongak, ia urung merebah melihat kedatangan suaminya di kamar tamu. Kamar yang biasa dijadikan pelarian Lea di tengah kegalauan. "Kenapa di sini?" Riko berjalan mendekat. "Aku ingin sendiri, aku butuh suasana baru. Bukankah seharusnya kamu sudah pergi, Kak? Istrimu yang lain membutuhkanmu, aku tak mau menjadi alasan dosamu di akhirat kelak karena tak bisa membuatmu adil terhadap istri-istrimu.""Aku mau di sini saja." Riko malah ikut bergabung bersama istrinya di ranjang. Lea tak sempat mengelak karena suaminya dengan cepat merebahkan kepala di pangkuannya. Lagi, kebisuan panjang menyelimuti, masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. "Bagaimana kalau kita pergi bulan madu, Le? Katamu tadi kamu butuh suasana baru. Bulan madu pertama kita waktu itu lebih mirip liburan. Aku ingin kita mengulanginya, aku ingin memperbaiki semuanya, bagaimana kalau kita memulainya lagi dari awal?"Lea tak langsung menjawab, ada banyak pertimbangan b
"Lihat apa yang terjadi sekarang? Ini semua nggak akan terjadi seandainya saja waktu itu kamu bisa tegas, Kak!" Kilat kemarahan memancar di mata Lea, perempuan itu menahan tangis setelah mendapat perlakuan tak mengenakan dari Nelly. Riko mengajaknya untuk kembali ke mobil, dan begitu tiba di sana tanpa menunda waktu Lea menumpahkan kekecewaannya. "Bertanggung jawab bukan berarti harus menikahi. Masih ada banyak jalan kamu membalas budi tanpa harus menodai ikatan pernikahan kita. Kita bisa rawat bayi itu bersama, memastikan anak itu tumbuh dengan baik dan mendapatkan fasilitas terbaik semampu kita." Lea menggeleng tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala suaminya saat itu. Tega sekali Riko mengambil keputusan bahkan tanpa melibatkannya. "Oh, aku lupa kalau suamiku memiliki penghasilan fantastis, apalagi anak perusahaan yang dipegang mulai berkembang pesat. Jangankan menafkahi satu istri, empat sekaligus juga kamu mampu," sindir Lea begitu menohok. "Lea, kita sudah sepakat mem
"Kenapa? Ada yang sakit?" Riko membelai lembut pucuk kepala istrinya. Pertama kali membuka mata setelah cukup lama tak sadarkan diri, Lea memasang ekspresi aneh yang mengundang rasa penasaran pria itu. Setelah berjam-jam dilanda gundah, penantian Riko terbayar sudah. "Kenapa ada di sini? Kupikir istri mudamu lebih membutuhkanmu."Lea sempat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Riko mencemaskan wanita lain. Sebagai istri, sakit sekali rasanya. "Kok ngomongnya begitu? Sudah kubilang kami bukan lagi suami istri. Dia sudah kuceraikan," kata Riko. "Hari di mana dia melenyapkan anak kita, hari itu juga aku langsung menceraikannya.""Tadi kelihatan panik banget lihat darah keluar dari perut Mbak Nelly. Yakin, anak itu bukan anakmu?""Astaga, Le. Kalau cemburu langsung ngomong saja, nggak usah pakai kode segala.""Siapa juga yang cemburu."Setahun lebih hidup bersama, Riko mulai bisa membaca perasaan istrinya. Beberapa kali ia juga mendengar nasihat tentang pernikahan dari Asih,
Lea memegangi dadanya, sesuatu di dalam sana seperti teremas. Sakit. Nyeri yang menjalar yang kemudian menuntun langkahnya menjauh dari tempat itu. Lea tak sanggup mendengar pengakuan suaminya tentang perasaan lelaki itu terhadap Nelly. Belum mendengar saja hati Lea sudah terasa sakit tak terkira, apa lagi jika mendengarnya langsung. Setelah tahu dan bahkan melihat sendiri suaminya menunjukkan sedikit perhatian pada Nelly, sejak itu Lea kehilangan kepercayaan kalau hanya dirinya satu-satunya orang yang bertahta di hati pria itu. "Bibi serius, Den. Jawab jujur! Jangan main-main. Kalau sampai terbukti Den Riko ada hati dengan perempuan itu, sebaiknya lepaskan Non Lea. Bibi tidak rela melihat istri sebaik dia disakiti.""Bi Asih ini ngomong apa? Jelas-jelas aku sudah menceraikan perempuan itu karena memilih mempertahankan Lea. Aku takut kehilangan Lea, Bi. Aku nggak mau pisah sama dia.""Itu saja nggak cukup, Den. Perempuan itu butuh pengakuan.""Apa bukti nyata nggak cukup, Bi?" Riko
"Berapa kali harus aku bilang, nggak usah kamu bikin kue-kue itu lagi. Semua uangku kamu yang pegang, kalau kurang tinggal ngomong. Aku akan bekerja lebih keras lagi."Sore itu sepulang dari kediaman Sakti, Riko yang disambut tumpukan toples kue kering di dapur tak bisa menahan diri lagi. Dia tak mau istrinya kelelahan bekerja sementara dia sendiri sanggup memberikan apa saja yang diinginkan Lea. Sepanjang hidupnya Riko bekerja keras, banyak uang yang berhasil ia kumpulkan dan sebagian dalam bentuk properti dan investasi kecil-kecilan sebelum Sinta memberinya satu anak perusahaan untuk dikelola. Riko memastikan Lea tak kekurangan uang, tapi gadis itu memaksa sewaktu meminta izin mengambil orderan kue kering. Tiap kali Riko menolak, Lea akan merajuk dan menggunakan senjata pamungkas untuk menekannya. Apalagi jika bukan soal ranjang. Pria lemah akan hal yang satu itu. Sebulan berlalu sejak kesalahpahaman yang terjadi antara Riko dan Lea, hubungan mereka perlahan membaik. Riko menepati