Hari ini rumah makan San Kitchen benar-benar ramai. Sandrina sengaja memberikan diskon besar-besaran spesial hari ibu. Banyak di antara mereka yang datang satu keluarga, ada juga yang hanya orang tua dengan anaknya, dan tidak sedikit juga mereka yang berpasangan serta bersama temannya. Selain melayani makan di tempat, San Kitchen juga menyediakan go food. Itu sebabnya Hurraim selalu memesan makanan di San Kitchen. Jika tidak melalui go food, dia biasanya akan menyuruh Bastian untuk membeli ke sana dengan cara dibungkus. "Sebelah sana masih kosong, Bu. Silakan pilih tempat duduk," ucap Sandrina dengan santun. Dia benar-benar semangat karena melihat pelanggannya datang berbondong-bondong ke rumah makannya itu. Sebelumnya Sandrina merasa kesulitan mengembangkan rumah makannya itu, tapi setelah dijalani dan dia mencoba menggunakan keajaiban sosial media, ternyata banyak yang penasaran dan sampai saat ini mereka menjadi pelanggan. Sandrina kini tersenyum melihat para pengunjung yang suk
Sandrina diseret paksa ke kantor polisi. Sebagian orang memporak porandakan rumah makan San Kitchen. Sebagiannya lagi membawa Sandrina ke kantor polisi terdekat. Ini ke dua kalinya bagi Sandrina datang ke tempat itu. "Dia sudah melakukan perdagangan yang licik dan jahat," ucap wanita gendut itu dengan semangat dan antusias. "Itu tidak benar! Saya tidak melakukan apa-apa. Ini hanya fitnah. Saya yakin, ada orang yang sengaja melakukan ini," ujar Sandrina membela diri. "Halah! Nggak akan ada orang jahat yang mengakui kejahatannya! Sudah, Pak. Lebih baik penjarakan saja dia! Ini benar-benar kesalahan yang fatal. Bagaimana kalau kami semua mengalami kerugian atas perbuatannya?" cerocos lelaki berkulit hitam. "Kalian semua yang dibayar oleh seseorang untuk memfitnah saya! Sejauh ini, rumah makan saya baik-baik saja. Nggak ada hewan melata apa pun yang datang. Tapi hari ini, tiba-tiba hewan-hewan itu berkeliaran. Saya yakin, kalian sengaja membawa hewan-hewan itu lalu menyebarkannya di r
Sesampainya di kantor polisi...Clara dan Lorenza terperanjat kaget saat melihat Sandrina dan dua orang bayarannya di sana. Sontak saja hal itu membuat Clara dan Lorenza langsung mengerti apa yang terjadi. Sementara itu, Michael yang datang beberapa menit setelah istri dan ibunya, langsung dibikin bingung dengan kehadiran Sandrina di sana. "Sa–Sandrina, kamu juga ada di sini?" Michael menatap penuh tanda tanya. Sandrina mengangguk singkat, tapi dia tidak menjawab apapun. Melihat wajah Clara dan Lorenza saja dia tidak sudi dan sangat muak. Sampai saat ini, Sandrina tidak mengerti mengapa kedua orang itu terus mengganggunya. Padahal, dia tidak melakukan apa pun pada mereka. Bahkan saat Michael mendekatinya pun, Sandrina menjauh dan jual mahal. "Sialan! Jangan-jangan mereka ini buka suara soal perintahku," gumam Clara dalam hati. "Sebenarnya ada apa ini, Pak? Apa kesalahan istri dan ibu saya?" tanya Michael dengan wajah tegang, panik, kaget, heran dan penasaran. "Istri dan ibu Anda
"Sandrina, saya mohon sama kamu, jangan penjarakan kami!" pinta Lorenza dengan tatapan penuh permohonan. Sandrina memalingkan wajahnya. Sebenarnya dia sangat muak dan marah, tapi dia juga bukan orang yang begitu tega pada manusia mana pun. Termasuk pada Lorenza dan Clara. "Jika aku membebaskan kalian, apakah kalian akan bertanggung jawab?" tanya Sandrina sembari menatap tajam dan penuh ancaman. Lorenza terdiam sejenak. Untuk sesaat dia menatap menantunya lalu beralih pada Michael. Setelah itu, dia pun mengangguk mengiyakan. "I–iya, Sandrina. Kami akan tanggung jawab," jawab Lorenza. "Rumah makanku sudah terlanjur kacau. Semua pelanggan sudah kecewa dan beranggapan buruk tentang kami. Apakah kalian bisa berikan kejujuran di depan publik? Seperti yang dua orang ini lakukan?" tanya Sandrina lagi. Tentu saja dia tidak mau membebaskan Clara can Lorenza begitu saja. Setidaknya mereka harus bertanggung jawab terlebih dahulu. "Apa maksudmu? Kamu ingin kami bicara di depan media, begitu?
Setelah puas memarahi keluarga Michael, Marlinda langsung mengajak putrinya pulang. Kekacauan di rumah makan sudah diatasi oleh team San Kitchen. Marlinda tidak ingin putrinya semakin merasa capek dan pusing dengan keadaan San Kitchen yang sangat berantakan. Kerugian hari ini lumayan banyak. Namun, Sandrina tidak terlalu memikirkan hal itu. Makanan yang sudah keluar hari ini dan disantap oleh para pelanggan yang belum sempat bayar, itu sudah dia ikhlaskan. Anggaplah itu sebuah sedekah darinya. Namun, Sandrina memikirkan apakah rumah makannya akan kembali ramai seperti semula, atau justru sepi karena kehebohan tadi? "Bagaimana kalau para pelanggan setia nggak mau datang lagi, Bu?" Sandrina menatap resah pada Ibunya. Marlinda mengulas senyum hangat. "Kalau sudah klarifikasi dari pihak yang fitnah kamu, dan barang bukti sudah kamu sebar luaskan, pasti para pelanggan mu akan kembali. Mereka hanya terkecoh dan belum tahu yang sebenarnya. Jika sudah tahu bahwa kamu tidak bersalah dan ini
Sandrina menolehkan wajahnya pada asal datangnya suara. Dia benar-benar terkejut saat tiba-tiba seorang lelaki bicara padanya. Melihat sosok lelaki itu, membuat Sandrina memutar bola matanya dan membuang napas kasar. Sandrina kembali heran karena lagi-lagi dia bertemu dengan Hurraim. Namun, yang paling membuatnya heran adalah saat mendengar ucapan Hurraim. Sekarang, Sandrina menatap penuh selidik. "Sudah kamu duga? Apa maksudnya ini?" Ia bertanya dengan ekspresi kebingungan. Hurraim bangun dari duduknya. Lalu dia berjalan ke arah Sandrina. Janda itu terlihat cantik di matanya. "Hebat 'kan aku? Bisa menebak apa yang akan kamu lakukan malam ini," ucap Hurraim yang tetap bersikap cool. Sandrina semakin tidak mengerti. Lelaki di hadapannya ini sudah seperti seorang pesulap saja. "Nggak usah macam-macam, deh! Atau jangan-jangan memang benar dugaanku. Kalau kamu ini seseorang yang sengaja mengikuti aku.""Nggak juga. Aku cuma mengikuti ke mana arah langkah kakimu saat sedang berada di s
Sandrina melongo tak percaya saat melihat beberapa orang pria membawa barang berupa kompor, meja lipat, wajan, panci, piring, gelas, dan bahan-bahan lainnya untuk memasak. Dalam hitungan menit saja, para pria berwajah datar itu mampu menyiapkan semua itu di danau ini. Sandrina benar-benar seperti melihat kejadian di drama korea yang sering dia tonton. Saat menyadari semua itu, Sandrina mulai paham bahwa Hurraim bukan manusia biasa. Namun, bukan juga sebangsa superhero yang tangguh dan perkasa. "Oke. Semuanya sudah siap. Bagaimana, owners jutek? Apakah kamu sudah siap memasak untukku?" tanya Hurraim dengan santai tanpa memikirkan bagaimana perasaan Sandrina. Sandrina menelan salivanya kasar. Semua yang ada di hadapannya bukanlah sebuah hayalan atau halusinasi. "Wait, aku nggak bilang kalau bersedia memasak untukmu." Hurraim tersenyum simpul lalu melangkahkan kaki lebih dekat pada Sandrina. "Karena kamu diam, berarti kamu mengiyakan.""Rumus dari mana? Aku nggak mau!" tolak Sandrina.
Hurraim menggapai dengan pelan dan hati-hati rambut palsu yang menempel di kepala Sandrina. Saat tengkuk putih Sandrina terlihat di depan matanya, sontak saja napas Hurraim tercekat di tenggorokan. Susah payah pria tampan itu menelan salivanya. Jantungnya berdetak kencang saat pemandangan indah itu terpampang nyata di hadapannya. "Indah sekali," gumam Hurraim dalam hati. Sandrina yang sedang diam menunggu Hurraim mengikat rambutnya, tiba-tiba merasa heran dan janggal. Tentu saja karena Hurraim hanya diam dan tidak melakukan apapun selain membiarkan rambut Sandrina terangkat. Hal itu membuat Sandrina menolehkan kepalanya dan menatap setengah tidak mengerti. "Ada apa, kenapa hanya diam?" tanya Sandrina, "Bisa atau tidak?" lanjutnya. "Ya. Tentu saja bisa," jawab Hurraim sedikit gugup. Dia pun kini mencoba kembali fokus dan melakukan tugasnya dengan benar. Sandrina mengangguk percaya. Sebenarnya Sandrina merasa canggung dan panik, dia takut Hurraim menyadari bahwa rambut panjang itu
"Terima kasih ya, Pak," ucap Sandrina pada sopir grab car. Ya, malam ini Sandrina memilih menggunakan grab car. Hal itu dia lakukan karena malas menyetir. Lagipula, jarak dari rumahnya ke danau tidak terlalu jauh. Penjaga danau tersenyum melihat Sandrina. Setelah tahu bahwa hanya Sandrina yang diperbolehkan masuk ke danau itu, penjaga itu mulai mengerti jika Sandrina adalah wanita spesial bagi Hurraim. Saat ini Hurraim sudah menunggu di tepi danau. Lelaki tampan itu menatap danau yang bergelombang terhempas angin malam. Kegelapan membawanya masuk ke dalam sebuah hayalan. Ya, dia menghayal bisa menikah dengan wanita yang tepat. Wanita yang bisa menerima segala kekurangannya. "Selamat malam, Pak Hurraim," sapa Sandrina dengan suara anggun. Hurraim tidak menyahuti. Tentu saja karena dia tidak fokus. Hal itu membuat Sandrina mengerutkan dahi. Wanita cantik itu pun mencoba melangkah lebih dekat. Lalu, berdiri di hadapan Hurraim yang termangu tanpa kata. "Hei, serius amat ngelamunnya!"
"San, mau pulang bareng aku nggak?" tanya Juna saat Sandrina baru keluar dari ruangan Hurraim. Sandrina tersenyum simpul lantas menggeleng pelan. "Aku sudah dewasa, bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, ok!" Ia bicara dengan santai. Juna menyeringai sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. "Aku cuma mau antarkan kamu pulang. Sesama rekan kerja, kita harus saling tolong menolong. Bukan begitu, sekretaris CEO?""Terima kasih atas niat baiknya, Juna. Tapi kumohon jangan sekarang, ya," ucap Sandrina meminta pengertian dari lawan bicaranya. Juna mengusap wajahnya kasar. Dia sungguh merasa kesulitan mendekati Sandrina. Saat pertama kali bertemu, Juna langsung tertarik pada Sandrina yang begitu positif vibes. Sekarang, mereka berjalan berdampingan menuju lantai bawah. Jam pulang kantor telah tiba. Sandrina berniat mampir ke San Kitchen sebelum benar-benar pulang ke rumahnya. Saat tiba di pintu utama perusahaan, Sandrina berpapasan dengan Hurraim. Lelaki tampan i
Sandrina menelan salivanya kasar. Ucapan Hurraim sukses membuatnya salah tingkah. Apa maksudnya? Tentu saja Sandrina dibuat bingung oleh CEO tampan di hadapannya ini. Dari awal bertemu, sikap Hurraim memang sangat membingungkan dan random. Namun, kali ini Sandrina bukan hanya sekedar bingung, tapi juga salah tingkah dan mendadak canggung. Masih penasaran dengan luka di bibir Hurraim, Sandrina mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin bertindak gegabah. Bisa saja Hurraim hanya sedang bercanda dan sengaja mengetes dirinya. "Apakah benar Michael yang melakukannya? Kenapa bisa terjadi?" tanya Sandrina sembari memalingkan wajahnya dan merapikan kotak obat kembali. Hurraim menarik tangan Sandrina sehingga membuat wanita cantik itu refleks menoleh. "Apakah kamu tidak mendengar ucapanku tadi?" Ia menatap dengan tajam dan penuh ancaman. Sandrina menatap ngeri sekaligus kikuk. "I–iya, saya dengar, Pak. Tapi ... mengapa demikian?""Jangan banyak tanya! Pokoknya aku nggak mau melihatmu
Jam makan siang telah tiba. Sandrina meregangkan otot-ototnya setelah berjam-jam duduk menghadap monitor. Pekerjaan ini sangat Sandrina nikmati. Selain mendapatkan pekerjaan baru, dia juga mendapatkan teman-teman baru di sana. "Hallo, Sandrina," sapa seorang lelaki yang tak lain adalah staf personalia di sana. Sandrina menyunggingkan senyuman ramah. "Hai, Juna.""Mau makan siang bersama ke kantin?" tanya lelaki bernama Juna itu. Sandrina terdiam sejenak seolah sedang berpikir keras. Beberapa detik kemudian, dia pun mengangguk mengiyakan. "Boleh. Kebetulan aku juga mau makan.""Ya sudah, ayo. Asyik banget nih punya rekan kerja seperti kamu, Sandrina," ucap Juna sembari berjalan berdampingan dengan Sandrina. "Baru juga kenal, Juna. Bay the way, kamu tinggal di mana, Jun?" tanya Sandrina. "Aku tinggal di Cengkareng, Sandrina. Tapi aku masih single, jadi aku ngekost sendiri," jawab Juna.Perbincangan pun terasa asyik di antara keduanya. Sandrina memang terbilang cepat akrab dan selal
Sandrina baru saja tiba di rumahnya. Wanita cantik itu bergegas mengganti pakaian dan membersihkan dirinya. Setelah itu, Sandrina menghempaskan bobot tubuhnya pada ranjang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sandrina belum merasa ngantuk, maka dia memilih untuk membuka gadget nya dan berselancar di sosial media. "Aku harus kasih tahu ibu soal kerja sama dengan perusahaan Hurraim. Ibu pasti senang dan bangga," ucap Sandrina dalam hati. Sebelum benar-benar tidur, Sandrina menyempatkan diri menghubungi team nya di grup. Tentu saja dia memberitahu soal kerja sama dengan perusahaan Hurraim. Besok, team nya harus memasak lebih banyak untuk dibawa ke perusahaan Hurraim dan untuk di San Kitchen. Para team bersorak gembira. Mereka semua tampak kompak dan memberikan ucapan selamat pada bos mereka.Pagi harinya..."Ada kabar baik yang mau San kasih tahu ke Ibu," ucap Sandrina sembari memeluk sang Ibu dari belakang. Marlinda tersenyum lalu menoleh sesaat. Namun tangannya masih fo
Sandrina mendelikan matanya dan menatap kesal pada Hurraim. Memang benar, sejak tadi dia bersikap formal karena mengingat bahwa dia baru saja melamar kerja ke perusahaan Hurraim. Tentu saja dia tidak mau dicap jelek oleh sang CEO. Siapa tahu dengan sikap dan attitude nya yang baik, membuat Hurraim bersedia menerimanya. Begitu pikir Sandrina. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ... CEO di perusahaan itu?" omel Sandrina sembari menatap sebal. "Ya kenapa aku harus bilang begitu? Selama ini, kamu tidak pernah bertanya apapun tentangku. Nanti kalau tiba-tiba aku jelasin siapa diriku ini, kamu akan menganggap ku sombong atau pamer," celoteh Hurraim panjang lebar. Sandrina membuang napasnya kasar. Benar juga, dia memang tidak pernah bertanya tentang kehidupan Hurraim. Seandainya dia tahu bahwa Hurraim adalah CEO di perusahaan yang dia datangi, Sandrina pasti tidak akan melamar kerja ke sana. "Aku benar-benar terkesan pada sikap dan jawaban kamu pagi tadi," ucap Hurraim sembari duduk di
1 bulan kemudian...Sandrina termenung di meja kasir. Dari hari ke hari, omset penjualan San Kitchen semakin menurun. Hal ini membuat Sandrina merasa resah dan takut. Tentu saja dia takut San Kitchen akan bangkrut dan tidak bisa beroperasi lagi. Mengingat pelanggan yang kian mengurang, membuat Sandrina merasa sedih dan seperti akan kehilangan San Kitchen. Ini semua karena ulah Clara dan Lorenza. Mereka telah berhasil membuat Sandrina nyaris kehilangan harapan untuk mengembangkan San Kitchen. Meskipun klarifikasi tentang fitnah itu sudah beredar, tapi tetap saja tidak membuat para pelanggan ingin kembali menikmati makanan San Kitchen. Memang tidak sedikit yang datang, tapi perbedaan antara saat ini dan pertama buka jauh terlihat. Ibaratnya, seribu banding lima ratus. "Bu, bulan ini omset kita tidak mencapai target," ucap Zakiah memberikan laporan. Raut wajahnya begitu kusut dan sedih. Sandrina memejamkan mata sejenak lalu membuang napasnya berat. Dia pun mengangguk lantas menyambar
Sandrina benar-benar duduk menemani Hurraim makan di San Kitchen. Lelaki tampan di hadapannya ini memesan berbagai menu kesukaannya. Sandrina cukup tertegun dan sedikit tidak menyangka bahwa Hurraim secinta itu pada masakan San Kitchen. Padahal, waktu itu Hurraim bersikap angkuh dan bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di San Kitchen lagi. Kendati demikian, Sandrina tidak akan menghitamkan hal itu lagi. Toh, kedatangan Hurraim ke San Kitchen juga sebagai bentuk rezeki bagi Sandrina. "Kenapa kamu melamun seperti itu? Apa yang sedang kamu resahkan?" tanya Hurraim sembari menatap penasaran.Sandrina membuang napasnya berat. "Emh ... entah kenapa aku sangat takut.""Takut apa?" tanya Hurraim lagi. "Takut usahaku akan bangkrut. Kamu lihat 'kan, nggak banyak yang datang. Tuh, cuma ada lima orang. Biasanya sampai penuh," keluh Sandrina dengan ekspresi resahnya. Hurraim tersenyum singkat mendengar ucapan Sandrina. Keresahan yang Sandrina rasakan, adalah hal yang wajar bagi seorang pengus
Tiga hari sudah Sandrina menutup rumah makannya. Setelah video klarifikasi itu muncul ke publik dan mulai fyp, akhirnya Sandrina pun berniat untuk membuka kembali rumah makannya itu. Tepat di hari ini, Sandrina kembali bekerja sama dengan team nya untuk mengembangkan rumah makannya itu. Dukungan dan doa dari orang tua, membuat Sandrina kembali semangat dan berharap kejadian buruk tidak akan terulang lagi. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu berdiri di depan San Kitchen. Kedua mata berkeliling mengamati seluruh tempat itu. Setelah 1 jam buka, tidak ada satu pun orang yang datang ke sana. Hal itu membuat Sandrina merasa sedih dan berkecil hati. Ia semakin khawatir akan perkembangan San Kitchen. Siapa yang tidak takut usahanya bangkrut? Semua orang yang punya usaha, pasti sangat ketakutan akan hal itu. Begitu pun dengan Sandrina. Dia takut San Kitchen akan bangkrut dan dia tidak bisa lagi membuka lapangan kerja untuk para team nya. "Kenapa belum ada yang datang? Ya Allah, apakah ini