Sandrina menelan salivanya kasar. Ucapan Hurraim sukses membuatnya salah tingkah. Apa maksudnya? Tentu saja Sandrina dibuat bingung oleh CEO tampan di hadapannya ini. Dari awal bertemu, sikap Hurraim memang sangat membingungkan dan random. Namun, kali ini Sandrina bukan hanya sekedar bingung, tapi juga salah tingkah dan mendadak canggung. Masih penasaran dengan luka di bibir Hurraim, Sandrina mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin bertindak gegabah. Bisa saja Hurraim hanya sedang bercanda dan sengaja mengetes dirinya. "Apakah benar Michael yang melakukannya? Kenapa bisa terjadi?" tanya Sandrina sembari memalingkan wajahnya dan merapikan kotak obat kembali. Hurraim menarik tangan Sandrina sehingga membuat wanita cantik itu refleks menoleh. "Apakah kamu tidak mendengar ucapanku tadi?" Ia menatap dengan tajam dan penuh ancaman. Sandrina menatap ngeri sekaligus kikuk. "I–iya, saya dengar, Pak. Tapi ... mengapa demikian?""Jangan banyak tanya! Pokoknya aku nggak mau melihatmu
"San, mau pulang bareng aku nggak?" tanya Juna saat Sandrina baru keluar dari ruangan Hurraim. Sandrina tersenyum simpul lantas menggeleng pelan. "Aku sudah dewasa, bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, ok!" Ia bicara dengan santai. Juna menyeringai sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. "Aku cuma mau antarkan kamu pulang. Sesama rekan kerja, kita harus saling tolong menolong. Bukan begitu, sekretaris CEO?""Terima kasih atas niat baiknya, Juna. Tapi kumohon jangan sekarang, ya," ucap Sandrina meminta pengertian dari lawan bicaranya. Juna mengusap wajahnya kasar. Dia sungguh merasa kesulitan mendekati Sandrina. Saat pertama kali bertemu, Juna langsung tertarik pada Sandrina yang begitu positif vibes. Sekarang, mereka berjalan berdampingan menuju lantai bawah. Jam pulang kantor telah tiba. Sandrina berniat mampir ke San Kitchen sebelum benar-benar pulang ke rumahnya. Saat tiba di pintu utama perusahaan, Sandrina berpapasan dengan Hurraim. Lelaki tampan i
"Terima kasih ya, Pak," ucap Sandrina pada sopir grab car. Ya, malam ini Sandrina memilih menggunakan grab car. Hal itu dia lakukan karena malas menyetir. Lagipula, jarak dari rumahnya ke danau tidak terlalu jauh. Penjaga danau tersenyum melihat Sandrina. Setelah tahu bahwa hanya Sandrina yang diperbolehkan masuk ke danau itu, penjaga itu mulai mengerti jika Sandrina adalah wanita spesial bagi Hurraim. Saat ini Hurraim sudah menunggu di tepi danau. Lelaki tampan itu menatap danau yang bergelombang terhempas angin malam. Kegelapan membawanya masuk ke dalam sebuah hayalan. Ya, dia menghayal bisa menikah dengan wanita yang tepat. Wanita yang bisa menerima segala kekurangannya. "Selamat malam, Pak Hurraim," sapa Sandrina dengan suara anggun. Hurraim tidak menyahuti. Tentu saja karena dia tidak fokus. Hal itu membuat Sandrina mengerutkan dahi. Wanita cantik itu pun mencoba melangkah lebih dekat. Lalu, berdiri di hadapan Hurraim yang termangu tanpa kata. "Hei, serius amat ngelamunnya!"
Bintang di langit malam ini bersembunyi di balik awan hitam. Bulan pun sama seperti bintang, tidak menampakan wujudnya. Angin sepoi-sepoi semakin dingin dan kian mengencang. Ranting pohon bergoyang-goyang dan membuat dedaunan saling berdesakan. Di atas tikar, menghadap sebuah danau buatan, dua manusia tengah menikmati malam dengan sepasang cangkir kopi hangat dan mie instan dalam cup. Berbagai macam olahan seafood yang sudah dibakar, tersedia di hadapan keduanya. Malam ini, Hurraim sengaja menyiapkan semua ini untuk dinikmati dengan Sandrina. Awalnya Sandrina sedikit kaget sekaligus heran. Mengapa lelaki aneh seperti Hurraim tiba-tiba mau menikmati pop mie dan sate obong seperti ini. Namun, saat tahu alasannya, Sandrina pun akhirnya bisa memahami. "Aku tidak pernah pergi piknik seperti kebanyakan orang," ucap Hurraim sembari menatap danau yang tenang. Sandrina menoleh, sedikit tidak percaya. Namun, mengingat semua orang tidaklah mengalami kehidupan yang sama, akhirnya dia pun coba
Hurraim membawa Sandrina ke dalam tenda. Hujan di luar semakin deras, dan angin pun lumayan bertiup kencang. Sandrina meringis kesakitan, hal itu membuat Hurraim kebingungan sekaligus khawatir padanya. "Apa yang harus aku lakukan?" tanya Hurraim sembari menatap cemas.Sandrina melipat bibirnya ke dalam, menahan sakit di kakinya. Sebenarnya tidak terlalu sakit, tapi jika digerakkan, rasanya ngilu dan berdenyut. "Jangan khawatir. Ini hanya sakit biasa.""Yang benar saja? Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Apa perlu telepon dokter?" tanya Hurraim semakin cemas. Kedua matanya kini melirik pada kaki kanan Sandrina yang mungkin sedikit terkilir. Sandrina refleks menggeleng. "Eh, nggak perlu. Ini cuma sakit biasa aja, Pak CEO. Nanti tinggal diurut sama ibu di rumah.""Oh, begini saja, biar aku bantu urut," ucap Hurraim yang kemudian memegang kaki Sandrina. Sontak saja Sandrina terperanjat kaget. Kakinya hendak ia tarik, tapi Hurraim menggenggamnya dengan erat. Tentu saja Sandrina merasa cang
Hurraim membuka pintu tenda. Melihat sosok lelaki berpakaian hitam dan mengenakan mantel di sana. Sedikit kesal pada kedatangan asisten pribadinya itu. Namun, dia juga sekarang tidak akan bisa mengulang kejadian itu. Jikalau pun Hurraim kembali melakukan itu setelah Bastian pergi, pasti Sandrina akan langsung menolak atau menjauh. Ingat kata pepatah, kesempatan tidak datang dua kali. "Mau apa kau kemari, sialan!?" bentak Hurraim dengan ekspresi kesal. "Saya bawakan mantel, jaket, dan pakaian ganti untuk Anda dan Bu Sandrina," jawab Bastian sedikit berteriak karena hujan masih deras. Sontak saja Hurraim membuang napasnya kasar dan mengusap wajah asal. Benar, saat hujan tiba, dia sempat mengirim pesan pada Bastian untuk membawakan pakaian ganti. Entah apa alasannya, dia bisa sampai lupa. Mungkin saja keindahan dan kenyamanan dengan Sandrina lah yang membuatnya lupa akan hal itu. Sandrina sendiri kini merasa lega dan bersyukur Bastian datang membawa pakaian ganti. Dia sendiri sudah s
Hurraim telah sampai di kediaman Sandrina. Betapa senangnya dia karena bisa mengantarkan sekretarisnya itu pulang. Sekarang, dia sudah tahu di mana alamat rumah Sandrina. Itu akan membuatnya lebih mudah menemui Sandrina sesuka hatinya di rumah itu. "Terima kasih ya, Pak CEO," ucap Sandrina sembari membuka seat belt nya. Hurraim mengangguk singkat. Dia buru-buru keluar dari mobil, padahal Sandrina tidak meminta Hurraim untuk ikut turun. Dengan sigap, Hurraim membukakan pintu mobil untuk Sandrina. Dia benar-benar perhatian dan berlagak seperti Romeo pada Juliet. Sandrina sampai dibikin melongo oleh perhatiannya itu. "Silakan," ucap Hurraim. Sandrina tertegun sesaat. Dia hanya diam dan melongo sambil menatap tidak percaya pada Hurraim. Namun setelah beberapa detik kemudian, dia pun mengangguk lantas keluar dari mobil itu. "Ini terlalu berlebih-lebihan, Pak CEO. Aku nggak minta dibukain pintu kayak gini," ucap Sandrina sedikit merasa tidak enak. Hurraim tersenyum miring. "No problem
Sandrina terbangun dalam keadaan tidak enak badan. Kepalanya terasa pusing, hidungnya tersumbat dan tubuhnya sedikit menggigil. Masih pagi ini, sang Ibu pun membuatkan ramuan tradisional untuk putrinya. Awalnya Marlinda menyarankan Sandrina untuk izin tidak bekerja. Tentu saja karena Sandrina sedang tidak enak badan. Mungkin efek semalam dia sempat hujan-hujanan dan terlalu lama memakai baju basah. Namun, Sandrina menolak. Dia ingat kalau hari ini ada sebuah meeting yang tidak bisa dilewatkan. Hurraim juga pasti akan marah jika tiba-tiba Sandrina tidak masuk kerja. "Hachim!" Sandrina kembali bersin. Sekarang dia sudah sampai di perusahaan. Pagi ini cuaca sedikit mendung. Sandrina yang sedang meriang pun harus memakai mantel cukup tebal dan celana panjang. Selain itu, Sandrina selalu menggenggam minyak tetapi untuk dioleskan di dahi, bahu, dan dihirup aromanya. "San, kenapa kamu bersin terus? Apakah kamu sakit?" tanya Juna. Dia tampak menatap khawatir pada Sandrina. Sandrina tersen
Kabar kehamilan Sandrina sudah sampai ke telinga kedua orang tuanya. Mendengar kabar itu, mereka berdua sangat bahagia dan bersyukur. Sejak putri mereka menikah dengan Michael, sejujurnya keduanya sangat menantikan sosok seorang cucu, tapi mereka tidak berani mendesak atau memaksa putri mereka untuk segera memberikan cucu pada mereka. Sekarang, tanpa diminta pun Sandrina sudah dipercayai oleh Tuhan untuk mengandung anaknya. "Alhamdulillah, anak kita benar-benar sehat dan subur, Yah. Berarti memang rezeki dia bersama Hurraim. Tuhan memang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya," ucap Marlinda penuh syukur. Sang suami mengangguk pelan diiringi senyuman kemenangan. Mereka juga sudah tahu kalau nanti malam di kediaman Pristilla akan mengadakan acara syukuran atas kehamilan Sandrina. Jadi, keduanya akan hadir untuk ikut mendoakan, serta memberikan ucapan selamat dan support terhadap Sandrina juga Hurraim. "Semoga Tuhan selalu menjaga mereka. Menjaga Sandrina dari hal buruk. Menjaga calon
Hurraim berlari ke loteng. Mendengar hal yang mengkhawatirkan tentang istrinya, dia langsung menemui Sandrina di sana. Jantungnya berdetak kencang. Hurraim takut Sandrina kenapa-kenapa. Saat ini, Sandrina tengah duduk sembari memegangi perutnya. Ekspresinya membuat Hurraim semakin panik. Tentu saja Sandrina mulai berakting. Perempuan cantik itu seolah sedang merasakan sakit di bagian perutnya. "Arrgggh!!" pekik Sandrina."Sayang, apa yang terjadi padamu?" tanya Hurraim dengan kekhawatiran yang semakin mendalam. Ditangkapnya tubuh sang istri. Kemudian dia mengelus perut rata Sandrina yang tanpa disadari tengah mengandung sang buah hati. Sandrina meringis seperti kesakitan. Pristilla dan Fery hanya menonton saja. Begitu juga dengan Eleanor. Mereka diam-diam sedang menunggu waktu untuk memberikan surprise pada Hurraim."Perutku, sayang...." Sandrina mengeluh. "Ayo kita ke rumah sakit! Ini tidak bisa dibiarkan," ucap Hurraim tampak panik. Hampir saja dia menggendong tubuh Sandrina, ta
"Awas, hati-hati. Jangan sampai jatuh," ucap Pristilla dengan sangat antusias. Begitu tahu bahwa menantunya sedang mengandung, Pristilla sangat menjaga ketat Sandrina. Tentu saja dia takut Sandrina dan juga calon bayi dalam perutnya kenapa-kenapa. Sandrina digandeng oleh dua asisten rumah tangga. Ini terlalu berlebihan, tapi Sandrina tidak bisa menolak. Sebenarnya dia juga bisa berjalan sendiri sampai kamarnya. Namun, kekhawatiran sang mertua telah membuatnya seperti seorang ratu. "Kita akan mempunyai cucu!" seru Pristilla pada Fery. Sontak hal itu membuat Fery melebarkan kedua mata dan menatap setengah tidak percaya. "Hah, yang benar? Maksudnya Sandrina hamil?" Fery bertanya dengan raut wajah kaget serta penasaran. Pristilla mengangguk cepat. "Iya! Kita harus merayakan ini. Secepatnya kita atur acara perayaan kehamilan Sandrina.""Bun, itu terlalu berlebihan," protes Sandrina sedikit tidak setuju. "Apanya yang berlebihan? Kita akan mengadakan syukuran atas kehamilan kamu, Sandri
Hari demi hari terus berlalu. Sandrina dan Hurraim sudah menjalani rumah tangga selama satu bulan. Hari demi hari mereka lalui dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada satu pun orang yang berani mengganggu kebahagiaan mereka. Dalam satu bulan ini, Sandrina masih tinggal bersama mertuanya. Hal itu dikarenakan keinginan Pristilla yang merasa masih belum siap berpisah jauh dengan Hurraim. Hurraim sendiri sudah ingin pindah rumah. Bahkan sebelum menikah pun, Hurraim sudah membeli rumah untuk dihuni dengan istrinya. Namun, saat ini dia belum bisa meninggalkan rumah orang tuanya itu. Padahal Hurraim sudah membujuk Pristilla berulang kali. Namun, Pristilla tetap kekeuh belum siap dan tidak mengizinkan Hurraim untuk pindah rumah. Pagi ini, Sandrina terbangun dalam keadaan lemas. Dia yang sudah tidak menjadi sekretaris Hurraim, hanya melakukan tugasnya sebagai seorang istri sekaligus owner San Kitchen. Selain itu, Sandrina juga mulai menekuni bisnis perhiasan media online. Hal ini sengaja dia lak
Hurraim mengelus lembut perut rata Sandrina. Perasaannya senang tak menentu. Telah terpikirkan olehnya bagaimana jika di dalam perut rata itu ada janin sang buah hati mereka. Tentu saja Hurraim sangat tidak sabar. Dia menikah, tujuan menikah memang tidak melulu tentang anak. Akan tetapi, memiliki anak setelah menikah adalah suatu kebahagiaan. Hurraim sendiri tidak pernah berniat untuk menunda-nunda punya anak. Jika Tuhan berkehendak, maka dia berharap Sandrina segera diberi momongan. "Semoga secepatnya kamu mengandung anak kita, sayang," ucap Hurraim dengan suara lembut. Sandrina tersenyum tipis. Waktu itu dia dengan Michael pun mengharapkan hal yang sama. Setiap saat menanti kehadiran sang buah hati mereka. Namun, takdir tidak sampai membuat mereka memiliki anak. Bahkan Sandrina sempat dituding wanita mandul oleh mertuanya sendiri. Semoga saja kali ini tidak. Sandrina sebenarnya sedikit trauma jika seandainya Tuhan sedikit lama memberikan anak padanya. Khawatir mertuanya mengira di
Selesai pesta pernikahan, Hurraim membawa kabur Sandrina ke sebuah hotel mewah yang sudah dipesannya. Segenap keluarga melepas dengan penuh kebahagiaan. Senyuman mengembang di sudut bibir kedua mempelai pengantin pria dan wanita. Taburan bunga mengiringi kepergian mereka. Sorak sorai keceriaan menambah kesan bahagia di sana. "Kamu milikku sayang!" ucap Hurraim. Pria tampan itu membopong tubuh ramping Sandrina dari luar hingga ke dalam hotel. Nuansa honeymoon terasa kental di sana. Taburan bunga dan gemerlapan lampu menyambut mereka. Belum lagi aroma harum dari berbagai sudut pun tercium menyengat indera penciuman mereka. "Malam ini aku tidak akan menahan diri lagi," ucap Hurraim lagi. Pria tampan itu nampak perkasa. Dia bahkan tergesa-gesa dan tidak sabaran. Maklum, Hurraim adalah sosok pria dewasa yang tidak pernah melakukan hubungan intim dengan wanita mana pun. Maka saat dia telah menikahi wanita pujaan hatinya, jangan heran jika Hurraim begitu semangat dan tidak sabar. Sekaran
Sang pengantin pria telah selesai berjabat tangan dengan Ayah Sandrina. Ijab dan kabul baru saja selesai diucapkan. Segenap saksi, mengatakan 'sah'. Saat itu juga sorak sorai dan ucapan syukur terdengar riuh di telinga. Detik ini juga, Sandrina telah resmi menjadi istri bagi Hurraim. Mereka telah disatukan dalam ikatan yang suci. Murni karena cinta dan jodoh dari ilahi. "Alhamdulillah, sah!" ucap Pristilla sembari menatap haru pada putranya yang tampan nan gagah. Senyuman kebahagiaan mengembang di bibir Hurraim. Tak sabar rasanya ingin melihat sang wanita pujaan. Selesai dengan ritual ijab kabul, penuntun acara memanggil sang mempelai pengantin wanita agar segera keluar. Para tamu nampak antusias. Di antara mereka ada yang sudah pernah hadir di acara pernikahan Sandrina dengan Michael. Namun, tetap saja mereka sangat penasaran pada Sandrina kali ini. Dari segi pesta, dekorasi dan gaya pernikahan Sandrina kali ini jauh berbeda dengan pernikahannya waktu lalu. Tentu ini sengaja Sandri
“Bunda walaupun belum pernah jadi mertua, tapi bunda pastikan bakal jadi mertua yang baik. Kamu jangan asal kalau bicara, Hurraim! Jangan bikin Sandrina takut dan berasumsi buruk tentang Bunda!” Pristilla mengomeli dengan kekesalan yang mendalam. Bagaimana tidak kesal, putranya sendiri membicarakan hal buruk tentangnya di hadapan calon menantu. Hurraim tersenyum simpul. Sebenarnya dia hanya bercanda. Hurraim juga tentu berharap Bundanya akan menjadi mertua yang baik untuk Sandrina. Akan tetapi seperti biasa sang Bunda menanggapi dengan serius. “Yang benar saja? Aku hanya ngomong sesuai fakta. Tapi, tetaplah aku percaya kalau Bunda bisa jadi mertua yang baik untuk istri aku nanti,” ucap Hurraim sembari memeluk Sandrina. Pristilla memencengkan bibirnya. “Ada juga kamu! Jangan sampai jari suami zalim terhadap istri. Dan jangan jadi anak durhaka terhadap Bunda! Awas aja kalau sampai itu terjadi,” ancam Pristilla. Sedikit memberikan nasihat pada putranya. “Tenang aja, Bun. Nanti bakala
Clara tersenyum miring. Kini dia bersedekap dan menatap remeh. Gundukan kesal seakan terlihat di atas kepalanya saat ini. Mengingat Michael sempat drop, dia seperti tidak percaya jika Michael bisa menjebloskan Clara ke dalam penjara. “Kamu tidak punya kuasa atau kekuatan sedikit pun, Michael sayang. Sekarang aku ingin bertanya, dari mana kamu dapatkan modal untuk membuka usaha seperti ini? Kamu pasti meminjam bank, ya? Haha. Jangan sombong dulu! Kalau bisnis kamu berkembang dan sukses, kamu mungkin akan mendapatkan kekuatan dan kekuasaan lagi seperti dulu. Tapi kalau bisnismu mangkrak dan bangkrut, maka apa yang akan kamu dapat? Pastinya sebuah kerugian dan keterpurukan seperti beberapa waktu lalu. Haha!” Clara tertawa terbahak-bahak. Suaranya nyaring dan dia benar-benar menghina Michael. Michael mengepalkan tangan. Mustahil dia tidak marah. Semenjak kejadian itu, kebencian mulai merambat dalam pekarangan hati Michael. Kendati demikian, Michael tidak ingin menjadi arogan lagi. Dia h