"Sandrina, saya mohon sama kamu, jangan penjarakan kami!" pinta Lorenza dengan tatapan penuh permohonan. Sandrina memalingkan wajahnya. Sebenarnya dia sangat muak dan marah, tapi dia juga bukan orang yang begitu tega pada manusia mana pun. Termasuk pada Lorenza dan Clara. "Jika aku membebaskan kalian, apakah kalian akan bertanggung jawab?" tanya Sandrina sembari menatap tajam dan penuh ancaman. Lorenza terdiam sejenak. Untuk sesaat dia menatap menantunya lalu beralih pada Michael. Setelah itu, dia pun mengangguk mengiyakan. "I–iya, Sandrina. Kami akan tanggung jawab," jawab Lorenza. "Rumah makanku sudah terlanjur kacau. Semua pelanggan sudah kecewa dan beranggapan buruk tentang kami. Apakah kalian bisa berikan kejujuran di depan publik? Seperti yang dua orang ini lakukan?" tanya Sandrina lagi. Tentu saja dia tidak mau membebaskan Clara can Lorenza begitu saja. Setidaknya mereka harus bertanggung jawab terlebih dahulu. "Apa maksudmu? Kamu ingin kami bicara di depan media, begitu?
Setelah puas memarahi keluarga Michael, Marlinda langsung mengajak putrinya pulang. Kekacauan di rumah makan sudah diatasi oleh team San Kitchen. Marlinda tidak ingin putrinya semakin merasa capek dan pusing dengan keadaan San Kitchen yang sangat berantakan. Kerugian hari ini lumayan banyak. Namun, Sandrina tidak terlalu memikirkan hal itu. Makanan yang sudah keluar hari ini dan disantap oleh para pelanggan yang belum sempat bayar, itu sudah dia ikhlaskan. Anggaplah itu sebuah sedekah darinya. Namun, Sandrina memikirkan apakah rumah makannya akan kembali ramai seperti semula, atau justru sepi karena kehebohan tadi? "Bagaimana kalau para pelanggan setia nggak mau datang lagi, Bu?" Sandrina menatap resah pada Ibunya. Marlinda mengulas senyum hangat. "Kalau sudah klarifikasi dari pihak yang fitnah kamu, dan barang bukti sudah kamu sebar luaskan, pasti para pelanggan mu akan kembali. Mereka hanya terkecoh dan belum tahu yang sebenarnya. Jika sudah tahu bahwa kamu tidak bersalah dan ini
Sandrina menolehkan wajahnya pada asal datangnya suara. Dia benar-benar terkejut saat tiba-tiba seorang lelaki bicara padanya. Melihat sosok lelaki itu, membuat Sandrina memutar bola matanya dan membuang napas kasar. Sandrina kembali heran karena lagi-lagi dia bertemu dengan Hurraim. Namun, yang paling membuatnya heran adalah saat mendengar ucapan Hurraim. Sekarang, Sandrina menatap penuh selidik. "Sudah kamu duga? Apa maksudnya ini?" Ia bertanya dengan ekspresi kebingungan. Hurraim bangun dari duduknya. Lalu dia berjalan ke arah Sandrina. Janda itu terlihat cantik di matanya. "Hebat 'kan aku? Bisa menebak apa yang akan kamu lakukan malam ini," ucap Hurraim yang tetap bersikap cool. Sandrina semakin tidak mengerti. Lelaki di hadapannya ini sudah seperti seorang pesulap saja. "Nggak usah macam-macam, deh! Atau jangan-jangan memang benar dugaanku. Kalau kamu ini seseorang yang sengaja mengikuti aku.""Nggak juga. Aku cuma mengikuti ke mana arah langkah kakimu saat sedang berada di s
Sandrina melongo tak percaya saat melihat beberapa orang pria membawa barang berupa kompor, meja lipat, wajan, panci, piring, gelas, dan bahan-bahan lainnya untuk memasak. Dalam hitungan menit saja, para pria berwajah datar itu mampu menyiapkan semua itu di danau ini. Sandrina benar-benar seperti melihat kejadian di drama korea yang sering dia tonton. Saat menyadari semua itu, Sandrina mulai paham bahwa Hurraim bukan manusia biasa. Namun, bukan juga sebangsa superhero yang tangguh dan perkasa. "Oke. Semuanya sudah siap. Bagaimana, owners jutek? Apakah kamu sudah siap memasak untukku?" tanya Hurraim dengan santai tanpa memikirkan bagaimana perasaan Sandrina. Sandrina menelan salivanya kasar. Semua yang ada di hadapannya bukanlah sebuah hayalan atau halusinasi. "Wait, aku nggak bilang kalau bersedia memasak untukmu." Hurraim tersenyum simpul lalu melangkahkan kaki lebih dekat pada Sandrina. "Karena kamu diam, berarti kamu mengiyakan.""Rumus dari mana? Aku nggak mau!" tolak Sandrina.
Hurraim menggapai dengan pelan dan hati-hati rambut palsu yang menempel di kepala Sandrina. Saat tengkuk putih Sandrina terlihat di depan matanya, sontak saja napas Hurraim tercekat di tenggorokan. Susah payah pria tampan itu menelan salivanya. Jantungnya berdetak kencang saat pemandangan indah itu terpampang nyata di hadapannya. "Indah sekali," gumam Hurraim dalam hati. Sandrina yang sedang diam menunggu Hurraim mengikat rambutnya, tiba-tiba merasa heran dan janggal. Tentu saja karena Hurraim hanya diam dan tidak melakukan apapun selain membiarkan rambut Sandrina terangkat. Hal itu membuat Sandrina menolehkan kepalanya dan menatap setengah tidak mengerti. "Ada apa, kenapa hanya diam?" tanya Sandrina, "Bisa atau tidak?" lanjutnya. "Ya. Tentu saja bisa," jawab Hurraim sedikit gugup. Dia pun kini mencoba kembali fokus dan melakukan tugasnya dengan benar. Sandrina mengangguk percaya. Sebenarnya Sandrina merasa canggung dan panik, dia takut Hurraim menyadari bahwa rambut panjang itu
"Kamu egois, Michael! Aku juga berhak bahagia! Aku jadi istri kamu, bukan ingin seperti ini. Aku ingin bebas! Aku ingin menjadi diriku sendiri," ujar Clara yang tampak menaikan suaranya. "Kalau kamu ingin bebas, kenapa kamu harus menikah denganku? Aku seorang suami yang nggak mau istri aku banyak pergaulan. Lebih baik jadi istri rumahan daripada banyak bergaul di luar. Itu nggak ada manfaatnya!" tegas Michael semakin ngotot. Clara membuang napasnya kasar. Mendengar prinsip Michael dalam mengekang istri, membuat Clara sadar bahwa suaminya itu bukanlah type nya. Awalnya dia mengira jika hidupnya akan bahagia dan satu frekuensi dengan suaminya, tapi ternyata dia lebih sering berdebat dan berbeda pendapat. "Kamu benar-benar tidak tahu diri, Michael. Masih untung aku mau menikah dengan kamu. Kalau aku nggak mau, siapa yang mau menikahi lelaki mandul seperti kamu!?" umpat Clara dengan tatapan tajam dan nyalang. Sontak saja Michael terperanjat kaget mendengar ucapan Clara. Dadanya semaki
Tiga hari sudah Sandrina menutup rumah makannya. Setelah video klarifikasi itu muncul ke publik dan mulai fyp, akhirnya Sandrina pun berniat untuk membuka kembali rumah makannya itu. Tepat di hari ini, Sandrina kembali bekerja sama dengan team nya untuk mengembangkan rumah makannya itu. Dukungan dan doa dari orang tua, membuat Sandrina kembali semangat dan berharap kejadian buruk tidak akan terulang lagi. Perempuan berusia tiga puluh tahun itu berdiri di depan San Kitchen. Kedua mata berkeliling mengamati seluruh tempat itu. Setelah 1 jam buka, tidak ada satu pun orang yang datang ke sana. Hal itu membuat Sandrina merasa sedih dan berkecil hati. Ia semakin khawatir akan perkembangan San Kitchen. Siapa yang tidak takut usahanya bangkrut? Semua orang yang punya usaha, pasti sangat ketakutan akan hal itu. Begitu pun dengan Sandrina. Dia takut San Kitchen akan bangkrut dan dia tidak bisa lagi membuka lapangan kerja untuk para team nya. "Kenapa belum ada yang datang? Ya Allah, apakah ini
Sandrina benar-benar duduk menemani Hurraim makan di San Kitchen. Lelaki tampan di hadapannya ini memesan berbagai menu kesukaannya. Sandrina cukup tertegun dan sedikit tidak menyangka bahwa Hurraim secinta itu pada masakan San Kitchen. Padahal, waktu itu Hurraim bersikap angkuh dan bersumpah tidak akan menginjakkan kaki di San Kitchen lagi. Kendati demikian, Sandrina tidak akan menghitamkan hal itu lagi. Toh, kedatangan Hurraim ke San Kitchen juga sebagai bentuk rezeki bagi Sandrina. "Kenapa kamu melamun seperti itu? Apa yang sedang kamu resahkan?" tanya Hurraim sembari menatap penasaran.Sandrina membuang napasnya berat. "Emh ... entah kenapa aku sangat takut.""Takut apa?" tanya Hurraim lagi. "Takut usahaku akan bangkrut. Kamu lihat 'kan, nggak banyak yang datang. Tuh, cuma ada lima orang. Biasanya sampai penuh," keluh Sandrina dengan ekspresi resahnya. Hurraim tersenyum singkat mendengar ucapan Sandrina. Keresahan yang Sandrina rasakan, adalah hal yang wajar bagi seorang pengus
Begitu sampai di rumah, Hurraim langsung dihampiri oleh sang Bunda. Ekspresi bundanya terlihat serius sekaligus penuh selidik. Hurraim langsung disuruh duduk di sofa dan berhadapan dengan Pristilla. “Jawab pertanyaan Bunda. Siapa perempuan yang tadi pergi bersamamu?” tanya Pristilla dengan raut wajah serius sekaligus penuh intimidasi. Hurraim menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Benar dugaannya dengan Bastian. Bahwa sang Bunda akan mengetahui masalah ini. Baru beberapa menit lalu dia membahas ini dengan Bastian. “Siapa yang mengadukan ini pada Bunda? Sejak kapan Bunda punya mata-mata untuk mengikuti aku?” tanya Hurraim dsngan tampang sangar dan kesal. Dia berpikir kalau sang bunda menyuruh seseorang untuk memata-matai dirinya. “Jawab saja! Jangan balik nanya. Nggak sopan banget kamu. Bunda tahu sesuatu tentang kamu. Tapi kamu mencoba menutupi dari Bunda? Anak macam apa kamu ini. Selama ini, Bunda selalu melakukan yang terbaik untuk kamu, Hurraim! Apapun tentangmu, sel
Hurraim mengantar Sandrina sampai ke rumahnya. Belanjaan yang banyak itu diangkut oleh Bastian dan dibantu oleh mbak-mbak yang bekerja di rumah Sandrina. Marlinda tampak menatap kaget dan tercengang melihat semua itu. Apa yang Sandrina bawa, sudah seperti hendak melakukan seserahan saja. "Aku pulang dulu. Besok weekend mau ke mana?" tanya Hurraim. "Nggak kemana-mana, sayang. Aku mungkin mau ke San Kitchen aja. Mau cek pemasukan di sana. Dengar-dengar, sekarang pengunjung sudah kembali ramai seperti semula," jawab Sandrina dengan jelas. Hurraim mengangguk singkat. "Oke. Kalau mau jalan, hubungi aku.""Memangnya kamu nggak ada acara dengan keluarga?" tanya Sandrina. "Nggak ada," jawab Hurraim, "Oh ya, aku ingin secepatnya kenalkan kamu pada orang tuaku. Apakah kamu sudah siap?" lanjutnya bertanya. Sandrina tersenyum tipis. Sejujurnya dia masih belum siap, tentu saja karena masih merasa insecure dengan status jandanya. Hurraim adalah lelaki yang belum pernah menikah. Di zaman sekara
Sandrina sudah selesai belanja. Sekarang dia benar-benar penasaran, apakah Hurraim mampu membayar belanjaan yang banyak itu? Sebenarnya, tanpa ditanya pun pasti Hurraim akan mampu. Secara dia seorang pengusaha kaya. Hanya saja, Sandrina cukup pemasaran dengan pengeluaran kali ini. “Sudah ku bilang, ini pasti terlalu berlebihan, sayang.” Sandrina bicara dengan nada pelan dan sedikit meremehkan. Hurraim menggeleng pelan. “Kamu ambil semua isi di dalam mal ini pun, itu tidak masalah.”“Hah, ada-ada aja kamu ini. Ya nggak mungkin lah! Buat apa juga aku ambil semua isi di dalam mal ini,” tukas Sandrina. “Ayo. Sekarang kita bermain di sana,” ajak Hurraim sembari meraih tangan kekasihnya. Sandrina melongo tak habis pikir. Bagaimana mungkin Hurraim mengajaknya bermain, sedangkan belanjaannya belum dibayar. Benar-benar membuat Sandrina merasa tidak enak. “Lepaskan!” sentak Sandrina sembari melepaskan tangannya. Tatapannya kini begitu tajam dan dingin. “Ada apa? Kamu nggak mau bermain den
Eleanor menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya belakangan ini. Hal itu sontak membuat Papinya tercengang kaget. Terlebih saat mendengar kabar Michael yang depresi. Dia juga baru tahu apa yang terjadi pada rumah tangga Michael. Saat tahu Michael selingkuh, Papi Eleanor benar-benar geram dan menyangkut pautkan dengan sifat Lorenza. "Wajar aja kalau kakakmu seperti itu, Ele. Soalnya mamimu yang menghasutnya. Dari dulu mami kamu nggak mau berubah. Dia doyan selingkuh, dan malah diturunkan pada anaknya. Miris sekali. Papi harap, kamu tidak seperti itu, Nak. Karena jika itu terjadi, maka kamulah yang akan menghancurkan dirimu sendiri," tutur Papi Eleanor dengan serius. Eleanor mengangguk pelan. Maka setelah dia tahu banyak tentang maminya, seorang Eleanor mengerti mengapa maminya bersikeras menghasut Michael untuk selingkuh dengan Clara. Sampai-sampai rumah tangga kakaknya itu hancur oleh perbuatan mami mereka. "Ele nggak akan kayak mami. Tapi untung aja Papi berhasil temukan jal
"Mami, hari ini Ele mau nemuin papi," ucap Eleanor dengan tatapan penuh harap. Lorenza mendelikan matanya dan menatap tajam. Sepertinya dia sangat tidak suka dengan tindakan putrinya itu. "Jangan pernah menemuinya, Ele. Sudah Mami katakan berkali-kali kalau kamu tidak pantas bertemu dengan pria yang sudah menelantarkan kamu!" Ia bicara dengan nada tinggi dan ngegas. Eleanor menatap setengah tidak percaya. "Tapi ini demi kebaikan kita semua, Mam.""Apa yang akan kamu lakukan? Dia tidak akan peduli pada kita. Sudah, lupakan saja. Kita jalani kehidupan baru ini," ujar Lorenza yang tampak menekan setiap ucapannya.Eleanor membuang napasnya kasar. Dia benar-benar kesal pada Maminya yang selalu saja ingin menang sendiri. Padahal, Eleanor berniat untuk mengadukan apa yang terjadi pada keluarga mereka. Termasuk soal perusahaan yang dirampas oleh Clara. Siapa tahu sang papi bisa menolong mereka. Belakangan ini, Eleanor mengetahui bahwa papinya memiliki beberapa perusahaan besar dan sukses. T
Di sudut lain...Seorang pria duduk dengan memeluk lutut di bawah ranjang. Matanya sayu, rambutnya berantakan, wajahnya kusam dan tubuhnya gemetar. Kamar itu tampak gelap dan seolah nestapa merenggut semua cahaya. Asap rokok mengepul di udara. Melayang tinggi bersama segenap penderitaan. Michael semakin terpuruk dan tidak bisa melakukan apapun lagi. Dia sudah kehilangan kekuasaannya. Bahkan untuk memberi makan pada mami dan adiknya pun Michael tidak bisa melakukannya. "Kenapa semuanya terjadi begitu saja? Apakah aku diciptakan hanya untuk menderita!?" gumam Michael dalam hati. Semenjak kehilangan perusahaannya, Michael selalu melamun dan menikmati minuman haram. Lorenza sebagai orang tua sangat prihatin terhadap kondisi putranya itu. Sering kali dia mengingatkan Michael agar tidak menyiksa dirinya sendiri dengan minuman keras dan begadang semalaman. Namun, Michael terlanjur pusing dan depresi. Dia mencari sebuah ketenangan dalam hidupnya. "Setelah kehilangan papi yang direbut oleh
Sesampainya di rumah...Naima berlari kecil menghampiri Hurraim yang baru saja tiba. Wanita cantik itu langsung memeluk hangat tubuh tunangannya. Setelah dua hari menunggu, akhirnya Hurraim datang juga. "Aaaaaa, akhirnya kamu pulang," sorak Naima dengan tingkah manjanya. Hurraim memutar bola matanya malas lalu membuang napasnya kasar. Dia pun segera mendorong tubuh Naima agar menjauh darinya. "Lepaskan! Jangan peluk-peluk tubuhku seperti ini."Naima mengerucutkan bibirnya bertingkah sebal. "Kamu kenapa sih, kok cuek banget sama aku. Hurraim, kita akan menikah. Maka cobalah membuka hati untukku."Hurraim tak menggubris. Dia sekarang berjalan menaiki anak tangga untuk langsung ke kamarnya. Naima mengekori sambil terus mengoceh. "Hurraim sayang, apa kamu tidak merindukan aku?" tanya Naima dengan manja sekaligus sebal. "Tidak! Heh, suruh siapa kamu mengikuti aku? Pergi sekarang juga. Aku capek dan perlu istirahat. Nanti malam keluarga kita akan kembali bertemu, maka aku akan umumkan s
Kembali ke keluarga Michael...Hari ini Michael mengunjungi perusahaan yang sudah sah menjadi milik Clara. Meskipun Clara sendiri belum bisa ia temui, tapi Michael akan berusaha mendapatkan perusahaan miliknya kembali. Perusahaan itu memang warisan dari orang tua Lorenza, tapi tetap saja Michael pun berusaha payah untuk mengembangkannya. Sekarang, siapa yang tidak marah dan geram jika tiba-tiba seorang Clara merebut perusahaan yang sudah susah payah dibangun dan dikembangkan. "Maaf Pak, Anda bukan bagian dari perusahaan ini lagi," ucap petugas keamanan yang saat ini berusaha menghalangi Michael untuk masuk ke perusahaan itu. Michael menatap tajam dan dadanya benar-benar terasa sesak. Bisa-bisanya orang di hadapannya ini melarangnya masuk. Padahal dialah yang menggajinya. "Ini bukan urusanmu! Aku akan mendapatkan hakku kembali!" ujar Michael bersikeras untuk masuk. "Tapi Bu Clara melarang Anda datang ke sini, Pak," ucap keamanan itu. Michael membuang napasnya kasar. "Minggir!" Ia
Sandrina kembali bergabung dengan peserta lainnya. Team San Kitchen pun mendapat juara 2. Sementara juara 3, dari karyawan perusahaan Hurraim. "Sekarang pengumuman untuk pemenang lomba squid game!" ucap MC. Juna mendadak tegang dan harap-harap cemas. Kendati demikian, dia sudah yakin jika akan mendapatkan hadiah mobil yang diimpikan. Ada beberapa orang yang mendapatkan juara. Selain juara 1, 2 dan 3. Juara harapan lainnya pun mendapatkan hadiah. Ini sungguh membuat semua peserta semangat. "Juna pasti dapat mobil, Kiah," ucap Sandrina. "Iya, Bu San. Semoga saja pak CEO nggak bohong ya," sahut Zakiah. "Dia nggak akan bohong. Ini menyangkut harga diri dan kesuksesannya dalam bisnis," tukas Sandrina menegaskan. "Hehe, iya-iya Bu," balas Zakiah. "Pemenangnya adalah Arjuna Prakoso!" ucap Hurraim. "Yeeeee!" Zakiah bersorak. Juna terduduk lesu lalu bersujud di tanah. Setelah itu dia menengadahkan kedua tangannya ke atas langit. "Alhamdulillah." Kemudian, staf itu pun berjalan cepat k